Mohon tunggu...
John Patanisia
John Patanisia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

RSD Patani dengan Perspektif Hukum Internasional

31 Januari 2016   14:14 Diperbarui: 5 Mei 2016   21:11 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-Action PerMAS-

Hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Secara normatif hak ini diatur dalam berbagai perjanjian internasional dan yurisprudensi mahkamah internasional.

Konsep hak penentuan nasib sendiri dianalisis dari dua perspektif yaitu pengertian pertama berkaitan dengan dekelonosasi atau praktik memerdekakan diri dari sebuah bangsa untuk membentuk sebuah negara yang merdeka. Pengertian kedua berkaitan dengan kebebasan kolektif penduduk untuk menentukan nasib sendiri bukan dalam rangka membentuk negara baru melainkan kebebasan dalam konteks partisipasi penduduk dalam menentukan kebijakan serta implimentasinya dalam suatu negara.

Sejak awal tahun 1990-an, terjadi peningkatan konflik di berbagai negara dikarenakan individu-individu atau kelompok dalam suatu negara tersebut ingin melepaskan diri dari kolonialisme atau melepaskan diri dari pelanggaran yang terjadi di negara tersebut dan menggunakan hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai dasar untuk mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun tidak dapat dibenarkan jika diluar konteks kolonialisme, seperti kelompok-kelompok kecil dengan idealisme yang berbeda dengan pemerintahan dan kebijakan dalam suatu wilayah kemudian membentuk suatu gerakan separatisme dan menggunakan hak penentuan nasib sendiri untuk membebaskan diri. Hal ini bertentangan dengan tujuan PBB yang menekankan pentingnya integritas teritorial suatu wilayah yang merdeka dan berdaulat. Konteks hak penentuan nasib sendiri yang berlaku diluar konteks kolonialisme seperti berkaitan dengan perjuangan untuk mendapatkan perlindungan dan pelaksanaan hak asasi manusia.

4 Januari 2004, 12 tahun yang lalu dunia dikejutkan oleh cetusan manifesto politik revolusi secara gerilya dan sekaligus mendeklarasi kemerdekaan Patani dengan cita-cita sebuah negara berbentuk Republic secara unilateral. Mengapa mengejutkan? Paling tidak, hal itu disebabkan oleh dua hal mendasar, pertama, Patani secara teritorial merupakan termasuk bagian dari negara-bangsa (nation-state) Thailand yang eksistensinya dan keabsahannya telah diakui oleh komunitas internasional, walaupun pada konteks historis Patani pernah menjadi sebuah negeri yang hilang kedaulatan, teritorial di semenanjung Melayu; kedua, secara teori, pendirian negara-bangsa di dalam negara tidak dimungkinkan, karena hal ini akan bertentangan dengan undang-undang dasar konstitusi Thailand dan hukum internasional. Deklarasi kemerdekaan tersebut kemudian menimbulkan polemik, bahkan memicu persoalan baru yang tidak kalah rumitnya. 

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) belum menyatakan sikapnya, karena sikap dari negara-negara yang merupakan Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB terpecah. Amerika, Inggris, Prancis bersikap diam saja, sementara Rusia dan China tanpa sebarangan tidak ingin tahu. Kira-kira PBB masih sibuk dengan urusan yang lain maupun hasil diplomatik dan lobbi dari Thailand dapat menutupi kacamatanya. Demikian pula sikap dari negara-negara yang berada di kawasan Patani pun tidak seragam, Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei telah bersikap diam-diam. Tidak ada yang menyatakan mendukung atau menentang. Sementara negara di Timur Tengah juga masing-masing mengamati di posisi jauh-jauh.

Pada saat ini, hukum internasional telah mengakui recognized hak untuk menentukan sendiri (right to self-determination) sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM) dan berdasarkan hak ini semua bangsa (peoples) bebas untuk menentukan status politik dan mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.[1]”  Namun, dalam konteks hukum internasional kemerdekaan sebagai wujud dari hak untuk menentukan nasib sendiri “right to self-determination” (dalam bidang ekonomi, politik, dsb.) dimaksudkan untuk membebaskan diri dari penjajahan dan dominasi kekuasaan asing. Hak tersebut hanya dapat digunakan sekali dan tidak dapat diterapkan terhadap bangsa (peoples) yang telah terorganisasi di dalam bentuk suatu negara yang tidak berada dalam penjajahan dan dominasi asing.

Masalah kemerdekaan Patani atas Thailand merupakan suatu fenomena yang menarik untuk didiskusikan. Berkaitan dengan hal tersebut, sejumlah pertanyaan dapat dikemukakan, antara lain, yaitu: bagaimana hukum internasional mengatur masalah hak untuk menentukan nasib sendiri; bagaimana legalitas kemerdekaan Patani menurut hukum internasional; apakah ada keharusan bagi negara-negara lain untuk mengakui Patani sebagai negara baru; bagaimana hukum internasional mengatur masalah pengakuan bagi negara baru.

Tulisan ini akan membahas secara singkat sejumlah persoalan menyangkut kemerdekaan Patani atas Thailand, serta dikaitkan dengan masalah hak untuk menentukan nasib sendiri. Pembahasan akan dilakukan dalam perspektif hukum internasional.

 

Keberangkatan Imperialisme Kolonialisme Bangsa Siam.

Peperangan antara Patani dengan Thailand sudah kepanjangan masa berabad-abad dengan tiga factor titik besar yaitu; Islam (agama), Melayu (etnis), Patani (kedaulatan) oleh tiga factor inilah yang menjadi factor bangkitan untuk perlawanan yaitu; Pertama; tahun 1785 kekalahan Kerajaan Negeri Melayu Patani terhadap Kerajaan Siam oleh raja Chakri Rama I maka dibuktikan Patani hilang politik identitasnya. Kedua; Perjanjian Anglo Siam-British pada tahun 1909, pada waktu itu dipimpin oleh raja Malay-Muslim yang sering memberi ufti kepada Kerajaan Siam. Pasca perjanjian tersebut Patani hilanglah politik kekuasaan kedaulat dan territorialnya dengan berbagai tekanan pun diterima etnis Melayu hingga negeri ini dijadikan salah satu provinsi taklukan atas persetujuan dari Britania Raya. Ketiga; adalah bahwa factor keagamaan Islam yang mendorongkan untuk penduduk warga (umat) merebut kembali kekuasaan dan kedaulatan, dengan alasannya Negeri Patani pernah menjalani sistem Sya’ra maka kontek ke-Islam-an difatwakan wajib (fardu’ian) dengan laska Jihadis dituntut kembali bagi hak-hak marwah dan martabatnya.

Dengan beberapa factor dan komponen perlawanan menuntut hak pertuanan mereka maka inilah menjadi alasannya.[2]

Pada latar belakang historis Low of rule aturan hukum kontitusi Thailand, kerajaan Thai dibentuk pada penengahan abad ke-14 dikenal dengan sebutan Siam sampai tahun 1939, ketika berubah nama menjadi Thaialand. Thailand merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajad oleh kekuasaan Eropa pada masa kolonialisme. Diperintah di bawah kekuasaan absolut monarki sampai revolusi tidak berdarah 1932, yang menghasilkan pemerintah monarki konstitusional. Terdapat beberapa kudeta militer Thailand terakhir sekali terjadi pada 2014 untuk mengusir Perdana Mentri Yingluck Shinawatra oleh  National Council for Peace and Order yang dipimpin Jendral Prajud Chanocha sekaligus mendeklarasi diri selaku Perdana Menteri.[3] Serta memimpin cabinet sebagai kepala pemerintah atas nama junta militer.[4]

Dengan wawasan kebangsaan (nationalism) ideology masing-masing terdapat kedua-dua actor penting antara ideology Nasionalisme Siam-Thai oleh pemerintah Thailand dipusat Bangkok versus ideology Nasionalisme Malay-Patani gerakan pembebasan BRN (Barisan Revolusi Nasionl) di Patani yang menjadi pemain dalam lapangan perang selain politik di luar panggungnya adalah rakyat, warga, sipil, umat disekitar tiga jutaan jiwa, selaku pendokong berupa massa masing-masing karena adanya pro dan kontra dan juga tersisanya separuh lagi berposisi sikapnya netral dan sedang mengevaluasi bahwa ideology yang mana lebih kuat sebagai dikatakan kelompok yang menang yang siap mengikuti.[5]

Pada kekinian penduduk sekitar 80 persen di sektor Thailand Selatan di wilayah Patani zona konflik termasuk provinsi Pattani, Yala, Narathiwat, dan separuh Songkhala dan Setul adalah etnis Melayu, dialog seharian Bahasa Melayu lebih banyak dari pada Bahasa Thai dan mempunyai etnis-suku-kultural dan agama yang berbeda dari mayoritas yang popural se-Thailand menganut agama Budhis.[6]

Penjajah, Imperialisme-Kolonialisme juga menjadi bahasa politik militer yang berkomunikasi secara keras yang digunakan oleh kelompok pejuang atau gerakan pembebasan Melayu Patani. Oleh karena mereka diangap menyebut  Siam itu sebagai Penjajah. Imperialisme adalah sistem politik yang bertujuan menjajah negara lain untuk mendapat kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar. Sedangkan Kolonialisme adalah penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu.

Adapun tujuan kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke dunia timur membawa tujuan khusus yang dikenal dengan 3G yaitu:

1. Gold, bertujuan mencari sebanyak-banyaknya logam mulia berupa emas, perak, dan batu permata seperti intan dan berlian, juga termasuk disini adalah hasil bumi atau rampah-rempah dari Sumber Daya Alam (SDA). Dan hasil pendapatan maupun penentuan harga ekonomian juga harus ke pusat ibu kota negara lebih jelasnya masih bersifat centralistik. Salah satu yang dapat diberi contuh proyek JDA dll.

2. Gospel, membawa tujuan suci yaitu untuk menyebarkan agama yang dianutnya yakni ajaran Budhisme dapat dasari sejak awal bahwa penduduk pribumisasi mayoritas adalah muslim dengan secara memaksa. Pada awalnya agama asali bagi penduduk bukan Islam pada asalnya sebelum abad ke-2 mesihi adalah Hindu-Budhis setelah itu diganti dengan agama Islam. Kemasukan Islam di Patani masih banyak fakta pada Da’i para dakwah berpendapat bahwa Islam muncul di Patani sejak abad ke-13, adapun pendapat dari sejarahwan peradaban Islam dan Kultural Melayu bahwa Islam di Patani mulai sejak raja setelah memelut agama Islam sekaligus mendeklarasi sebuah negeri yang bernilai dan sistem Islamisasi.

Dasar policy kebangsaan Siam yang berubah menjadi nasionalis Thai upaya seimbang pada pengaruh barat pasca PD II. Maka Nation-State negara bangsa dapat menekang warga yang berbagai RASA (ras, agama, suku, antaragolongan) harus berubah mengikut dasar-dasar kebijakan dari pemerintah pada waktu itu sehingga seluruh warga pasti berubah mengikutinya kecewali warga etnis Melayu di Patani, mereka tidak mengangap diri sebagai warga kenegaraan dan masih mempertahankan identitasnya lalu kebelakangi ini mereka digelar minoritas maupun tamu pendatang selaku warga kelas kedua.

3. Glory, bertujuan mendapatkan kekayaan negeri asalnya dengan memperluas wilayah kekuasaannya di negeri yang baru ditemukan dan dikuasainya.

Dari kontek struktur pemerintah era Impialialis Siam sejak era Feodal, era Absolutime, era demokrasi, era demokrasi kontitusi, era Diktatur dalam ruh demokrasi dan Otoriter pada kekinian.

 

Bangkitnya Identitas Politik dalam Globalisasi

Fenomena bangkitnya identitas kultural dan politik yang berbasis pada etnis dan agama memperoleh perhatian luas terutama pasca Perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya negara-negara Komunis. Sejak tumbangnya komunisme di Uni Soviet dan negara-negara sosialis lainnya di Eropa Timur pada akhir tahun 90-an, telah memberikan isyarat bagi berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur dan sekaligus telah berpengaruh terhadap hubungan antarnegara dan mempunyai dampak dalam tatanan hukum internasional. Namun, di pihak lain perubahan-perubahan yang cepat dan mendasar semacam itu juga telah menimbulkan fenomena-fenomena baru seperti timbulnya pertentangan etnis di banyak negara yang dapat memporak-porandakan kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah negara dan kemudian memicu terjadinya disintegrasi atau terpecah-pecahnya negara.[7]

Daerah-daerah timur bekas negara Uni Soviet dan negara Yugoslavia dimana penduduk Muslim berjumlah signifikan bangkit menuntut kemerdekaan dari pemerintah pusat dengan cara membangun identitas berdasar etnis dan agama.[8] Gerakan ini menjadi semacam gugatan terhadap fenomena globalisasi dan sistem negara-bangsa (nation-state) yang cenderung pada penyeragaman dan hegemonik.

Identitas politik yang berbasis pada etnis dan agama ini menggantikan aspirasi kelompok sebelumnya yang mendasarkan pada strata social (kelas) seperti kaum buruh dan petani berhadapan dengan pemilik modal dalam lingkup nasional (social movements). Sedangkan gerakan sosial baru (new social movements)[9] berbasis pada isu-isu sebagai perekat solidaritas seperti keadilan gender dan pelestarian lingkungan. Identitas kultural dan politik ini mampu memobilisasi dan membangun kekuatan menjadi semacam gerakan nasionalis (nationalist movements) berhadapan dengan identitas nasional dan kelompok yang dominan.[10]

Referensi;

1 Hal tersebut, antara lain, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) “International Covenant on Civil and Political Rights”/ICCPR, yaitu: “All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.”

2 Republika; Topik Islam Digest, Haji Sulong Al-Fatani Penegak Islam di Bumi Patani, Ahad, 22 Maret 2015. Diakses; http://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/15/03/22/nlm6ws-haji-sulong-alfatani-penegak-islam-di-bumi-pattani

3 Human Rigthts Resource Centre, Rule of Law untuk Hak Asasi Manusia di Kawasan ASEAN; Studi Data Awal, (Jakarta: UI, 2010), hlm. 279.

4 Republika; Topik Teraju, Virus Kudeta, Jumat, 17 April 2015, hlm 27.

5 Dokumentasi; Civil Society Network for Peace Patani, diambil pada 10 Desember 2015.

6 TCIJ.COM (Thai Civil Rights and Investigative Journalism), Historis Aksi Kekerasan dengan Senjata di Selatan, Ahad 20 Desember 2015. Diakses; http://tcijthai.com/tcijthainews/view.php?ids=5954

7 Sumaryo Suryokusumo, Praktek Diplomasi, Jakarta: Universitas Indonesia, 2001, hlm. 64-65.

8 David Brown, “From Peripheral Community to Ethnic Nations: Separatism in Southeast Asia,” Pacific Affairs 61, no. 1 (Spring 1988), 51-77.

9 Untuk bahasan tentang social movements dan new social movements lihat misalnya Craig Calhoun, “New Social Movements’ of the Early Nineteenth Century,” dalam Kate Nash, Reading in Contemporary Political Sociology (Oxford: Blackwell, 2000), 128-153.

10 Hank Johnston, “New Social Movements and Old Regional Nationalisms,” dalam Enrique Laraňa et. al., ed. New Social Movements from Ideology to Identity (Philadelphia: Temple University Press, 1994), 280-284. Di sini terdapat perkembangan ciri-ciri gerakan, misalnya, dari gerakan sosial ke gerakan nasionalis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun