Glenn Fredly Bermain "Ping-Pong Hidup" dengan Sutardji Calzoum Bachri (Sebuah fragmentasi kemabukan) Oleh: John Ferry Sihotang Absurd sedih tak berujung - glenn fredly: selamat tinggal kisah tak berujung kini ku kan berhenti berharap perpisahan kali ini untukku akan menjadi kisah sedih yang tak berujung. Jiwa manusia memang mudah rapuh, menderita. Ada yang melihat bahwa penderitaan manusia tak pernah berakhir, mengamini Budha: hidup itu penderitaan. Schopenhauer juga melihat betapa tragis dan getir hidup itu. Bahwa alam dan manusia adalah hasil dari kehendak irasional. Seperti kata Schopenhauer bahwa hasrat untuk mengejar rasa kebahagiaan merupakan satu kehendak tak masuk akal yang akhirnya kembali membawa "the state of sadness". Dan akibatnya, seperti nalar Schopenhaurian, kebahagiaan adalah penderitaan itu sendiri. Kita tidak dapat menggapai kebahagiaan, hanya bisa menghindarinya, dengan sebuah perlawanan: Kesenian. Seni itu menjadi proposisi yang ditawarkan Schopenhauer menghindari tragisnya kehidupan. Apakah dunia ini memang hanya panggung kesedihan? Apakah kebahagiaan hanya ada di surga yang entah dimana itu? Kaum agamais tentu akan mengatakan bahwa kehidupan di dunia ini hanya semu. Penderitaan akan menguntit tiap perjalanan, kemanapun kita pergi. Walau kita menggapai kebahagian namun lama-kelamaan akan melebur juga menjadi kesedihan: Kejemuan. Itulah hidup. Hasrat dan keinginan untuk kebahagiaan akan memperbudak kita. Absurd! Namun tak bisa kita tolak bahwa kita sudah harus masuk keterkondisian dunia ini. Keterlanjuran menjadi keterasingan hidup yang seakan tak berdaya. Para Supir harus berputar terus menerus dengan rute yang sama. Kaum petani harus mencangkul terus-menerus berpuluh-puluh tahun. Para pemuda lajang bertualang mencari pasangan hidupnya untuk mengasuh tragedi – yang berujung pada kesetiaan atau pengkhianatan. Apakah semua laku itu untuk sekedar hidup atau memang dunia ini absurd? Apakah lagu Glenn diatas harus menjadi litani ratapan panjang semua orang: bahwa hidup hanya rangkaian kesedihan tak berujung? Rupa-rupanya manusia terkutuk dalam keterlemparannya, seperti yang dilihat Albert Camus bahwa hidup ini absurd. Dunia itu menjadi arena tak masuk di akal, tak bermakna: manusia mencari makna mendalam kehidupan, namun tak menemukannya dengan utuh. Segala kondisi kemanusiaan, baik itu sedih atau senang, berujung pada absurditas, kata Camus. Absurditas menjadi keharusan yang datang menjelang sebagai konfrontasi antara kehendak irasional dan hasrat tak terbendung akan kejelasan makna yang gemanya bergaung di relung terdalam hati manusia. Seperti yang tertulis dalam Mite Sisifus, selalu ada konfrontasi abadi manusia dengan kegelapannya sendiri. Namun, berbeda dengan Schopenhauer, absurditas Camus adalah panggilan jiwa: memberontak untuk memakai topeng-topeng sang aktor manusia dalam panggung kehidupan. Tanpa harus menolak pemberontakan dalam absurditas itu, kesedihan dan kebahagian tak berujung itu tidak ada. Tak ada yang kekekalan. Akan tetapi, bukankah kesementaraan juga sesuatu yang absurd? Dan apakah pikiran kita bisa menerima yang absurd? (Duh. Main pingpong dulu, yuk!). Retak
shang hai - sutardji calzoum bachri:
ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
… sembilu jarakMu merancap nyaring
Saya tidak ingin membahas salah satu sajak terbaik Sutardji ini. Walau kuakui permaianan kode leksikal (semantik) dan bunyi tanda dan hubunagan antar-tanda (semiotik) diatas sangat unik, dan menarik untuk dikaji. Semacam gambaran hidup itu sendiri. Sebuah lukisan kemanusiaan yang kerap merangkul paradoks dan kerap pula menjunjung cara pandang di dua kutub, dua titik kulminasi hidup, ping dan pong. Kedua bunyi unik itu bisa kita gantikan dengan pengalaman manusia: kekal-sementara, ingkar-setia, yin-yang, baik-buruk, ada-tiada, sedih-senang, dsb. Marilah kita coba menekuni hermeneutika, sebagai sebuah sublimasi perjuangan hidup eksistensial, bermain ping pong dengan Sutardji melalui dua kutub perasaan manusia, misalnya:
