Berbicara tentang manusia, hidup, arti dan peranan eksistensinya selalu aktual. Selain menjadi pokok permasalahan, juga dapat dilihat bahwa persoalan besar apa pun yang dipecahkan di bumi kita ini, pada inti dan akhirnya selalu bertautan dengan manusia. (Poespowardojo, 1983 : 1).
Salah satu persoalan besar yang selalu menghinggapi manusia adalah persoalan seputar kematian. Kematian merupakan kenyataan yang pasti dan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Namun, kenyataan yang tak terhindarkan ini tidak mengakibatkan kematian menjelma menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan, diulas dan direnungkan. Kematian justru merupakan sesuatu yang ingin dihindari dan disingkirkan dari kesadaran kehidupan kita. Sebuah buku berjudul The Denial of Death (1973 : 25) yang ditulis oleh Ernest Becker memberikan analisis secara panjang lebar bagaimana masyarakat modern melarikan diri dari masalah kematian. Beberapa tahun kemudian, fenomena “penipuan diri” itu digarisbawahi lagi oleh A.S. Berger dalam Death and Immortality in the Religions of the World (1987 : 47). Pendeknya, sampai akhir-akhir ini pembicaraan mengenai persoalan itu masih tabu. Kita tidak mau dan tidak mempunyai kesempatan untuk berpikir tentang kematian secara serius. Perhatian manusia terhadap kematian mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia itu sendiri (van Peursen, 1998 : 45).
Sebagaimana dalam catatan Leahy (1998 : 4), dalam dua dasawarsa terakhir ini telah terjadi perubahan yang drastis tentang persoalan ini. Pembicaraan dan analisis fenomena kematian itu menarik perhatian begitu besar dan menimbulkan minat begitu tinggi, sehingga dalam waktu yang relatif singkat banyak buku dan artikel telah terbit berkaitan dengan isu-isu tersebut daripada selama abad yang lampau.
Bila kita menelusuri bentangan matras sejarah dan perkembangan filsafat, kita akan menemukan bahwa filsafat kiranya dapat digolongkan sebagai pemikiran yang tak pernah lepas dari kematian. Kematian senantiasa merupakan persoalan yang mendalam dan fundamental bagi para filsuf. Kematian menjadi tema abadi yang tak pernah selesai untuk dipelajari (Ritchie, 1983 : 7).
Blaise Pascal mengatakan bahwa demi seluruh kehidupan ini, sungguh penting sekali untuk menyadari apakah jiwa manusia akan mengalami kematian atau sebaliknya bersifat kekal. Oleh karena itu, kewajiban dan kepentingan yang paling utama adalah mencari cahaya mengenai hal itu, yang padanya tergantung seluruh tindakan kita. Voltaire menyebutkan bahwa manusia adalah satu-satunya spesies yang tahu bahwa dia akan mati, dan pengetahuan itu dia dapatkan dari pengalaman. Sementara itu, Max Scheler dan Heidegger berpendapat bahwa kesadaran akan kematian merupakan struktur a priori dan imanen kesadaran manusia (Hadi, 1996 : 164). Kendatipun kematian bersifat imanen dan natural bagi manusia, tidak berarti bahwa kematian merupakan gejala yang bisa dipahami dan diterangkan dengan gamblang.
Di dalam menghadapi kematian yang sangat menonjol adalah rasa takut yang mendalam. Kebanyakan orang tidak akan tenang dan mudah menghadapi kematian, baik kematian dirinya sendiri maupun kematian orang yang sangat dicintainya. Kematian yang begitu riil dan nyata di dalam kehidupan setiap orang tetap saja membawa kegoncangan yang cukup mendalam dan bahkan bisa mengubah kehidupan seseorang (Hadi, 1996 : 165).
Kegoncangan yang terasa dalam diri seseorang tatkala melihat kematian mendatanginya atau orang-orang di sekitarnya, semakin terasa ketika ada ikatan emosi di antara mereka. Semakin dekat jarak fisik dan emosi kita dengan mereka, semakin dahsyat goncangan itu, semakin jauh jarak semakin terasa wajar kematian itu (Leahy, 1998 : x).
Betapa pun goncangan demikian terasa dalam jiwa, bahkan tidak jarang terjadi perubahan dalam hidup manusia disebabkan oleh kematian. Kematian menjadi monster yang sangat mengerikan bagi kebanyakan manusia. Hegel mengatakan bahwa dalam hidup setiap orang kematian bergerak maju secara perlahan-lahan. Dia adalah musuh yang tak terlihat muka demi muka. Musuh itu menyebabkan makhluk yang kita cintai berubah dari keadaan makhluk hidup ke keadaan benda yang kosong, dan kita hanya bisa menangisi mereka (Leahy, 1998, 8-9). Namun manusia tak mampu mengelak akan datangnya kematian itu. Kematian adalah suatu kepastian yang akan menghampiri setiap yang bernyawa.
J. Sudarminto mengatakan bahwa salah satu kenyataan hidup manusia di dunia ini adalah mati. Mengenai di mana dan kapan manusia mengalami kematian, tidak seorang pun tahu dengan pasti, tetapi setiap orang tahu dengan pasti bahwa suatu saat dan di suatu tempat dia akan mengalami kematian (Sudarminto, 1990 : 36).
Dalam Serat Bayanullah, XI : 2-6 yang terjemahannya penulis kutip dari skripsi karya Sunarto berjudul Konsep Ketuhanan dalam Serat Bayanullah (1997 : 85-86)disebutkan sebagai berikut :
“Kenyataan orang hidup di dunia adalah hidup itu lawannya mati. Setiap hari berkurang nyawanya, tidak mengetahui tinggal seberapa umurnya. Bila masih muda tidak pernah memikirkan tentang mati, sesudah menginjak usia tua, setiap hari khawatir, sebab tubuhnya semakin rapuh, ingin segera pulang. Pikiran meminta-minta memaksa tidak mau, gelisah mau meninggalkan dunia, seandainya ditanya untuk mati, pasti tidak akan mau, sebab hatinya masih merasa senang terhadap dunia, berkumpul dengan anak cucu, keluarga, sanak famili. Begitulah watak manusia yang tidak mau mati.
Jangankan manusia, hewan pun yang tidak mengetahui tentang mati juga bila terkena sakit, kaki pincang diseret-seret, juga masih berlari, mencari hidup dengan sembunyi-sembunyi. Kalau begitu semua saja yang hidup tidak akan pernah mau mati. Untuk itu semua saja wahai para sarjana yang mau berpikir, carilah bagaimana hakikat mati agar tidak khawatir akan kematian. Orang yang khawatir karena belum jelas pengetahuannya tentang hakikat kematiannya. Walaupun ada yang mengetahui, mengambil ajaran dari para guru yang masih hidup, itu masih belum betul, kematian sesungguhnya, mati yang sebenar-benarnya adalah tak terpisahkan dengan hidup, menghilangkan kekhawatiran.
Kekhawatiran orang yang belum mengetahui, selalu membayangkan tempat yang akan datang, mencapai surga tetapi belum pernah mengalami mati. Kalau manusia yang waspada, mengetahui kejadian yang belum terjadi berdasarkan kenyataan, berguru pada manusia yang pernah mati, jadi tidak khayalan.”
Dalam Serat Bayanullah tersebut dijelaskan bahwa sesungguhnya kematian itu sudah merupakan ketentuan kodrati yang tidak akan pernah bisa dihindari oleh yang bernyawa. Sesungguhnya, dalam unsur immateri yang dimiliki manusia, terdapat keinginan untuk segera masuk ke alam kematian. Suasana alam kematian merupakan suasana yang dirindukan dan diharap-harapkan oleh unsur immateri itu, karena kematian akan mengantarkannya kembali pada gerbang kodratinya. Terjadinya kematian sudah merupakan konsekuensi logis bagi kehidupan. Walaupun demikian banyak manusia yang berusaha untuk mengingkari akan kematian itu. Penyebabnya menurut Serat Bayanullah, tiada lain karena hal-hal yang bersifat duniawi-materi. Keinginan untuk selalu bersama dengan segala yang telah dicapai dalam hidup di dunia menyebabkan manusia enggan untuk berpisah darinya. Maka muncullah ketakutan dan kekhawatiran akan kematian. Serat Bayanullah menyebutkan, hal itu hanya muncul pada orang-orang yang tidak mengetahui hakikat kematian. Padahal kematian takkan pernah terpisah dari hidup.
Dalam kebudayaan Jepang terdapat pemikiran dari seorang guru samurai termasyhur bernama Yagyu-Tajiama-no-kami yang menyatakan bahwa barangsiapa mengenal kematian, juga mengenal hidup. Dan barangsiapa yang melalaikan kematian juga melalaikan kehidupan. Kematian sesungguhnya pintu menuju keabadian hidup.
Sejalan dengan hal itu, Theilhard de Chardin, seorang paleontolog dari Perancis menyebutkan bahwa kematian sekaligus merupakan kebangkitan. Dia melambangkan kematian itu bagaikan seseorang yang sedang naik ke puncak gunung. Lereng gunung itu diselimuti oleh kabut gelap dan pekat, tapi orang itu tetap nekad untuk masuk menembus kabut. Lalu, pandangan pun menghilang, rasa takut menimpa. Pada saat itu, kata Theilhard, orang itu bisa tersesat dan tidak mencapai puncak gunung itu sama sekali. Namun, beberapa saat kemudian, kabut pun terlewati, ditinggalkan di belakang, dia pun menikmati sinar matahari, langit biru cerah dan pemandangan luas yang menakjubkan. Demikian itulah kematian manusia (Dahler, 1993 : 136).
Kematian merupakan proses yang harus dialami oleh manusia guna mengembalikannya kepada cita-cita tertinggi yang bersemayam di dalam jiwanya. Remigius Ceme dalam tulisannya tentang Manusia Setelah Mati (1989 : 60) mengatakan bahwa jiwa yang dimiliki manusia berasal dari dunia ruh, dunia ideal. Melalui salah satu cara yang tak terduga, sebagaimana dalam mitologi Yunani kuno, jiwa itu terlempar ke dunia materi dan masuk ke dalam badan, namun, badan merupakan tempat yang asing dan bertentangan dengan hakikat jiwa. Jiwa dikitari oleh kejahatan sehingga tidak dapat merealisasikan eksistensinya. Kebahagiaan awal yang dirasakan di dunia ruh, sangat jauh berkurang dengan yang ada di dunia materi. Kendati demikian, jiwa memiliki kerinduan kodrati untuk pulang ke dunia ideal, tempat kebahagiaan abadi. Maka, jalan untuk sampai ke sana tidak ada lain kecuali kematian. Hanya kematian yang dapat memenuhi kerinduan itu.
Hamersma dalam bukunya yang berjudul Filsafat Eksistensi Karl Jaspers (1985 : 15), mengatakan bahwa kematian hanya merupakan suatu “peristiwa” bila kematian itu menimpa orang lain. Sedangkan kematian saya sendiri bukan merupakan “pengalaman”. Seluruh hidup saya merupakan persiapan untuk kematian saya. Di hadapan kematiannya manusia menyadari bahwa dia unik. Kematian saya tidak mirip dengan kematian orang lain. Kesadaran terhadap keunikan ini dapat membangun eksistensi saya. Artinya, sikap saya terhadap kematian berubah bersama perkembangan saya.
Katha Upanishad, sebagaimana yang dikutip oleh Anand Krishna (1999 : 85), bertutur bahwa dia yang terbebaskan dirinya dari dualitas baik dan buruk, dari keinginan dan keterikatan yang disebabkan oleh kebodohan, akan memahami tentang kematian. Demikian, dia dapat melewatinya dengan mudah dan menyatu dengan Kesadaran Murni.
Hal yang diungkapkan dalam Upanishad ini senada dengan yang terungkap dalam Serat Bayanullah sebelumnya. Hanya manusia yang dapat terlepas dari ikatan berbagai hal yang bersifat materi, melepaskan jiwa dari belenggu duniawi, yang akan mampu memahami hakikat kematian. Menyatu kembali dengan Kehidupan Yang Abadi, yang dalam terminologi Upanishad disebut dengan Kesadaran Murni. Menuju kepada Kesadaran Murni harus mampu melepaskan kesadaran semu dalam bayang-bayang duniawi.
Anand Krishna pun mengatakan bahwa manusia yang selalu berusaha memurnikan jiwanya, pada akhirnya mencapai pencerahan, kemudian bersatu dengan Kesadaran Murni. Penyatuan dengan Kesadaran Murni ini akan menghadirkan kerinduan terhadap kematian. Kematian bukan dalam arti sebagai titik akhir, melainkan sebagai pintu menuju kehidupan yang terus mengalir (Krishna, 1999 : 87).
Inilah yang dirasakan oleh Rabindranath Tagore yang tersirat dalam puisinya yang dikutip oleh Elisabeth Kubler-Ross (1998 : 1) :
“Izinkan aku berdoa bukan agar terhindar dari
bahaya melainkan agar aku tiada takut
menghadapinya.
Izinkan aku memohon bukan agar
penderitaanku hilang melainkan agar hatiku
teguh menghadapinya,
Izinkan aku tidak mencari sekutu dalam
medan perjuangan hidupku melainkan
memperoleh kekuatanku sendiri.
Izinkan aku tidak mengidamkan dalam
ketakutan dan kegelisahan untuk diselamatkan
melainkan harapan dan kesabaran untuk
memenangkan kebebasanku,
Berkati aku sehingga aku tidak menjadi
pengecut, dengan merasakan kemurahan-Mu
dalam keberhasilanku semata; melainkan
biarkan aku menemukan genggaman tangan-Mu
dalam kegagalanku”
Sentuhan ruhani ketika berhadapan dengan problematika kematian ini pun tersirat dalam ungkapan Jalaluddin Rumi (Chittick, 2000 : 122-123) :
“Jika engkau takut dan ingin lari dari kematian, oh teman, berarti engkau takut pada diri sendiri. Camkan itu!
Pemimpin umat manusia, Sang Nabi, telah berbicara tentang kebenaran : “Tiada seorang pun meninggalkan dunia tanpa merasakan sakit, penyesalan, dan kehilangan karena kematian.”
Tapi, dia memiliki seratus penyesalan karena apa yang telah dia lupakan ;
Mengapa tidak aku jadikan kematian sebagai kiblat, kematian adalah perbendaharaan yang menyimpan setiap kebaikan dan kekayaan?
Mengapa kebutaan aku jadikan kiblatku hingga seluruh hidupku tertipu dan waktu kubiarkan saja berlalu?
Penyesalan setelah kematian bukan berasal dari kematian, ia muncul karena mereka tertipu oleh lukisan-lukisan;
Kita melihat bahwa segalanya hanyalah lukisan dan busa; busa mengambil persediaan dan makanan dari Lautan.”
Bagi setiap orang yang telah sampai memahami hakikat terdalam dari sebuah proses kematian, unsur ruhani lebih dominan daripada rasio. Sentuhan ruhani dalam melihat fenomena kematian akan menggantikan gambaran kematian sebagai sesuatu yang menakutkan menjadi sesuatu yang dirindukan. Kesakitan, kegelapan, ketersiksaan dalam gambaran kematian berubah menjadi harapan dan kerinduan akan pencapaian kebahagiaan sejati. Kehidupan tanpa beban dan penuh dengan keabadian.
Syekh Siti Jenar pun sangat merindukan kehidupan tanpa beban dan penuh dengan keabadian itu. Di dunia ini hal itu belum bisa diperoleh manusia. Di dalam dunia manusia belum hidup, dia masih bersifat mayit, mati. Kehidupan sekarang ini bukan kehidupan sejati. Karena masih dihinggapi kematian.
Syekh Siti Jenar menyesali kehidupan di dunia karena dia harus mengalami derita. Dia berkata, “Aku menyesal sekali dengan hidupku ini. Jika dahulu aku tetap suci dan tidak dicurigai, namun sekarang tanpa arah, tanpa tujuan. Seperti warna hitam, merah, putih, dan entah hijau atau nila sampai kuning. Wahai, kapan aku bisa hidup seperti dahulu, yang lahir tanpa mati seperti sekarang ini” (Sofwan, 2000 : 210).
Hidup sejati, menurut Syekh Siti Jenar, tak tersentuh kematian. Badan, yang berupa tulang, sumsum, otot dan daging, hanyalah perangkap bagi kehidupan. Dia menganggap bahwa hidup di dunia ini tersesat. Hidup yang sebenarnya itu tanpa raga. Justru adanya raga ini yang menimbulkan banyak penyesatan, godaan, iblis dan setan. Raga adalah kerangkeng bagi diri atau jiwa. Dengan raganya manusia menjumpai banyak neraka. Dengan raganya manusia merasakan banyak penderitaan (Chodjim, 2002 : 22-23).
Kaum penganut paham materialisme, tentu tidak akan sependapat dengan Syekh Siti Jenar. Justru raga inilah sebagai unsur utama kehidupan manusia. Organ-organ yang menyusun raga inilah yang bekerja dengan baik sesuai dengan fungsinya masing-masing sehingga memunculkan sifat hidup bagi manusia. Manusia bisa dikatakan hidup bila seluruh organ tubuhnya berfungsi sebagaimana mestinya. Bila ada yang terganggu, berarti hidupnya terganggu dan pada akhirnya bisa membawa kepada kematian. Ketika tiba masa kematian itu, lenyaplah hidup manusia.
Struktur ontologis yang dimiliki manusia, yang terdiri atas unsur materi dan immateri menunjukkan proses perjalanan eksistensinya, bukan sekedar di dunia. Artinya, manusia memiliki suatu tujuan yang pasti, tujuan yang mentransenden dunia materi. Bersedia atau tidak bersedia pasti akan mengarah ke sana. Itulah cita-cita tertinggi yang terselubung di dalam jiwa manusia dan hanya kematian yang akan mengantarkan ke sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H