Konflik tanpa akhir dalam persepak bolaan nasional tidak lain dan tidak bukan bersumber dan bermuara pada LPI VS ISL. LPI yang merupakan proyek dari Panigoro sebagai dewan syuro PSSI semakin suram, keberlangsungan kompetisi aneh ini masih menjadi teka teki. Permasalahan gaji, kontrak pemain , jadwal serta utang piutang yang melibatkan LPIS dengan hampir semua klub di seluruh strata divisi PSSI menjadi bola ruwet yang sangat sulit diurai. Bahkan LPIS masih menanggung hutang pada Persebaya selaku tim anak emas PSSI. Dana talangan 3,2 M dari Gede sang manager yang habis untuk gaji dan akomodasi klub musim kemarin masih belum juga dibayarkan, bahkan ternyata semua pemain yang menjalani tes di Persebaya selama beberapa bulan ini tidak mendapat gaji cuma uang saku dan transport saja ( sumber Jawa Pos, senin 22/10). Kacau balau dan acak kadut memang pantas disematkan kepada kompetisi sah PSSI ini. Jangan dulu berfikir tentang perburuan pemain, apa lagi target juara, klub klub LPI saat ini masih dipusingkan jadwal liga yang belum juga disusun, ironisnya rapat pertanggung jawaban LPIS dan review kompetisi yang baru saja berlalu masih dalam wacana.
Sebelumnya sangat jelas Professor Djohar ketua PSSI yang sah menurut FIFA berhasrat untuk menyatukan liga, dan sedikit memberi multivitamin bagi konsorsium LPIS yang kehabisan nafas. Membiayai sebuah liga dalam satu musim kompetisi dengan tanpa penonton merupakan keputusan yang berani. Belum lagi LPI jilid I yang cuma berlangsung setengah main dan diikuti oleh klub klub ajaib yang sudah menguras kantong Panigoro. Dengan menyatukan liga jelas beban Professor Djohar ketua PSSI yang sah menurut FIFA menjadi berkurang, klub klub yang merepotkan dan tidak mempunyai feed back bagi konsorsium bisa dibuang atau dimerger ke dalam klub lain, tapi apa daya ternyata klub klub ISL menolak dan derita Professor Djohar ketua PSSI yang sah menurut FIFA dalam menghidupi LPI masih harus terus berlanjut.
Penonton adalah elemen penting dalam sepak bola, walaupun bukan menjadi yang utama. Memang benar selama ada tim yang bertanding, ada wasit yang memimpin dan ada lapangan pertandingan masih tetap bisa digelar. Tetapi falsafah dari sepak bola adalah hiburan, dan siapa lagi yang dihibur jika bukan penonton? Mungkin Semen Padang bisa menjuarai LPI tetapi jika pertandingan pertandingannya tidak ada yang menonton apalah arti sebuah trophy. Klub juga semakin terbebani tatkala penonton sepi, karena tidak bisa dipungkiri pendapatan dari penjualan tiket cukup signifikan untuk memberikan pemasukan bagi klub. Dari sini sudah terlihat betapa berat beban klub LPI, bahkan tanpa penonton sponsor juga enggan untuk masuk.
ISL sangat bertolak belakang dengan perjalanan LPI, dimana kopetisi berjalan dengan meriah dan diminati pecinta bola. Tidak memerlukan penjelasan lagi untuk membedakan kedua liga ini. Tiap klub ISL mempunyai supporter yang fanatik mendukung timnya berlaga bahkan saat timnya berlaga di kandang lawan. Penonton ISL vs penonton LPI merupakan cerminan keberpihakan masyarakat bola tanah air. Betapa para supporter sudah muak dengan tingkah laku dan keras kepala Professor Djohar ketua PSSI yang sah menurut FIFA. Ibarat presiden tanpa rakyat, Professor Djohar ketua PSSI yang sah menurut FIFA bersikeras mempertahankan prinsipnya dengan dukungan dari orang orang dekatnya, dan entah untuk siapa dia bersikap demikian karena rakyat yang diwakili pecinta bola sudah lama meninggalkannya. Sepeninggal Semen Padang cuma satu klub yang diuntungkan, yaitu Persebaya dan para pendukungnya yang selalu memenuhi kompasiana. Disinilah mereka merasa besar, seperti katak dalam tempurung yang semua terlihat indah tanpa melihat kenyataan diluar sana. Sejarah akan mencatat betapa kebenaran lambat laun akan terkuak, dan tentu saja kebenaran yang berpihak kepada rakyat yaitu pecinta bola tanah air...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H