Oleh : Johan Maheswara
Belakangan ini sedang ramai jadi perbincangan diberbagai media, baik media cetak maupun media elektronik terkait pemilihan kepala daerah (gubernur) di DKI Jakarta. Pasalnya banyak pro-konra terkait pencalonan kembali gubernur DKI saat ini Basuki T Purnama atau yang akrab disapa Ahok ini. Keinginan memimpin kembali Jakarta dalam satu periode kedepan memunculkan berbagai perspektif dikalangan masyarakat, khususnya para politisi.
Melihat tingginya animo masyarakat terhadap pilkada kali ini mencuatkan berbagai macam spekulasi. Diantara spekulasi tersebut memunculkan berbagai macam nama – nama bakal calon gubernur DKI Jakarta yang saat ini menurut saya masih jauh dari pada kata “seorang pemimpin”. Disni saya melihat adanya suatu “pemaksaan” dalam memperebutkan kursi nomer satu di DKI tersebut. Pasalnya bakal calon yang bermunculan membuat saya pribadi memberikan pandangan bahwa iklim demokrasi di Indonesia masih sangatlah jauh dari pada kata demokrasi yang sesungguhnya. Sampai pada satu kesimpulan bahwa demokrasi di Indonesia sangat tidak sehat (dalam arti sebenarnya).
Jika kita merefleksikan kembali pada pemilukada sebelumnya terlihat sekali adanya suatu pandangan bahwa barang siapa yang memimpin Jakarta dengan baik, maka ia memiliki integritas tinggi. Ini seolah – olah menjadikan bahwa Jakarta adalah jenjang tertinggi dari pada karir kepemimpinan. Padahal masih banyak kota – kota besar di Indonesia ini yang memiliki potensi yang sama bahkan lebih besar dari pada Jakarta.
Keadaan seperti ini merupakan dampak daripada kurangnya sosok pemimpin yang memiliki integritas tinggi dalam memimpin. Softskill yang merupakan modal awal sebagai pemimpin itu tidak didapatkan oleh kebanyakan orang. Yang terjadi justru malah sebaliknya. Orang banyak yang menyianyiakan peluang untuk mengasah softskill mereka sebagai bekal mendatang.
Kita tidak dapat menafikan bahwa bermunculannya calon – calon yang menurut saya kurang kompetensi dalam memimpin Jakarta merupakan hasil timbal balik daripada kurangnya perhatian dalam hal kepemimpinan. Padahal ini merupakan modal penting demi kemajuan Indonesia sebagai Bangsa dimasa mendatang.
Fakta yang terjadi adalah Indonesia saat ini kekuarangan orang yang memiliki semangat untuk membangun Indonesia pada tataran dunia. Kita sama sekali tidak kekurangan sumber daya manusia yang memiliki intelektualitas tinggi, tetapi yang belum kita miliki adalah seorang yang memang memilki semangat perubahan dalam membangun bangsa. Hal ini dapat saya buktikan dengan kondisi pemudanya saat ini.
Bangsa ini memiliki banyak sekali pemuda yang masih segar bugar baik dalam jasmani maupun ruhaninya. Akan tetapi tidak adanya follow up dalam mengembangkan potensi pemuda – pemuda tersebut. Realitanya adalah kampus, sebagai basis dalam mengembangakan pemuda kini telah kehilangan substasinya.
Kampus yang merupakan instansi tertinggi dalam pendidikan guna meningkatkan intelektualitas telah gagal dalam membentuk mahasiswanya menadi seorang yang sanggup melanjutkan regerasi pemerintahan. Kebanyakan mahasiswa kini kehilangan idealisme mereka demi sebuah pencapaian dangkal dalam hidupnya. Semangat yang dulu diteriakan oleh proklamator seakan telah sirna ditelan bumi.
Idealisme seorang mahasiswa kini dapat diperjual belikan dengan sebuah nominal yang tak memiliki arti apapun. Dalam bentuk lain, idealisme dapat ditukar dengan sejumlah poin angka pelajaran. Itu menjadikan mahasiswa hanya sebagai budak ilmu yang tak memiliki arti dan jiwa. Mahasiswa yang demikian tidak sepantasnya berbicara bahwa dirinya adalah mahasiswa tanpa memikirkan idealismenya.
Artinya kondisi bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan, tetapi hanya segelintir orang saja yang menyadarinya. Akibatnya banyak bermunculan sosok pemimpin yang tidak sama sekali memilki kecakapan dalam memimpin tetapi dipaksakan untuk memimpin. Dampaknya adalah terjadinya stagnansi dalam roda pemerintahan yang berimpas pada masyarakatnya yang tidak sejahterah.