Mohon tunggu...
Johansyah Anwar
Johansyah Anwar Mohon Tunggu... -

Practitioner as directors of several companies, I am presently pursuing doctorate degree in human resource management.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Masih Adakah Kejujuran

15 Februari 2015   21:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:08 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

What is your biggest challenge in your career as a manager”, demikian salah satu pertanyaan penutup saat ujian komprehensif Post-graduate MBA Program yang dialami penulis pada bulan Mei 1990 yang lalu.

Pada bagian pertama, penulis memberikan komentar “by my experience and in my view, the challenge is our capability as superior to attract, develop, and maintain the most intellectual people”. Dalam kelanjutan penjelasan atas komentar tersebut, penulis menambahkan pada bagian akhir bahwa “on top of all those, the biggest challenge is our intuition to come up with those intellectual people who, are supposed to be considered as honest”. Konversasi dalam ujian komprehensif tersebut tidak secara eksplisit membenarkan atau menyalahkan pendapat penulis, namun para penguji sempat mengatakan bahwa honesty sebenarnya sudah terkandung dan merupakan bagian dari integrity.

Dalam suatu edisi khusus, James Neil yang membahas mengenai how good a person is (2007), mengatakan

a person who exhibits personal qualities which fit with those considered desirable by a society might be considered to have a good character, and developing such pesonal qualities is often seem as a purpose of education. Commonly emphasized qualities include honesty, respect, and responsibility.

Apa yang disimpulkan Neil tersebut diatas, dalam kenyataannya banyak dilakukan dalam suatu lingkungan yang tidak besar seperti perusahaan-perusahaan. Perhatian pernilaian pada calon karyawan dan karyawan yang diberikan secara khusus pada faktor kejujuran, bukanlah hal yang luar biasa. Sangat sering bahwa tanpa mengabaikan ketrampilan yang dimiliki, persetujuan untuk merekrut seorang karyawan dinilai dari faktor utama apakah ia dapat dipercaya dalam pekerjaannya nanti atau tidak. Bahkan evaluasi karyawan bisa saja dimulai dengan butir-butir mengenai apakah ia telah menjalankan pekerjaannya dengan jujur.

Dalam ruang lingkup yang jauh lebih besar, negara dan bangsa Indonesia; mendudukan seseorang dalam suatu jabatan pemerintahan, maka kita selalu bicara mengenai kompetensi dan integritas. Sering pula kita bicara soal jenjang pendidikan seseorang yang dianggap cocok atau bahkan, dianggap tidak sesuai dengan jabatan yang diembannya. Lebih sering lagi, kita menganggap bahwa seseorang yang telah menjalani masa kerja pengabdian yang panjang dengan pangkat atau jabatan yang cukup tinggi, telah membuktikan dirinya sebagai kompeten dan memiliki integritas.

Namun, pernahkah bangsa ini memberikan perhatian pada faktor kejujuran? Apakah seseorang telah menjalani masa pengabdian selama ini dengan kejujuran? Dan apa pula dan bagaimana pula cara untuk mengukur kejujuran itu? Kejujuran tidak mempunyai tingkatan pernilaian; yang ada hanyalah pilihan antara jujur atau tidak jujur.

Negeri ini pernah membuktikan kejujuran seorang Roeslan Abdulgani, yang dalam masa kedekatannya dengan Presiden Soekarno, “mengakui” secara jujur dan jantan telah membawa titipan uang seorang pengusaha sebesar USD 11.000,00 ke luar negeri. Walaupun Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo saat itu minta di”ampun”kan, tak urung pada tanggal 16 April 1957 Jaksa Agung Soeprapto dengan responsibility yang diembannya, menjatuhkan hukuman denda Rp.5.000,00.

Ketika Presiden Republik Indonesia meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk menyetujui pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia, diikuti dengan penetapan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi; dan kemudian persetujuan DPR-RI menetapkan yang bersangkutan sebagai calon tunggal Kapolri; terjadilah kontradiksi. Kontrakdiksi kejujuran. Muncul pertanyaan, pihak mana yang sebenarnya benar-benar telah mengukuhkan kebijakan yang dilandasi honesty with respect and responsibility.

Pertanyaan menjadi makin meruncing ketika Kepolisian RI dalam waktu relatif sangat singkat menetapkan status Bambang W yang Wakil Ketua KPK sebagai tersangka karena dianggap telah melakukan tindakan pidana kejahatan. Seakan suatu counter attack, apakah hal ini benar-benar suatu tindakan yang berlandaskan honesty with respect and responsibility.

Kejujuran Presiden RI, apakah sebagai seorang Joko Widodo, ia telah mempertimbangkan dengan jujur dalam menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. Kejujuran pimpinan KPK apakah mereka telah menjalankan kewajiban dalam bentuk kesetiaan moril bahwa dengan kompetensinya, telah menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi. Kejujuran para anggota DPR-RI, apakah pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan sidang komisi dan sidang paripurna yang menyetujui penunjukan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri adalah dengan hati nurani. Last but not least, kejujuran seorang Budi Gunawan untuk dengan ketulusan hati, berterus terang apakah yang bersangkutan benar melakukan tindakan seperti yang disangkakan atau tidak benar telah melakukan tindakan tersebut. Kalau semua pihak tersebut diatas mengatakan masing-masing adalah benar dan telah berlaku jujur, maka salahkah kita kalau mengatakan bahwa semua pihak tersebut adalah kontributor atas bergulirnya kasus ini?

Dalam “The Contemporary English Indonesian Dictionary”, disebutkan bahwa arti kata “honest” adalah jujur, halal, terus terang, asli murni, dan suci. Honesty refers to a facet of moral character and connots positive and virtuous attributes such as integrity, truthfulness, and straightforwardness. Walaupun integrity disebutkan diatas sebagai salah satu atribut daripada honesty, integrity juga diuraikan sebagai setia pada keyakinan moril walaupun mudah kalau mau mengabaikannya.

Jelaslah bahwa tuntutan integritas, disamping kompetensi yang didengungkan sebagai pre-requisite untuk seorang pejabat, terutama pejabat publik, bukanlah sesuatu yang sepenuhnya bersifat teoritis belaka. Ada sesuatu dibalik integritas yang diisyaratkan itu, yaitu kejujuran.

Tanpa bermaksud membenarkan atau menyalahkan pihak manapun, bangsa ini seyogyanya menyadari bahwa ada yang salah dengan implementasi kejujuran dalam pengambilan kebijakan, baik itu kebijakan secara kelembagaan maupun kebijakan secara pribadi. Ada yang salah dengan pre-requisite untuk bekerja dengan kompetensi dan integritas secara konsisten. Yang lebih salah lagi dengan anggota bangsa ini bahwa kebiasaan dengan penyimpangan dan kesalahan dalam perbuatan, pengambilan keputusan atau kebijakan, apalagi kalau ada kepentingan golongan atau kemanfaatan materi didalamnya, selalu dicarikan kesempatan dan argumentasi untuk ditutupi dengan segala upaya yang dibenarkan walaupun sebenarnya tidak dapat dibenarkan; dan makin berkeloklah kejujuran itu.

Elit penguasa harus menjaga agar kejujuran itu tidak berbelok. Perilaku dan tindakan para elit penguasa adalah bagian dari pendidikan yang dipamerkan pada anggota masyarakat bangsa. Kejujuran bukan hanya berarti tidak berbohong. Kejujuran adalah berkata, berbuat, dan bertindak yang sesuai dengan hati nurani dengan kesetiaan pada moral budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat bangsa. Moral budaya yang hidup dan dikembangkan sebagai pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan cita-cita Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Perilaku dan tindak tanduk para elit penguasa yang cenderung tidak dapat dikatakan sebagai suatu yang jujur adalah “mata pelajaran” yang tidak diajarkan di sekolah, tetapi justeru dipamerkan sebagai bentuk pendidikan berupa panutan yang tidak positif dihadapan anggota masyarakat yang tidak lain tidak bukan adalah sumber daya manusia bangsa ini.

Pendidikan lebih menyangkut aspek kepribadian untuk mengembangkan potensi rasa menghormati (respect) dan potensi kejujuran (religi), dibandingkan denga pengajaran yang menyangkut aspek pengetahuan dan ketrampilan untuk mengembangkan potensi pikir (intellectuality) dan potensi raga (kinestetics). Perilaku dan tingkah polah pada penyelenggara negara inilah yang “mendidik” sumber daya manusia Indonesia yang terkenal dengan bonus demografinya.

Cita-cita Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 adalah membentuk sumber daya manusia Indonesia seutuhnya, yang berkualitas baik dalam disiplin, baik disiplin sosial maupun disiplin nasional, dalam etos kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan intelektual, kemampuan profesional, dalam tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan dan kemanusiaan, serta dalam moral, karakter, dan kepribadian yang dilandasi dengan kejujuran. Dan contoh perilaku tersebut berada diatas pundak para pemimpin bangsa ini. Bahwa mereka adalah pemimpin yang memiliki kejujuran secara terhormat dan bertanggung jawab.

Mudah-mudahan para penguji yang menguji penulis 15 tahun yang lalu tersebut masih bernafas dengan teratur saat ini dan dapat menyaksikan laju tumbuh dan perkembangan mutu sumber daya manusia, terutama sumber daya manusia yang berada di pelataran birokrasi Indonesia. Mudah-mudahan juga bukan hanya mereka, tetapi setiap insan pemerhati berkenan mengiyakan apa yang dikemukakan penulis bahwa on top of everything, considering honesty adalah tidak terbantahkan merupakan critical issue pada hari ini di bumi negeri tercinta ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun