Uang bukan segalanya, akan tetapi dengan uang kita bisa melakukan banyak hal.
Artikel ini saya tulis berdasarkan pengalaman mengamati pekerja, yang secara umum tidak pandai mengelola keuangan diri dan keluarga. Sebagai akibatnya, saban bulan selalu menglami defisit keuangan, bukan karena kurangnya pendapatan, akan tetapi akibat pemborosan yang tidak terkontrol. Beberapa orang yang saya amati kadang lebih besar pasak dari pada tiang, kalau sekedar gali lubang tutup lubang masih agak lumayan. Pemborosan terutama terjadi adalah belanja rokok dan cemilan di luar makanan pokok.Â
Pernah saya perhatikan satu keluarga, terdiri dari bapak, ibu dan 2 anak (usia anak 10 dan 17 tahun). Bapak dan ibu rumah tangga bekerja, dan pendapatan rata-rata satu bulan sebesar Rp8 juta (gabungan suami dan istri), perusahaan menyediakan perumahan, listrik dan air tidak bayar. Jadi seluruh penghasilannya tidak ada lagi biaya untuk bayar listrik dan air. Setelah saya amati, biaya untuk makan sehari-hari sesuai yang saya alami maksimum Rp 1,5 juta satu bulan (pengalaman pribadi/saya dan istri (2 orang), karena ada catatan istri setiap bulan), tentu di luar pulsa telepon plus saya bukan perokok.
Setiap gajian selalu ada laporan atau sekedar desas- desus, bahwa pekwrja atas nama si Polan hanya terima amplop karena uangnya habis semua dipotong di kedai ransum bahkan masih belum lunas.
Beberapa orang pernah saya panggil untuk bincang'bincang, dan memberi pemahaman akan pentingnya pengelolaan keuangan, ada yanv berubah, tapi ada juga yang tak peduli. Suatu ketika saya gerah juga dengar laporan suami/istri bekerja (penghasilan Rp 8 jt/bulan), plus baru cair dana BLT dari BPJS , tetapi utang di kedai ransum juga belum tertutupi, akhirnya saya panggil ke kantor dua-duanya, saya mau mereka melek pengelolaan keuangan.Â
Dalam perbincangan terungkap bahwa mereka tidak bisa menahan keinginan untuk jajan, terutama minuman berkarbonasi, setiap hari pasti minum minuman berkarbonasi ditambah minum kopi manis minimal 3 kali perhari, tapi yang lebih parah dua-duanya perokok berat bisa menghabiskan uang sampai dengan Rp2 - Rp 3 juta untuk belanja rokok, sedangkan belanja jajanan juga Rp 2 jt perbulan diluat makanan pokok. Saya mendengarnya terperanjat, dan saya berikan nasehat untuk berbenah karena harus ada pengelolaan keuangan, dan tiap bulan wajib disisihkan untuk tabungan.Â
Bulan berikutnya saya tanya kedai ransum yang biasa mereka belanja, berapa banyak belanjanya, saya dapat laporan sudah berkurang yang biasanya satu bulan belanja bisa Rp 6 - Rp 7 jt, srkarang sudah berkurang jadi Rp 4 jt. Rasanya lega, berarti saya bisa mempengaruhi orang lain ke arah yang lebih baik.Â
Tapi ada juga yang seolah-olah berubah yang biasanya belanjanya Rp6 jt, berubah jadi Rp3 jt, akan tetapi belanja sesungguhnya bukan sebanyak itu, dia buka belanja baru di tempat lain yang agak jauh dari lingkungan perumahan pwrusahaan, sehingga kalau ditotal pengeluarannya tetap sama. Mungkin maksud hatinya supaya tidak ada yang beri dia nasehat.
Kesimpulan saya adalah, banyak masyarakat awam yang kurang pengetahuan untuk mengelola keuangan. Sejatinya itu harus dimulai sejak dini, sejak masih anak-anak, kelak sudah dewasa tidak lagi kalap kalau melihat uang.
Ada rekan kerja yang bergurau, kadang orang yang tidak pendai mengelola keuangan maka dia tidak akan nyenyak tidur kalau uang ditangaannya masih ada, jika uang ditangannya sudah tiada barulah dia bisa tidur nyenyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H