senang di atas sedih
sedih di atas senang
senang senang dibilang sedih
sedih sedih bilang senang
mau sedih? bilang senang
mau mau bilang sedih
mau senang? bilang sedih
mau mau bilang senang
ya sedih ya senang
ya senang ya sedih
tak ya sedih tak ya senang
ya tak senang ya tak sedih
Begitulah manusia, kerap terjebak dalam dualitas. Seperti sedih dan senang, sastra - non sastra, tekstual - referensial, chaos-kosmos, dsb. Kadang membuat garis demarkasi yang tegas, ping dan pong. Walau kita kerap juga menjalani hidup dengan paradoks: melempar ping saat menyembunyikan pong. Kita katakan senang dalam kesedihan mendalam, mengatakan cinta kepada seseorang dengan tetap menyimpan rasa benci, dan masih banyak contoh lain. Apakah hidup hanya ditekuk kedalam dua titik ekstrim itu? Layaknya memandang permasalahan hidup yang kompleks itu, sebaiknya kita tidak terjebak begitu saja dalam persepsi dikotomi tanpa alasan. Masalah harus dilihat dengan multidimensi, multidisiplin. Misalnya dalam memandang keberpihakan negara kepada rakyat (pendidikan, kesehatan, kemiskinan, dll) atau gagasan kebenaran yang menjadi pencarian setiap individu. Bahwa hidup itu juga mengenal buram, abu-abu, suam-suam kuku, seperti senja di perbatasan siang dan malam yang mengambang: Retak! Bolehlah kita tikung sedikit karya kredo Sutardji ini.
pong
pRong pong pong
(jreng)
ping
pRing ping ping
Saya tambahkan "R" disana yang merujuk pada Retak, bisa juga dilihat sebagai resistensi. Kesedihan dan kebahagiaan itu memang ada. Namun tak harus tak berujung. Ada sedih dan senang yang biasa saja. Ada benci tapi rindu itu, atau kita menangis karena kebahagiaan yang mendalam, atau kita tertawa karena begitu getir hidup. Ya boleh kita katakan itu kegilaan, namun bukankah dunia ini butuh orang-orang "gila"? Hidup itu sepenuhnya retak. Ada tawar menawar, tarik-menarik, ulur-mengulur, pemaknaan, keberpihakan dsb. Dan kadang kita hanyut dalam zona bukan keduanya. Dalam lirik sebuah lagu maupun syair puisi, tak salah bila subjektivitas ditonjolkan. Tentu dengan harapan pendengar atau pembaca bisa masuk kedalam lirik lagu atau bait sajak puisi: dengan simpati, empati sampai antipati sekalipun. Suka atau kesal, rindu dan benci, dll. Tak ada namanya kesedihan tak berujung ataupun kebahagiaan tak berujung. Hanya ada keadaan yang retak. Keadaan retak yang berarti membutuhkan pemakanaan, pola pikir, cara pandang permasalahan. Seperti melihat gelas setengah berisi atau setengah kosong, memaknai hidup dengan berselancar di zona pemaknaan keretakan itu: melihatnya bangunan itu masih bisa utuh atau sudah pasti hancur. (Arrgh, ngebir yuk!) Racau geram – harri gieb "sadar, bahwa percintaan kita memang tidak merujuk pada realitas aktual. tetapi sebuah realitas yang minta dipahami, dikonsepsikan, dan disimbolisasi dengan beberapa desahan." Penyair kenamaan Jerman Hugo Ball dan penyair besar kita, Sutardji Calzoum Bachri acap menggunakan bunyi-bunyi kata 'aneh' dalam karyanya. Kata-kata itu tidak tertampung dalam kamus bahasa manapun, seperti bunyi-bunyi aneh dalam "Mantra" Sutardji: zukuzangga zegezegeze izukalizu mapakazaba itazatali . Sebuah sikap pemberontakan yang radikal terhadap kemapanan semantik dalam bahasa. Tidak mau menjadi hamba sahaya konsep-konsep kata. Manusia, laiknya kata itu, tentu mengkultuskan kebebasan (yang didahului tanggung jawab, kata Levinas). Karenanya kata tak boleh dikerangkeng dalam arti dibakukan. Kata perlu dibebaskan dari penjajahan makna. Kata yang dipenjara tentu akan menyebabkan kehilangan kemerdekaan. Seperti kata Sutardji: "Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas". Ibarat manusia, kata harus mempunyai visi sendiri tentang tugas puisi dan peran kata-kata dalam sajak (dalam kehidupan). Peleburan atau perselingkuhan kata dan makna perlu untuk dicoba. Oleh karena itu, Plato tak perlu cemas bahwa filsafat akan terpinggirkan oleh puisi dalam usahanya menyampaikan kebenaran. Tak perlu juga harus memuja Richard Rorty karena mengatakan gagasan kebenaran hanya milik para penyair, novelis, cerpenis. Ignas Kleden lewat esai kritisnya atas puisi justru meleburkan gagasan-gagasan analisa filosofis akademiknya dalam domain bahasa puitik. Pun dunia ini digerakkan oleh sejarah pembangkangan dan pemberontakan terhadap arus umum kemapanan. Martin Luther King Jr, Mother Theresa, Sokrates, adalah beberapa diantaranya yang sudah melakukannya. Dalam seni dan/atau sastra di negara ini ada Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Sitor Situmorang, Umar Kayam, Semsar Siahaan, dll. Dalam dunia post-sastra (anak asuh posmodernisme) saat ini ada Hudan Hidayat dengan jurnal sastranya. Mereka menidak pada zona nyaman seni dan kehidupan. Seakan mereka menyelami kegelapan untuk menemukan cahaya yang sejati, bukan dengan menolak dan mengintimidasi kegelapan dunia. Malahan bersikap heroik menatap dan berpelukan dengan semua aspek dari realitas, dari yang paling "gelap" sampai yang paling "terang". Searah dengan Nietzsche, melihat dunia adalah "Ja sagen", yakni Ya atas dunia: mengatasi dunia manusia kerumunan. Mereka mengasuh "racauan": memelihara pemberontakan, peleburan, pembongkaran, perangkulan, penjinakan, penghancuran, penerobosan sampai pendesahan. Hal itu pula yang diusung dengan baik dalam buku perdana penyair (tepatnya peracau) muda kita, Harri Gieb. *** Hidup itu seperti sekeping esei. Esei yang menjinakkan proses tawar-menawar, kompromi, sampai penataan hidup kekinian. Seperti pengertian esai kontroversial ala Ignas Kleden dalam bukunya Enam Pertanyaan: "esei adalah tawar-menawar dan kompromi antara konsep-konsep ilmu pengetahuan yang didefinisikan secara formal dan polisemi bahasa puisi yang dimungkinkan oleh penciptaan metafor-metafor yang menerobos batas-batas makna yang telah dibakukan". Menolak segala bentuk penjajahan, kontrol atau pemasungan. Tanpa harus terjebak dalam subjektivitas maupun objektivitas seperti untuk mengapropriasi karya Glenn Fredly, Sutardji, atau untuk seniman lain. Hidup itu saya maknai sebagai sebuah seni (pembenahan) yang membuat kita semakin taat, semakin bermartabat, dan semakin hormat pada kehidupan itu sendiri. Hidup yang bergagasan: mengelaborasi problematika hidup secara ekstensif maupun intensif, bergerak keluar -masuk atau berselancar dengan bijak di dua tegangan maksimum-minimun, dan menciptakan hubungan serta relevansi pada realitas hidup, misalnya kearifan lokal sebagai pancaran kearifan universal. Mengamini kata Sutardji, memiliki hidup ibarat berpuisi "senyap dalam sungai tenggelam dalam mimpi". Dan lewat puisi itu pula kita bisa melakukan pembaharuan hidup walau ibarat "cuka dalam nadi luka dalam diri". Tapi sungguh kita nikmati. Karena hidup adalah sebuah seni, maka, rayakanlah hari ini!*** Demikian sekilas info tak berujung dari seorang yang belum ditahbiskan jadi peracau! Sumber: Beberapa buku, jurnal dan artikel John Ferry Sihotang, penggiat kuliner teks dan seorang geologist
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H