Bocah kecil imut itu duduk menyendiri di sudut persimpangan jalan. Matanya sayu pertanda ada beban yang harus ditanggungnya. Nasibnya tidak sebaik bocah kecil lainnya seumuran dengan dia.
Tangannya yang mungil memegang setumpuk koran harian pagi terbitan ibu kota untuk dijual. Tidak seperti bocah kecil seumurannya yang pergi ke sekolah pada setiap pagi hari dan pulang pada siang hari.
Mungkin bocah kecil seumurannya lagi bergembira bersama-sama dengan teman-teman di sekolah. Namun dia harus menawarkan koran yang ada ditangannya kepada setiap pengendara kendaraan yang berhenti di persimpangan jalan.
Mungkin bagi bocah kecil seumurannya, uang seribu rupiah tak berarti bagi mereka, namun baginya itu sangat besar nilainya.
Ketika seorang pengendara menurunkan kaca mobil dan menyodorkan selembar uang dua puluh ribu rupiah dan mengambil sebuah koran pagi terbitan ibu kota, sambil berkata "uang kembalian diambil saja untuk membeli buku", ia berpikir bahwa Tuhan sedang menolongnya.
Mobil pun bergerak maju, dan tak lupa bocah kecil itu berteriak mengucapkan " terima kasih pak... hati-hati di jalan.
 Ironis sekali, di jaman sekarang masih ada sikap demikian.
 "Terima kasih" pertanda ia memiliki  karakter yang baik, dan selalu bersyukur atas apa yang diperoleh. "Hati-hati di jalan" merupakan doa atau permohonan yang tulus kepada Tuhan yang diimani-nya agar selalu melindungi dan memberkati orang yang telah menolongnya walaupun pertolongan itu tak berarti bagi si penolong.
Mungkin saja si pengendara mobil itu ibarat sebatang pensil kecil ditangan Tuhan, dan si bocah kecil itu berpikir bahwa hari ini ia telah bertemu dengan Tuhannya yang selalu ia ucapkan pada setiap doa malam sebelum tidur dan doa pagi setelah bangun tidur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H