Mohon tunggu...
John Ferry Sihotang
John Ferry Sihotang Mohon Tunggu... profesional -

penggiat kuliner teks. dan suka berdiam di atas closet.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Review Buku: Berpikir Merdeka Dalam Beragama

23 September 2010   23:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:01 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pergolakan Pemikiran Islam

(Catatan Harian Ahmad Wahib)

first published: july 1981 by LP3ES

details: paperback 351 pages

Oleh: John Ferry Sihotang

"Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim". - Catatan Harian 9 Oktober 1969 -

Ahmad Wahib adalah seorang muslim yang kritis dalam beragama. Ia menulis demikian: Lebih baik ateis karena berpikir bebas daripada ateis karena tidak berpikir sama sekali. Ya, walaupun sama-sama jelek (h.24). Ungkapan ini untuk memberi jawaban kepada orang-orang yang menyatakan: "Berpikir tentang Tuhan itu Haram!". Bahwa mempertanyakan segala sesuatu, termasuk eksistensi Tuhan adalah langkah penting menghancurkan kedok hidup beragama yang makin buram akhir-akhir ini. Ahmad Wahib membentuk dirinya menjadi seorang muslim yang mau berpikir merdeka tentang Tuhan, Yang Maha Segala yang diikutinya. Dia mau menjadi seorang yang ‘nakal’ dengan menghalalkan berpikir semaksimal mungkin tentang Tuhan. Menjadi seorang muslim emosional saja tidak cukup, karena itu berfikir bebas dan bersikap terbuka merupakan suatu keharusan yang tak bisa ditawar-tawar (h.74).

Pemikiran dan visi yang benar tentang Tuhan yang benar mempermudah praktek hidup keagamaan yang benar. Walaupun kita mengatakan diri kita seorang sebagai penganut Islam, belum tentu bahwa pikiran kita telah berjalan sesuai Islam (h.23). Ahmad Wahib nampaknya melihat bahwa kedangkalan hidup beragama sangat dipengaruhi oleh keterbatasn visi tentang Tuhan. Iman pada Tuhan pun menjadi dangkal aplikasinya. Relasi dalam berkehidupan sosial harus menjadi pisau cukur untuk memangkas klaim-klaim beriman kepada Tuhan, khususnya kepada mereka yang beriman secara radikal. Bahwa beragama dan/atau beriman itu harus terlihat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam praksis hidupnya. Pada akhirnya, keberanian untuk berpikir membuka wacana tentang ketuhanan akan membantu manusia itu sendiri untuk memurnikan motivasinya menjadi pengikut Tuhan yang benar dengan cara yang benar.

Pluralisme Agama

Konsekuensi logis dari berpikir bebas adalah mengakui pluralitas keagamaan. Ahmad Wahib juga melihat bahwa agama bukan saja dipakai sebagai sarana menumbuhkan spritualitas personal, atau urusanku dengan Tuhanku. Melainkan sudah merambah pada kehidupan manusia di luar tembok masjid, gereja, pondok pesatren atau biara. Agama sudah masuk dalam percakapan dan tindakan di ruang publik.

Faktanya semua agama memang menawarkan jalan-jalan ke Tuhan. Terhadap fakta pluralitas agama itu, Wahib mencoba mendobrak tembok fundamentalisme sempit yang kuat di depannya. Karena tak bisa dipungkiri, peran publik agama cenderung diiringi kebangkitan fundamentalisme agama, dengan pengakuan agamakulah yang benar.

Absolutisme adalah sumber intoleransi (h.180). misalnya penyiaran agama Nasrani oleh banyak aliran ekstrim seperti babtis, Advent, Yehova dll; pada hakekatnya telah merendahkan nmartabat agama menjadi semacam barang dagangan atau bis kota yang merebut penumpang. Penangkapannya kepada kehendak Tuhan sudah diabsolutkan sehingga kemungkinan lain telah ditutup sama sekali. (h.181).

Mengapa jembatan dialog tidak dibuka untuk barangkali atau memang tidak dibuat?, tanya Alwi Shibab dalam bukunya Islam Inklusif. Ahmad Wahib mencoba mencoba membangun jembatan. Ia menganjurkan: bagi para pemimpin dan mubaliqh Islam, mereka harus lebih banyak merenung dan berfikir agar kotbah dan pidato-pidatonya terleps dari sloganisme sehingga massa umat dibimbing berfikir terang. Bagi pihak Katolik agar lebih serius memperhatikan hasil konsili Vatikan II 1965 yang tidak menutup jalan ke sorga bagi penganut-penganut Islam…karena sebagian dari mereka sampai sekarang masih berada dalam semangat pra-Konsili. Demikian juga pihak Protestan perlu ingat akan perkembangan-perkembangan baru dalam teologi Protestan yang tak lagi mengartikan kegiatan misioner sebagai penyebaran agama kristen, melainkan "memasyhurkan nama Allah" (h.183-185).

Ketiadaan jembatan komunikasi (dialog agama) telah menciptakan konflik horizontal yang sia-sia dalam bermasyarakat. Kekuatan hebat agama justru acap dimobilisasi untuk menciptakan sekaligus membangun konflik, seperti yang terjadi di Ciketing Bekasi beberapa hari belakangan.

Agama seharusnya menjadi ladang unutk menumbuhkan sisi-sisi terbaik kemanusiaan, baik personal maupun kolektif bagi pemeluknya. Nyatanya akses lembaga agama yang punya pengaruh kuat dalam bernegara - setidaknya di Indonesia- justru kerap merongrong kemanusiaan. Dengan legitimasi yang diperoleh dari dewan keagamaan, tokoh tertentu yang cukup berpengaruh atau mengutip salah satu sumber agama, maka seseorang bisa saja melukai dan bahkan membunuh orang lain (Alwi Sihab, 2001, h.147)). Katanya tindakan itu legitim karena dilakukan atas perintah Tuhan atau perintah agama (ibid h. 40). Padahal, saat agama masuk ruang publik, ia dan segala atribut yang melekat harus menjunjung tinggi hak asasi ruang privat yang dimiliki setiap orang. Kesimpulannya, sebagai faham as sich, setiap orang harus dihormati (hal.179).

Ulah Pecandu Agama

Orang ateis bisa berbuat baik. Orang humanis bisa berbuat baik. Orang non Islam bisa melakukan tindakan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Agama tidaklah memberi jaminan bahwa seseorang itu pasti berbuat baik. Lalu, mengapa ada kelompok yang menyebarkan kebencian dan kekafiran yang merajalela? Sebaiknya jangan terjebak!

Kabut gelap menyelimuti agama-agama dan kini kelihatan semakin kehilangan taringnya dalam kehidupan nyata. Seolah nilai-nilai spritualitas yang diusung agama itu hanya terbelunggu dalam gedung Masjid, Gereja, Vihara. Gedung-gedung keagamaan itu justru terlihat membuat jurang pemisah yang dalam dengan di pasar atau di jalanan. Apakah nilai-nilai hakiki yang diusung agama-agama itu masih konsisten hingga saat ini?

Ahmad Wahib melihat bahwa nilai-nilai Islam itu sendiri tetap, sedangkan penafsiran terhadap isi tiap-tiap nilai itulah yang dinamis. Kalau ada perubahan tentang apa saja nilai-nilai Islam itu, masalahnya bukanlah karena nilai-nilai itu sendiri yang berubah melainkan karena pengetahuan manusialah yang berubah dalam mencari-cari nilai itu (h.67). Sepantasnyalah kita belajar dari situasi jaman! Beriman kepada Tuhan secara kontekstual! (h.26-27). Nilai-nilai yang terdapat dalam agama itu hendaknya menyata dalam hidup sehari-hari tanpa menciptakan sekat atau distingsi yang tak perlu.

Yang mutlak hanyalah Tuhan, sedangkan mahluk-Nya termasuk "agama" adalah mati (h.127). Wahib hendak menegaskan visi yang benar dalam beragama. Bahwa simbol-simbol agama - kitab suci, dogma, ibadat – tidak mutlak (tapi perlu). Pun agama itu sendiri tidaklah mutlak. Memutlakkan yang tidak mutlak akan membangun sarang-sarang fundamentalisme yang kerap jadi nyinyir dan berbuah busuk; penghacuran kemanusiaan, narsisme berlebihan, pemaksaan kehendak dll.

Kenyataan pahit akan kaburnya bisi Yang Mutlak itulah yang membuat Wahib berpikir merdeka: dengan bertanya, mengejar, dan terus mencari. Mencoba menjembatani jurang pemisah antara penghayatan religius dan praktik ajaran Tuhan itu sendiri dalam kenyataan. Karena memang banyak jalan ditawarkan jaman, tetapi manusia itu sendirilah yang harus menentukan jalan yang sesuai dan cocok baginya, kata Frithcjof Schuon.

Para penggemar apalagi pecandu agama agar bersikap kritis dan dewasa terhadap jalan-jalan menuju Tuhan (agama dan kepercayaan). Seharusnya jalan mernuju Tuhan itu bukanlah sarana untuk pemuas segala kepentingan perut, egoisme dangkal dan nafsu-nafsu yang membabi-buta. Manusialah yang menunggang kuda, bukan sebaliknya. Bahwa agama ada untuk manusia, bukan sebaliknya. Karena itu, manusia harus menjadikan agama sebagai perwujudan kebebasan dari segala belenggu dan keterikatan yang membebani hidup. Akhirnya, dalam keyakinan itu pula, Wahib berharap kepada penggemar dan pecandu agama: bahwa setiap ucap-tindak pribadi merupakan pancaran dari iman yang memateri di pusat hayatnya (h.126). Emoh jadi orang munafik! (h.31).

Penafsiran yang Relevan

Para rosul dan nabi-nabi hidup dalam satu lingkungan konkret (di suatu ruang dan waktu tertentu dengan kondisi sosio-kultural tertentu yang melahirkan persoalan dan kebutuhan tertentu), mereka harus memberikan problem solving atas persoalan-persoalan dalam kondisi tersebut, tulis Louis Leahy. Bahwa para tokoh pun menjadi besar karena kecekatan mereka dalam menuntuskan masalah yang terjadi, seperti Muhammad, Yesus, Musa dan Abraham juga mengalami problem kehidupan yang menuntut pemecahan. Suatu kejelian dan kecakapan karena mampu membaca tanda-tanda zaman, lantas menginternalisasikan dengan iman yang menjadi pegangan hidupnya.

Demikian juga dengan persoalan agama akhir-akhir ini, ajar-ajar agama itu harusnya ditafsirkan sesuai tuntutan kekinian agar menjadi kontekstual: menghunjam kepada problematika hidup manusia yang sedang terjadi. Pada abad pertama dan kedua agama kristen dirasakan sebagai jalan pembebasan dari ketertindasan di zaman itu. Demikian juga, pada abad-abad keenam dan ketujuh agama Islam menjadi ladang subur kebebasan manusia secara otentik. Layaklah kita pertanyakan sekarang, apakah pembebasan itu masih terasa hingga saat ini? Bukankah sekarang terlihat bahwa keberadaan agama itu tak lebih dari sekadar pembatasan dan pengkotak-kotakan?

Mungkin bukan agamanya yang salah, akan tetapi penafsiran terhadap ajaran agama itu yang sudah kedaluarsa. Ahmad wahib menjawab, tak ada hukum yang melepaskan diri dari perkembangan masyarakat tempat hukum itu mau dilaksanakan bila hukum bertujuan untuk mengatur dan menyejahterakan masyarakat. Jadi bukan agama yang menyesuaikan diri, tapi fiqh (h. 59).

Bila agama ingin membebaskan manusia dari kemiskinan, ketertindasan, dan kejahatan maka jalan pembebasan yang harus ditempuh adalah pemahaman yang benar terhadap pesan-pesan sumber ajaran agama. Kalau kita sudah menerima untuk tidak menganut Quran dan Hadist secara letterlijk maka itu berarti kita sudah tidak puas terhadap ungkapan lahiriah dalam kalimat Quran dan hadist tersebut (hal.45). Teks kitab suci ‘hadir’ pada zaman tertentu, dalam kondisi dan keprihatinan sosial tertentu untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan tuntutan situasional saat itu. Maka, pembaca Al-Quran perlu membaca, menafsir dan mengejawantahkannya agar relevan untuk zaman ini (Shihab, 2001, h.244-250). Nilai-nilai Al-Quran dan hadist itu tetap, sedangkan pengejawantahannya terus berkembang kondisional. Ungkapan yang sudah tak relevan perlu ditanggalkan.

