Mohon tunggu...
John Anderson Batara Aryasena
John Anderson Batara Aryasena Mohon Tunggu... Polisi - Brigadir Dua Taruna

Menelusuri fenomena sosial dari kacamata akademisi dan sosial

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Perdebatan Kampanye di Lingkungan Perguruan Tinggi: Apakah Sebenarnya Diperbolehkan?

26 Juni 2024   21:55 Diperbarui: 26 Juni 2024   22:18 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dasar Perdebatan Pada Kampanye Politik di Kampus

Menurut pasal 280 UU Pemilu Indonesia dalam Bab VII pada bagian Keempat terdapat ketentuan larangan dalam Kampanye. Walaupun kampanye diperbolehkan sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan berpolitik, Peraturan perundang-undangan Indonesia mengatur bahwa ada batasan terhadap larangan berkampanye. Hal ini diperlukan untuk mengkotakkan atau setidaknya membendung peluang terjadinya kerusuhan yang terjadi di Indonesia. Secara tafsir gramatikal, pasal 280 melarang kampanye terhadap 3 tempat yaitu fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Definitif terhadap ketiga tempat tersebut secara harfiah cukup memadai untuk dibahas akan tetapi tidak diatur batasan ataupun pengetatan kampanye tersebut.

Penulis akan menggunakan interpretasi historis mengapa ketiga tempat tersebut dapat terlarang untuk digunakan sebagai kampanye. Hipotesis dari penulis terhadap ketiga tafsiran tersebut adalah ketiga tempat tersebut harus dinyatakan sebagai tempat bertukar ide dan/atau kebebasan berakademik.

  1. Fasilitas Pemerintah

Pertanyaan seputar pemerintah yang masuk ke dalam pemilu sudah ada sejak dahulu. Riset memperlihatkan bahwa pemerintah yang menggunakan fasilitas pemerintah dalam melakukan kampanye menandakan bahwa rezim tersebut mendorong atau mendukung salah satu pasangan calon untuk menang. Hal ini seakan-akan membuat Pemilu itu sudah ditentukan sebelumnya sehingga membuat kondisi politik semakin runyam. Apalagi jika kita pikirkan bahwa fasilitas pemerintah terdapat Aparatur Sipil Negara (ASN) di dalamnya. Indonesia mempunyai sejarah kurang mengenakan untuk hal tersebut. 

Menurut UU Administrasi Pemerintahan maupun UU ASN, pemerintah dalam jajaran administratif, fungsionaris, dan sekretariat dilarang untuk menandakan kepihakan tertentu dalam politik. Hal tersebut dibuktikan melalui pasal 2 UU ASN bersama dengan UU Administrasi Pemerintahan secara gamblang.

  1. Tempat Pendidikan

Definitif tentang tempat pendidikan sangat rancu atau bahkan tidak dijelaskan secara gamblang oleh UU Pemilu dan memiliki interpretatif secara luas. Pertama, untuk mendukung argumen bahwa tempat pendidikan tidak dapat digunakan untuk kampanye politik akan digunakan interpretasi teleologis dan gramatikal. Kedua, secara futuris, historis maupun ekstensif hal ini dapat diperbolehkan. Ketiga, terdapat perdebatan interpretasi restriktif jika disandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebelum memulai pada bagian sebelumnya, perlu disajikan pasal bersama penjelasan oleh UU Pemilu tentang tempat pendidikan:

  1. Pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang:

….

h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;

Penjelasan 

….

h. Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika Peserta Pemilu hadir tanpa atribut Kampanye Pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

 Yang dimaksud dengan "tempat pendidikan" adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi. Tidak dijelaskan secara materiil dalam UU Pemilihan Umum Indonesia mengenai kepastian tersebut. Hal ini mengakibatkan perlunya interpretasi terhadap hal-hal yang sekiranya terbuka atas pernyataan normatif ini. 


Mencari Kepastian Terhadap Kampanye di Kampus

Pasal 280 seperti yang dijelaskan ternyata tidak memberikan kepastian terhadap apa yang dimaksud oleh kebolehan kampanye di Kampus. Akan tetapi, kita diperbolehkan untuk menjawab pertanyaan hukum ini melalui metode interpretasi.

Pertama, interpretasi teleologis i.e. mencari hukum sebagai suatu tujuan oleh masyarakat, negara Indonesia mempunyai sejarah kelam dalam melihat kampanye di tempat pendidikan. Terdapat batasan-batasan kebolehan politik yang sesuai dengan tupoksi lembaga pendidikan di Indonesia. Lembaga pendidikan di Indonesia secara politik hukum disiapkan sebagai lembaga yang dapat meningkatkan 3 hal yaitu (1)meningkatkan keimanan dan ketakwaan, (2) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (3) memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berorientasi 4 (empat) hal, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai agama, memelihara persatuan bangsa, memajukan peradaban, dan memajukan kesejahteraan umat manusia. Politik sebagai lembaga yang masuk ke dalam pendidikan tidak terlalu dipentingkan atau bahkan dilarang jika melihat ketentuan UU Pemilu karena sangat formalistik dalam melihat tujuan sistem pendidikan Indonesia. Dengan adanya isu kampanye politik yang ada di dalam tempat pendidikan, maka dapat terjadi permasalahan polarisasi dan ketegangan secara politik sehingga melanggar poin-poin tersebut. Interpretasi secara bahasa/gramatikal pun cukup membantu, tempat pendidikan yang didefinisikan sebagai gedung/halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi juga menyeluruh. Tentu saja, ini hal yang sesuai dengan cita-cita. Akan tetapi, bantahan melalui metode interpretasi lain juga mengakomodasi argumen yang baik.

Kedua, interpretasi secara historis Indonesia sangat menguntungkan politik Indonesia. Pergerakan politik yang besar dan menjadi lahirnya Indonesia dimulai di tempat yang terdidik. Akan sangat rasional jika orang yang terdidik bisa berargumen tentang haluan negara bahkan jika harus mengumbar fraksi politiknya sehingga argumen tentang haluan negara akan menjadi luas bahkan sangat berguna. Bapak pendiri kita menggunakan tempat yang terdidik itu untuk menyuarakan perjuangan mereka, jika seperti itu, maka tidak mengherankan bahwa perdebatan politik dapat dibawa ke dalam tempat pendidikan. Interpretasi secara futuristik juga memperbolehkan juga hal tersebut. Pembuat Undang-Undang menambahkan di penjelasan sebagai “... Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika Peserta Pemilu hadir tanpa atribut Kampanye Pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan,” kata kunci pada tanpa atribut menunjukkan kebolehan terhadap perdebatan politik asalkan tidak membawa atribut yang menandakan haluan pribadi politik terhadap suatu fraksi kampanye politik. Lantas menurut penulis, hal ini sangat erat hubungannya terhadap kebebasan akademik yang tertulis pada UU Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, argumen ini cukup memadai untuk dikatakan sebagai kebolehan dalam kampanye politik di tempat pendidikan dengan catatan atribut kampanye. Hal ini membawa kita terhadap permasalahan utama yang menjadi intisari kajian ini.

Secara interpretasi restriktif, dikenal terdapat pembatasan secara formal dan materiil yang biasanya digunakan dalam pencarian hukum (rechtsvinding). Pembatasan secara formal mengacu kepada pembatasan/kebolehan yang hanya dibatasi atau dituliskan pada peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dicontohkan pada ketentuan kebolehan pengadaan tanah. Sedangkan limitasi sendiri ada pasal 280 UU Pemilu tersebut. Pembatasan secara materiil hanya dilakukan dengan cara interpretasi definitif. Pembatasan secara materiil sendiri adalah pembatasan yang menyangkut kepada kebolehan yang wajar. Bagaimana dengan status quo tentang larangan pemilu terhadap tempat yang disebutkan pada pasal 280 UU Pemilu? Sangat abu-abu.

Jika harus konsisten, seharusnya pembuat UU harus mengetahui apa saja batasnya sehingga tidak ada ketidakpastian hukum dan interpretasi hukum dapat diluruskan. Pasal 280 huruf g. UU Pemilu tersebut seakan-akan tidak pasti restriktifnya sehingga perdebatan tersebut menjadi luas. Menurut pendapat penulis, kampanye di tempat kampus diperbolehkan dengan beberapa catatan di dalamnya. Misal, para kampanye harus siap untuk dikritik dan juga diserang secara gamblang. Hal ini adalah kebebasan akademik yang dijunjung tinggi oleh Undang-Undang Perguruan Tinggi serta Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional karena berurusan dengan kemampuan para mahasiswa dalam berpikir kritis. Lalu, ada juga catatan mengenai konflik kepentingan seperti apakah lembaga kampus (bukan perorangannya) aktif dalam politik praktis. Jika terhadap konflik kepentingan ini terjadi maka perguruan tinggi telah menyalahi semangat dari UU Pemilihan Umum dan etika berpolitik.

Pemilihan Umum nyatanya adalah demokrasi rakyat yang patutnya dijaga oleh elemen-elemn masyarakat. Penulis berpendapat bahwa tidak ada yang salah dengan adanya kampanye berpolitik di lingkup kampus asal tidak melibatkan politik praktis dari universitas atau perguruan tinggi tersebut untuk memihak. Sewajarnya, kita sebagai masyarakat juga patutnya dewasa dalam menimbang adanya kampanye di dalam kampus. Berdialektika dengan wajar, kritis, sopan, dan holistik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun