Mohon tunggu...
Yohanes Paulus KH
Yohanes Paulus KH Mohon Tunggu... -

Penggemar dunia komputasi, kuliner, filsafat pop, sastra, dan musik. Manusia gado-gado yang cocoknya digado (tanpa nasi)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Keroncong Tenggara, Bukan Keroncong Museum

13 Januari 2014   17:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1389607065481194615

"Inilah keroncong fantasi..." Baris dari cerpen Keroncong Pembunuhan karya Seno Gumira Ajidarma mengakhiri kisah penembak jitu dan pergumulannya dalam fenomena penembakan misterius tahun 80an lalu. Mengambil setting sebuah pesta yang dihadiri oleh orang - orang penting, sebagian besar orang tua. Selagi lagu yang dimainkan membangkit kenangan mereka yang tua, sang penembak merasa ngantuk gegara keroncong yang dimainkan. "Musik keroncong sekarang ini seperti benda museum, para senimannya kurang jenius untuk membuatnya lebih berkembang." Hehehe cerpen ini terbit sejak tahun 1985 di Kompas, tapi pada tahun itu saja keroncong sudah dianggap layak masuk museum, efek dari tidak adanya inovasi di musik pop asli Indonesia ini. Lah apa iya? Perkenalan saya dengan Keroncong Tenggara terjadi di Youtube, entah bagaimana caranya saya mengklik tautan ke Gambang Semarang. Lagu ini digarap oleh Ubiet Raseuki dan kawan-kawan. Sebagai penggemar musik keroncong sulit bagi saya untuk menemukan aransemen keroncong yang asyik dan mengena. Sering saya temui keroncong yang mengandalkan bebunyian organ tunggal untuk mengiri penyanyinya, bunyi instrumen gitar kencrung (cak dan cuk) yang harusnya jadi nyawa tidak nampak. Tapi yang satu ini... wow! Gambang Semarang ini digarap dengan asyik, bunyi keyboard ala gamelan di awal lagu, ditimpali sekelebatan suling dan akordion. Lalu seperti lagu keroncong pada umumnya masing-masing instrumen berkejar-kejaran membentuk harmoni. Cello, Bas, Cak, dan Cuk membentuk ritme yang rumit tapi tidak njelimet. Vokal Ubiet berbeda dengan penyanyi keroncong kebanyakan, ada desah - desah kecil dan meskipun instrumennya membuat suasana terang, vokal Ubiet justru gelap. Tapi break kendang di tengah lagu mengingatkan kita bahwa lagu ini masih berwarna riang. Saya temukan video itu dua tahun yang lalu, tapi baru tadi ini saya ketemu CD Keroncong Tenggara. Sebelumnya hampir setiap toko CD yang saya datangi tidak punya koleksi ini dan ternyata Keroncong Tenggara adalah rilisan yang cukup lama, dari tahun 2007. Wah ketinggalan saya... [caption id="attachment_289952" align="aligncenter" width="300" caption="CD Keroncong Tenggara"][/caption] Keroncong Tenggara bukan keroncong museum. Ubiet dan kawan-kawan memadukan keroncong yang tua dengan musik yang punya akar juga sama-sama tuga: Jazz. Memang keroncong adalah musik yang elastis, dia bisa ditarik ke ranah paling ortodok juga dipadukan dengan gaya urakan juga hip-hop. Ketika keroncong ditarik ke tanah jazz apa saja yang bisa terjadi? Gaya ringan di "Gambang Semarang" tadi didahului oleh gaya nakal di "Aksi Kucing". Masih belum liar? Coba "Senja di Pelabuhan Kecil" yang meliuk-liuk, berat tapi menghanyutkan. Seperti layaknya musik jazz, mereka menyajikan improvisasi di sana-sini, tidak hanya instrumen musik musik, juga vokal Ubiet. Improvisasi yang ada tidak memenuhi musik tapi menghadirkan aroma yang berbeda. Eksperimend yang hadir di Keroncong Tenggara memberikan warna baru bagi perkembangan musik keroncong. Bersebelahan dengan Keroncong Protol-nya Bondan Prakoso dan Keroncong Chaos dari Jogja juga mereka yang muda tapi menyelami musik ini. Jadi siapa bilang keroncong barang museum?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun