Mohon tunggu...
John Rinaldi
John Rinaldi Mohon Tunggu... -

Saya adalah alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Berminat terhadap kajian filsafat, sosial, budaya, psikologi, agama, dan sufistik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menelusuri Kehidupan Syekh Siti Jenar (Selesai)

3 Mei 2010   05:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:27 3568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kematian Syekh Siti Jenar dalam Babad Tanah Jawa yang disadur oleh S. Santoso, dikisahkan lebih berbeda lagi. Dalam babad ini disebutkan Syekh Siti Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali ke masjid. Para ulama takjub karena dia dapat terbang ke surga, namun kemudian marah karena badannya kembali ke masjid. Melihat hal yang demikian, Sunan Giri kemudian mengatakan bahwa tubuhnya harus ditikam dengan sebuah pedang, kemudian dibakar. Syekh Maulana lalu mengambil sebuah pedang dan menikamkannya ke tubuh Syekh Siti Jenar, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah dan menuduh Syekh Siti Jenar berbohong atas pernyataannya yang menegaskan bahwa dia rela mati.

Syekh Siti Jenar menerima banyak tikaman dari Syekh Maulana, tetapi dia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, “Itu luka orang jahat, terluka tapi tidak berdarah.” Dari luka-luka Syekh Siti Jenar itu seketika keluar darah berwarna merah. Seketika Syekh Maulana berkata lagi, “Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah yang keluar berwarna merah.” Darah merah yang mengucur itu seketika berubah berwarna putih. Syekh Maulana berkata lagi, “Ini seperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Kalau insan kamil betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya, berarti kawula gusti tak terpisah.” Dalam sekejap mata tubuh Syekh Siti Jenar hilang dan darahnya sirna.

Syekh Maulana kemudian membuat muslihat dengan membunuh seekor anjing, membungkusnya dengan kain putih dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa mayat Syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing disebabkan ajarannya yang bertentangan dengan syariat. Anjing itu kemudian dibakar.

Beberapa waktu setelah peristiwa itu, para ulama didatangi oleh seorang penggembala kambing yang mengaku sebagai murid Syekh Siti Jenar. Dia berkata, “Saya dengar para wali telah membunuh guru saya, Syekh Siti Jenar. Kalau memang demikian, lebih baik saya juga Tuan-tuan bunuh. Sebab saya ini juga Allah, Allah yang menggembalakan kambing.” Mendengar penuturannya itu, Syekh Maulana kemudian membunuhnya dengan pedang yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh Syekh Siti Jenar. Seketika tubuh mayat penggembala kambing itu lenyap (Tebba, 2003 : 43).

Versi lain tentang proses kematian Syekh Siti Jenar yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini adalah versi Serat Negara Kertabumi yang disunting oleh Rahman Sulendraningrat. Kisah eksekusi terhadap Syekh Siti Jenar yang terdapat dalam versi ini berbeda dari yang lainnya.

Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra kacirebonan ini diawali dengan memperlihatkan posisi para pengkut Syekh Siti Jenar di Cirebon sebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kasultanan Cirebon. Sejumlah tokoh pengikutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi semuanya menemui kegagalan.

Tatkala Pengging dilumpuhkan, Syekh Siti Jenar yang pada saat itu menyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon diikuti oleh para muridnya dari Pengging. Di Cirebon, kekuatan Syekh Siti Jenar menjadi semakin kokoh, pengikutnya meluas hingga ke desa-desa. Setelah Syekh Datuk Kahfi meninggal dunia, Sultan Cirebon menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Amparan Jati. Pangeran Punjungan bersedia menjalankan tugas yang diembankan sultan untuknya, namun dia tidak mendapatkan murid di sana karena orang-orang telah menjadi murid Syekh Siti Jenar. Bahkan panglima balatentara Cirebon bernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi murid Syekh Siti Jenar. Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar merasa aman tinggal di Cirebon Girang.

Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh Sultan Demak. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai 700 orang prajurit ke Cirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu.

Langkah pertama yang diambil Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di Istana Pangkuangwati. Selanjutnya balatentara Cirebon dan Demak menuju padepokan Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syekh Siti Jenar kemudian dibawa ke Masjid Agung Cirebon, tempat para wali telah berkumpul.

Sebagai hakim ketua dalam persidangan itu adalah Sunan Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan Syekh Siti Jenar harus dihukum mati. Kemudian Sunan Kudus melaksanakan eksekusi itu menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa itu terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506 M (Sofwan, 2000 : 222).

Pada peristiwa selanjutnya, dalam Serat Negara Kertabumi ini mulai diperlihatkan kecurangan yang dilakukan oleh para ulama di Cirebon terhadap keberadaan jenazah Syekh Siti Jenar. Dikisahkan, setelah eksekusi dilaksanakan jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di suatu tempat yang kemudian banyak diziarahi orang. Untuk mengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan, sedang di kuburan yang sering dikunjungi orang itu dimasukkan bangkai anjing hitam,

Ketika para peziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke Jawa Timur, kubur dibuka dan ternyata yang tergeletak di dalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing. Para peziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu. Ketika itu Sultan Cirebon memanfaatkan situasi dengan mengeluarkan fatwa agar orang-orang tidak menziarahi bangkai anjing dan agar meninggalkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar (Sulendraningrat, 1983 : 28).

Berbagai versi tentang kematian Syekh Siti Jenar menunjukkan bila tokoh ini sangat kontroversial. Berbagai literatur yang ada tidak dapat memastikan tentang asal-usul keberadaannya hingga proses kematian yang dialaminya. Walau pun demikian, sejumlah besar keterangan yang mengisahkan tentang keberadaannya memperlihatkan ajarannya yang selalu dipertentangkan dengan paham para wali, namun tidak jarang membuat para wali itu sendiri “kagum” dan “mengakui” kebenaran ajarannya. Tentu saja “pengakuan” dan “kekaguman” itu tidak pernah diperlihatkan secara eksplisit karena akan mengurangi “keagungan” mereka, sehingga ending dari kisah Syekh Siti Jenar selalu dihiasi dengan usaha-usaha licik para wali, bahkan sekali pun terhadap mayatnya. Ada baiknya sebelum vonis “sesat” dijatuhkan terhadap ajaran sufi martir ini, kita memahami terlebih dahulu inti ajaran yang disampaikannya.

Sebelum uraian tentang sejumlah inti ajaran Syekh Siti Jenar disampaikan, terlebih dahulu penulis mencoba untuk memetakan posisi Syekh Siti Jenar di antara para wali (Walisongo) yang ada di tanah Jawa.

Pada umumnya orang berpendapat bahwa yang disebut Walisongo adalah :

1.Syekh Maulana Malik Ibrahim

2.Raden Rahmad (Sunan Ampel)

3.Raden Paku (Sunan Giri)

4.Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)

5.Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang)

6.Raden Qosim (Sunan Drajat)

7.Raden Syahid (Sunan Kalijaga)

8.Ja’far Shodiq (Sunan Kudus)

9.Raden Prawoto (Sunan Muria)

Sepertinya pendapat umum tidak menempatkan Syekh Siti Jenar dalam posisi salah seorang dari Walisongo. Tetapi ada juga yang memasukkan Syekh Siti Jenar sebagai salah seorang wali dari Walisongo. Misalnya susunan Walisongo yang disebutkan oleh Amaludin Kasdi (Tebba, 2003 : 19) :

1.Maulana Magribi

2.Sunan Giri

3.Sunan Gunung Jati

4.Sunan Drajat

5.Sunan Bentong

6.Sunan Bonang

7.Sunan Kudus

8.Pangeran Majagung

9.Syekh Siti Jenar

Kemudian Soekmono dalam bukunya Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (1985 : 51) menyebutkan bahwa yang tergolong Walisongo adalah :

1.Sunan Gunung Jati

2.Sunan Ampel

3.Sunan Bonang

4.Sunan Drajat

5.Sunan Kalijaga

6.Sunan Giri

7.Sunan Kudus

8.Sunan Muria

9.Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang)

Sulendraningrat dalam bukunya Babad Tanah Sunda-Babad Cirebon menyebut walisongo dengan sebutan Wali Sanga Jawadwipa. Para wali itu adalah (Sujamto, 2000 : 97) :

1.Sunan Ampel (diteruskan oleh Sunan Giri)

2.Syekh Maulana Magrib

3.Sunan Bonang

4.Sunan Undung (setelah wafat diteruskan oleh putranya, Sunan Kudus)

5.Sunan Muria

6.Sunan Kalijaga

7.Syekh Lemah Abang

8.Syekh Bentong

9.Syekh Majagung

Selanjutnya K. Muslim Malawi (1985 : 10) menyebut susunan Walisongo sebagai berikut :

1.Sunan Ampel

2.Sunan Bonang

3.Sunan Undung (setelah wafat digantikan oleh putranya, Sunan Kudus)

4.Sunan Giri

5.Sunan Kalijaga

6.Sunan Muria

7.Syekh Lemah Abang

8.Syekh Bentong

9.Syekh Majagung

R. Tanojo dalam buku Riwayat Wali Sanga (Babad Jati) menyebutkan bahwa para wali itu adalah :

1.Syekh Siti Jenar

2.Susuhunan Kalijaga

3.Susuhunan Giri

4.Susuhunan Geseng

5.Pangeran Modang

6.Susuhunan Ngampel

7.Susuhunan Ngudung

8.Susuhunan Prawoto

9.Susuhunan Maulana Magribi

Sementara itu tiga penulis lain, yaitu Solichin Salam (1974 : 23), Umar Hasyim (1983 : 40), dan Nur Amin Fattah (1984 : 27-34) menyebutkan pendapat yang sama, bahwa Walisongo itu adalah :

1.Maulana Malik Ibrahim

2.Sunan Ampel

3.Sunan Bonang

4.Sunan Giri

5.Sunan Drajat

6.Sunan Kalijaga

7.Sunan Kudus

8.Sunan Muria

9.Sunan Gunung Jati

Keterangan tentang Walisongo yang sama sekali berbeda dengan seluruh pendapat sebelumnya, terdapat dalam Serat Walisana terbitan Tan Khoen Swie. Sujamto (2000 : 100-101) memberikan penjelasan tentang Walisongo berdasarkan serat tersebut. Menurutnya, jumlah wali di tanah Jawa pada saat itu banyak sekali, bukan hanya sembilan. Terdapat dua tingkatan wali, yaitu wali sana (bukan wali sanga) dan wali nukbah. Tingkatan pertama merupakan wali utama, panutan dan narasumber para wali yang berada pada tingkatan kedua. Jumlah mereka ada delapan orang, yakni Sunan Ngampel, Sunan Gunung Jati, Sunan Ngudung, Sunan Giri dari Giri Gajah, Sunan Makhdum dari Benang, Sunan Ngalim dari Majagung, Sunan Mahmud dari Derajat dan Sunan Kali (Wali Pamungkas).

Sedangkan tingkatan kedua (wali nukbah) adalah wali sambungan atau wali junior. Jumlah mereka ada 25 orang, yakni Sunan Tembayat, Sunan Giri Parapen, Sunan Kudus, Sultan Syah Ngalam Akbar (Raden Patah), Pangeran Wijil dari Kadilangu, Pangeran Ngawongga, Ki Gedhe Kenanga Pengging, Pangeran Konang, Pangeran Cirebon, Pangeran Karang Gayam, Ki Ageng Sela, Pangeran Panggung, Pangeran dari Surapringgo, Kyai Juru Martani dari Giring, Kyai Ageng Pemanahan, Buyut Ngerang, Ki Gedhe Wanasaba, Panembahan Palembang, Ki Buyut dari Banyu Biru, Ki Ageng Majasta, Ki Ageng Gribig, Ki Ageng dari Karotangan, Ki Ageng Toya Jene, Ki Ageng Toya Reka dan penutupnya adalah wali raja, yaitu Kangjeng Sultan Agung.

Itulah sejumlah versi tentang Walisongo. Ada yang memasukkan Syekh Siti Jenar sebagai bagian dari mereka dan ada pula yang memisahkannya. Mana yang benar dari berbagai keterangan tersebut belum ada literatur yang dapat memastikannya. Variasi keterangan yang ada akan memperluas wacana kita tentang Walisongo dan Syekh Siti Jenar. Bila kita memahami bahwa Syekh Siti Jenar merupakan bagian dari Walisongo, rasanya tidak relevan menyatakan adanya pertentangan antara dia dengan Walisongo. Meminjam pendapat Sudirman Tebba, lebih tepat untuk menyatakan pertentangan antara tasawuf sunni dengan tasawuf falsafi. Yang disebut pertama adalah tasawuf yang berwawasan moral praktis berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Sedangkan yang disebut kedua merupakan tasawuf yang menggabungkan tasawuf sunni dengan berbagai aliran mistis dari luar Islam seperti Hinduisme, kependetaan Kristen dan teosofi dalam Neoplatonisme (Tebba, 2003 : 11-12).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun