Oleh : John Lobo
Namanya Pak Suli. Lahir di Tanah Merah Bangkalan Madura pada tahun 1986. Sudah dua puluh tahun lebih meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengadu nasib sebagai pengumpul dan pemilah sampah yang tidak bisa dikomposkan di area Jombang dan Mojekerto, Jawa Timur.
Hari ini, Selasa (7/7/2020) pak Suli memulai aktivitas rutin mencari dan mengumpulkan sampah di beberapa area perumahan, termasuk ditempat kami bermukim. Dari kejauhan saya mengamati pak Suli sedang sibuk menata sampah layak jual di dua keranjang penampungan sementara yang menggelantung pada sisi kiri dan kanan sepeda motor Supra Fit miliknya. Saya mencoba menyapa dengan memanggilnya. Beberapa kali sapaan saya diabaikan. Hal itu bukan karena sengaja namun menurut pak Suli terasa aneh mengingat profesi yang digelutinya selalu dipandang sebelah mata oleh masyarkat, sehingga sulit bagi mereka mendapatkan sapaan dari saipapun. "Jarang ada orang yang menyapa kami pak" tutur pak Suli.
Semenjak pandemi Covid-19 aktivitas bank sampah ditutup sementara . Hal ini tentu membawa dampak semakin menumpuknya timbulan sampah yang dipilah dari rumah warga. Kehadiran pak Suli hari ini membawa solusi tersendiri dalam upaya memaksimalkan peran masyarakat untuk mengurangi volume sampah rumah tangga.
Harus diakui sampai saat ini peran serta masyarakat secara umum hanya sebatas pembuangan sampah saja, belum sampai pada tahapan pengelolaan sampah yang dapat bermanfaat kembali bagi masyarakat.
Lelaki yang berdomisili di desa Kahuripan, Sumobito Jombang itu menerima sampah bernilai ekonomi dan mulai melalkukan aksi pemilahan serta menata dalam karung plastik besar yang telah disediakannya.
Hal ini dilakukan agar saat dibawa ke penimbangan semakin mudah dan meringkankan pekerjaannya pada tahap berikutnya. Sembari mendisplay sampah beliau berkisah tentang keluarganya.
Pak Suli sudah menikah memiliki anak seorang puerempuan, bahkan sudah dikarunia seorang cucu. Saat ini anak dan cucunya tinggal di Gresik mengikuti sang ayah yang bekerja di sana. Pak Suli menetap di Sumobito hanya bersama sang istri.
Perjumpaan pagi ini bersama pak Suli memberikan insiprasi yang kuat bahwa menyapa sesama tanpa memandang status, profesi, dan agama itu merupakan kebiasaan yang baik walapun dalam bentuk yang sederhana . Saling sapa kendati berawal dari sekedar bas-basi toh bisa jadi media untuk mengenal seseorang dan pendobrak kekakuaan dalam menjalin relasi dengan sesama , menjadi signal bahwa kita memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitar serta memposisikan sosok yang disapa menjadi berarti dimata sesama.