Adalah sebuah kisah yang saya dapat, saat saya cuti dan pulang kampung, seorang ibu tinggal sendiri (usia 50-an), sebab suaminya telah lama meninggal, dan semua anaknya tinggal jauh dari si ibu, sementara si bungsu masih menempuh pendidikan tinggi di ibu kota. Sang ibu tinggal di desa dan mengolah sawah dan ladang untuk menghidupi diri dan kadang memberi ke sibungsu, karena sang ibu tak mau membebani anaknya yang sudah manikah, walau diminta tinggal sama anaknya. Saya semasa sekolah merupakan teman anaknya yang pertama, dan kami bertetangga di kampung, saat itulah aku sempatkan menemui si ibu sekaligus bercengkerama.
Dan si Ibu memulai ceritanya............
Tetangga adalah kerabat yang paling dekat karena dialah yang tau kita sehari-hari. Dulu nak dikampung kita ini kekerabatan begitu dekat, dan setiap dan saling sapa dan memberi perhatian adalah hal lumrah. Tapi sekarang itu sudah sulit nak, dan akupun tertengun, dan mencoba menerka ke mana arah pembicaraan si ibu.
Nak, beberapa bulan yang lalu, pas saat tanaman padi di sawah sudah saatnya dipupuk, saat itulah terjadi ketidaknyaman. Anak tetangga depan memperlakukan saya yang sudah tinggal sendiri dengan cara yang tidak benar. Sambil sang ibu berurai air mata, hati ingin menebak dan ingin menyela pembicaraan, tapi sepertinya lidahku kelu.
saat itu, mobil tauke datang sambil membawa pupuk, maka semua orang bergegas mengambil pupk sesuai kebutuhannya. Sayapun nak, mengambil satu karung Urea yang saya perlukan, dan setelah urusan pembayaran usai, sang anak buah tauke menaruh pupuk yang sudah saya bayar di teras rumah saya. Hati saya lega, karena pupuk untuk memupuk tanaman padi saya telah tersedia. Maka dengan hari riang saya berangkat ke pekan (di kampung saya pekan satu kali satu minggu).
Besok harinya ketidak adilan itu datang, anak tetangga (laki-laki berkeluarga usia 30-an) depan rumah mendatangi saya sambil marah sembari membentak "saya yang pesan pupuk, kenapa ibu yang kebagian pupuk, itu dalah pupuk milik saya". Sang ibu menyadari dari segi tenaga gak mungkin melawan, maka sang ibu berkata, kalau memang pupuk itu semua yang di bawa tauke adaah untukmu, maka semua yang ambil pupuk kemarin harus kau ambil juga, jangan karena saya tidak punya tenaga sehingga kau sewenang-wenang sama saya, tapi kalau tidak, maka tidak ada hakmu atas pupk saya, saya sudah membayarnya di tauke. Tapi sang tetangga muda tak mau tau, dia tetap ngotot bahwa itu adalah miliknya, maka diangkatnyalah pupuk itu dari teras rumah si ibu, sambil berurai air mata si ibu memohon janganlah yang sudah tua dan sudah tidak memiliki tenaga dia memperlakukannya tak adil, tapi tetangga yang masih muda bergeming, tetap atas pendiriannya.
Sementara ke tetangga yang lain dia tidak berani mengambil, dia mencoba ke tetangganya yang masih muda, akan tetapi langsung ditantang, jika disitu tertulis namamu silakan ambil, tapi jika tidak jangan coba sentuh, setelah diancam demikian, untuk menyentuh karung pupuknyapun dia tak berani.
Konon menurut cerita dia, dialah yang memesan supaya pupuk dibawa kekampung, akan tetapi setelah pupuk datang, si tetangga muda gak mengurus kebutuhan pupuk untuk dirinya, dia langsung pergi ke pekan, tanpa mempedulikan keperluan pupuknya. Jika betul dia butuh pupuk, walupun dia yang pesan, tetap sepertia biasanya dikampung, harus mengurus sendiri keperluannya. Sebab pupuk yang dibawa tauke, tidak dibawa untuk keperluan dirinya sendiri, dan sang tauke membawa pupuk beberapa ton untuk keperluan satu kampung dalam memupuk padi. Dan kenyataannya pupuk yang dibawa taukepun masih banyak yang dibawa pulang karena semua tidak terserap oleh petani dikampung.
Begitulah sang ibu bercerita, dan dalam hati kecilku ikut menangis melihat si ibu dengan sesegukan menahan rintihan hatinya, diperlakukan tetangga muda dengan tidak semestinya.....
Apakah begini wajah dan jiwa muda jaman sekarang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H