Kalau demikian, mengapa kita masih takut atau ragu-ragu untuk dengan tegas berusaha mencari ungkapan-ungkapan lahiriah yang baru dan relevan dengan gambaran dunia dan manusia zaman ini? (h.130). Misalnya tentang dikotomi halal-haram, kafir-sejati; harus sesuai konteks saat ini penafsirannya. Wahib menambahkan, saya pikir, yang kita tuntut bukan sekedar reinterpretasi, tapi suatu transformasi ide-ide Islam pada zaman yang sedang berjalan (hal.49). Itu yang dinamakan hermeneutika, penafsiran terhadap sumber ajaran Islam - dan agama lain dengan sumber ajarannya – setinggi dan setajam mungkin sekaligus real dan dapat dipahami. Hal penafsiran itu menjadi pokok yang tidak terelakkan untuk eksistensi agama itu sendiri. Sehingga ide-ide kitab suci itu tertransformasi kepada pemeluknya: menjadi quran-quran hidup, alkitab-alkitab hidup yang membahagiakan sesama.

Itulah tujuan penafsiran ajaran agama yang kontekstual: agar ajaran agama itu bukan dijadikan untuk merendahkan martabat manusia, melainkan harus mengangkat martabat manusia ke tingkat yang lebih luhur. Agar makin terangkat dari keterpurukan yang dialami dalam situasi sosial yang sekarang terjadi.

Penutup

Refleksi bertuhan dan beragama Ahmad Ahwib dalam "Catatan Harian" yang kontroversial ini masih aktual untuk kondisi religiusitas kita, yang terasa memuakkan belakangan ini. Berani berpikir merdeka untuk memerdekakan diri. Sehingga beragama menjadi kerinduan untuk mendekat kepada Tuhan: di mana hati terarah ke surga dan kedua kaki tetap berpijak di bumi. Agar agama itu tidak menjadi sesuatu yang entah karena makin miskinnya sumbangannya kepada kemanusiaan. Agar keberadaan agama itu dirasakan kembali manfaatnya menjadi ladang subur bibit-bibit spritualitas hidup. Agar pemeluknya menjadi manusia-manusia merdeka yang otentik dan utuh sebagai mahluk rasional.

Saya tergugah untuk menuliskan pemikiran Ahmad Wahib ini, karena semakin maraknya pemeluk agama yang tidak bisa berpikir dalam beragama akhir-akhir ini. Selain itu, filsafat ketuhanan yang ditawarkan Ahmad Wahib bersifat universal, berlaku bagi siapa saja, bagi muslim dan non-muslim. Karena pluralitas keagamaan itu sudah jadi keniscayaan, apalagi ditengah kehidupan bernegara kita yang mengakui kebebasan beragama. Bahwa pluralitas itu bukan jadi penghalang bagi hidup justru diharapkan bahwa keyakinan hidup dan jati diri seseorang makin diteguhkan. Sejalan dengan para pemikir besar seperti Kung, Dannah Zohar, Whitehead sampai Kristeva menyakini: semakin intens kita berhubungan dengan 'yang lain', semakin kita bertumbuh menjadi diri sendiri. Semakin kita bergaul dengan mereka yang memiliki agama lain, (mestinya) semakin dalam kita memahami keunikan agama kita. Dan dengan itu, semakin bebas dan rileks pula kita bergaul dan toleran terhadap agama lain.***

Mari beragama dengan berpikir merdeka!

Sumber utama:

Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, LP3ES dan Freedom Institute, Jakarta 2003

Sumber Tambahan:

Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Kanisius, Yogyakarta, 1993.

Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Mizan, Bandung, 2001

Widhiwiryawan, Alfonsus, Pemikiran Filosofis-Kontekstual Tentang Ketuhanan Ahmad Wahib, Dalam Jurnal Filsafat Driyarkara Tahun XXVII no.2, Jakarta, 2004

John Ferry Sihotang, penggiat kuliner teks dan seorang geologist

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun