Mohon tunggu...
Ida Hidayat
Ida Hidayat Mohon Tunggu... karyawan swasta -

peramah dan pendiam

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Raja Tega

24 November 2013   18:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:44 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Melenggang di kesunyian malam berteman angin kencang. Aku merungkut di balik sweeter hitam brcupluk. Di sini, jam segini, sudah tak ada siapapun melintas, apalagi bersenda gurau dengan temannya. Semua sudah lelap dalam tidur, dibuai mimpi masing-masing yang melenakan. Esoknya terbangun membawa harap baru untuk berbuat lebih baik lagi dari sebelumnya. Namun yang terjadi pada diriku justru kebalikannya dari mereka. Aku malah melek, mengelilingi malam mencari mangsa. Mangsaku adalah manusia bejat moral, wanita jalang, atau anak gelandangan yang menangis dalam keremangan jembatan. Aku benci mereka karena mengotori jagat ini. Mereka tak berguna hidupnya makanya aku singkirkan agar tak mengotori alam ini dengan dandanan mereka yang compang-camping, berbau keringat, kadang bau pesing segala. Maklum mereka duduk, berbaring, dan bersandar merebah di mana saja. Tentu semua yang ada dan menempel di sana menempel ke tubuh dan pakaiannya. Maka ketika ia beranjak berjalan melintasi keramaian, bau dari apa yang mereka duduki tercium, menguar terbawa angin semilir.

Di sini sepi. 2 hari lalu aku membekap seorang anak lelaki yang sedang kencing berdiri sambil terkantuk-kantuk. Selagi melayang dalam seretan, ia terus meronta-ronta dan coba teriak di bawah telapak tanganku. Semua usahanya sia-sia. Aku lebih kuat. Cengkraman tanganku bagai tang pemotong, tenagaku setara tiga ekor banteng. Tiba di belakang semak saliara, kuhempas tubuh cungkring itu dengan kasar. Tiada perlawanan berarti darinya. Di sanalah kutancapkan taring di lehernya, menghisap habis darahnya, dan mencampakkannya begitu saja. telah kubantai para penghuninya dan mungkin mereka masih jera mnyinggahi tempat ini lagi. Harus kucari tempat lain. Tempat yang masih menyimpan manusia miskin buruk rupa dan membuat pemerintah pusing tujuh keliling ingin mengenyahkannya dari muka bumi namun tak tega hati melakukannya. Maka aku lah hakimnya. Aku lah raja tega nya, aku lah pencabut nyawanya jauh lebih cepat ketimbang Malaikat pencabut nyawa. Hingga korbanku tak terdengar mengeluh sakit ketika nyawanya melayang ke angkasa dan kukuras habis darahnya. Setelah puas, kucampakkan dia begitu saja. Kadang di sungai, kadang di kebun, kadang di tempat sampah. Esoknya orang berkerumun meributkan mayat pias kehabisan darah dengan meninggalkan dua lubang menganga di lehernya. Tak lama, pemberitaan di media cetak dan elektronik pun gencar dan aku hanya tersenyum menyaksikan mereka kasak-kusuk.

Di dunia ini, aku lah sang penguasa malam. Semua manusia takut akan diriku, tapi semua dari mereka umumnya belum pernah melihat diriku. Sekalipun ada dia langsung mati kehabisan darah. Anak-anak di rumah masing-masing semua dilarang orang tuanya keluar rumah andai malam mulai turun. Yang ditakutkan cuman satu yaitu aku. Pernah suatu ketika para polisi mengepung daerah rawan seperti di kolong jembatan, pinggir pembuangan sampah dan gorong-gorong. Mereka hendak menangkap aku hidup atau mati. Namu karena aku sudah mencium gelagat mereka sebelumnya, persiapan demi persiapan sudah kulakukan berikut menjadikan salah satu dari mereka korban berikutnya.

Dalam sebuah kesempatan, ketika seorang polisi muda patroli sendiri mengapit senapan laras panjang di ketiaknya, kupukul lehernya, kuseret ke semak dan kutancapkan kedua taringku di sana. Hanya erangan kecil yang keluar dari mulut mungil manusia malang itu. Setelah itu nyawanya melayang ke langit menemui sang penciptanya dulu.

Aku puas. Malam ini mangsaku masih segar dan nampaknya masing bujangan. Terlihat dari wajahnya yang bersih segar, serta bibirnya yang kemerah-merahan sedikit mengilap basah berludah. Dan entah kenapa, rasa darahnya pun lain. Jauh lebih manis, gurih dan serasa ada yang mencipratkan air ke wajahku. Terdorong penasaran, kutelisik sang polisi muda itu sampai ke rumahnya. Pelayat berdatangan mengenakan pakaian serba hitam sampai kaca mata pun hitam. Mereka umumnya berwajah sendu bahkan ada yang berisak tangis segala. Padahal mereka belum menyentuh pagar rumah si polisi muda, langkah mereka pun belum sepenuhnya berpijak di lantai putih yang hanya berdebu sedikit karena ibu si Polisi menyapunya 7 kali sehari, mengepelnya 2 kali sehari. Dari percapakan pelayatlah kutahu si Polisi muda sangat menjaga pola makannya. Menerapkan empat sehat lima sempurna, membiasakan diri makan buah sebagai pencuci mulut. Pantas saja darahnya wangi, manis, lagi gurih. Beda dengan darahnya gelandangan yang saban hari makan seadanya, kadang mungut dari tempat sampah dengan dalih masih bersih dan layak dikonsumsi karena masih dalam kemasan. Terlewat tanggal kadaluarsa sedikit tak peduli yang penting belum berjamur. Maka rasa darah mereka sedikit hambar dan encer luar biasa. Namun aku tetap harus meminumnya demi keberlangsungan hidupku dan keturunanku kelak.

Menjadi manusia aneh memang penuh resiko dan ketidaknyamanan. Tapi mau bilang apa, takdir sudah menuliskanku seperti ini. Jadi ya... Sekarang. Mainkan saja perananku sebaik-baiknya. Semua akan indah pada waktunya.

Kegemaran meminum darah sudah dari kecil. Waktu itu aku sedang ditete ibuku dan dibawa jalan-jalan ke pasar. Di sana aku menyaksikan ayam dipotong-potong dengan pisau besar, runcing bagian ujungnya. Dari situlah aku mencium wewangian aneh dan sangat mengugah selera. Kulepaskan mulutku dari tetek ibu, mengamati sekian lama darah yang memuncrat dari bagian tubuh ayam, kuamati pula wajah kecut pencincangnya. Dia seorang ibu gemuk dikuncir ekor kuda rambutnya. Setiap kali dia mengayun pisau, pipinya berkerut-kerut gemas.

Ibuku bertanya, “Kau sedang lihat apa, nak?"

Tentu saja tak kujawab karena aku belum bisa bicara. Hanya bisa mengamti wajah keheranannya dalam diam, lalu kembali mengamati memuncratnya darah segar.

Ibuku mengikuti arah pandangku, "Oh... Kamu lagi lihat ayam dicincang, rupanya. Memangnya kenapa. Kau tertarik??"

Seolah mengerti ketertarikanku, ibu mengajakku mendekat ke sana. Ibu pencincang ayam mengangkat wajah menatap kami. Seketika itu senyumnya terkembang. Ramah sekali. "Eh.... Ade bayi. Siapa namamu, nak?"

Dijawab oleh ibuku kalau aku bernama Steven Gustiana, berumur sembilan bulan.

Lagi-lagi dan utuk kesekian kali si ibu pencincang mengatakan aku ini tampan sekali. Kelak dewasa mungkin jadi Pengusaha, Artis, atau mungkin Presiden. Aku memiliki aura ke arah sana, katanya. Mendengar pujian muluk-muluk itu, ibuku terkekeh. Dia merasa bangga akan diriku.

Hanya sebentar kami di pasar karena yang ibuku cari tak ada. Lalu ibuku membawaku ke supermarket. Di sana tempat belanjanya lebih bersih, sejuk dan begitu banyak kaca dan beberapa lase juga terbuat dari kaca. Aku celingukan ke sana kemari tak mengerti. Ada beberapa dari pengunjung tersenyum padaku. Dia nampaknya gemas ingin mencubit pipiku namun urung entah sebab apa.

Ibu menghampiri toko pakaian. Di sana dia terus menengadah ke lase-lase tinggi melebihi dirinya yang menampilkan berjenis-jenis gaun. Ibu berhenti di depan gaun warna merah jambu berkerlap-kerlip dengan bintik-bintik bening. Seorang pelayan menghampiri dan langsung bertanya apa ada yang bisa bantu. Ibuku menoleh padanya sesaat, lalu menunjuk gaun itu.

"Boleh lihat gaun itu."

“Tentu saja boleh, bu. Sebentar. Saya bukakan untuk anda."

Suara perempuan itu  nyaman di telengaku meski aku tak tahu dia berkata apa dan maksudnya apa.

Belum seluruh gaun keluar dari lase, ibu sudah memegang bagian ujungnya. Aku pun ikut merabanya dan memang lembut sekali rasanya. Manik-manik pelengkap dan pengindah gaun itu terasa agak kasar sedikit namun mewah bukan main.

"Berapa harga gaun ini?" tanya ibu.

"Harga gaun ada di kerahnya bu. Ibu bisa lihat langsung di sana."

Mata ibu langsung terhujam ke kerah gaun dan membelalak. Angka luar biasa mahal terpampang di sana. “Mahal sekali gaun ini."

"Uang takkan menipu, bu. Makin mahal, kualitas kuantitas makin bagus." jawab si pelayan, lantas mencubit pipiku.

"Iya kamu betul. Andai punya uang, aku pasti mengambilnya. Namun sayang. Uangku tidak cukup." lalu ibu tersenyum pahit. Ia sangat ingin gaun itu tapi tak cukup dana memboyongnya ke rumah.

Si pelayan tersenyum dan memanggut. Menerima kembali gaun yang kembali ibuku sodorkan padanya.

Ibu kembali melanjutkan pencariannya.

Entah berapa lama kami dalam supermarket. Aku mulai tak betah. Kain pengikat diriku agar tak jatuh meniban lantai terasa mengekang dan makin mengekang. Aku terimpit. Dan yang kubisa lakukan adalah menangis sejadi-jadinya.

Ibu menenangkanku dengan bujuk rayu, terkadang berdesis-desis sambil menepuk-nepuk pantatku.

Aku makin tak betah, tiba-tiba gerah, tiba-tiba merindukan puncratan darah ayam di pasar tradisional tadi.

Malamnya aku terus-terusan menangis. Ibu sampai menyerah kalah menenangkanku. Tak lama bapak datang masuk melalui pintu depan dan dia langsung bertanya kenapa aku begitu rupa. Nangis demikian keras macam ada yang menyakiti. Ibuku berkata tidak tahu. Semejak dari swalayan ..... Terus begini.

Bapak menggantikan ibu menggendongku dan langsung menggerutu terompoli olehku. Ibuku pun menggerutu. Pakaian yang kuompoli baru sehari dipakai oleh bapak. Mestinya sampai hari rabu, ini baru hari senin.

Bapak kini menenangkan ibu. "Yang sabar ya, bu.. Yang sabar. Malaikat kecil kita lagi kurang enak badan mungkin. Atau bisa jadi masuk angin."

Ibu setuju. Tadi sepanjang siang ia tak mengenakan jaket padaku dan meminta maaf karena itu. Ia telah teledor memerhatikan kondisi malaikat kecilnya yang masih sangat rapuh, rentan terhadap penyakit dan cuaca.

Entah pukul berapa dan sebab apa akhirnya aku bisa tenang sendiri. Menyisakan isak tangis yang terasa menusuk tenggorokan.

Ibu dan bapak bernafas lega. Mereka merebahkan badan masing-masing di sofa. Bapak merentangkan tangan, ibu menyusup ke pelukan bapak. Ibu jadi mengecil dan mengkerut di pelukan bapak.

"Aneh sekali ya anak kita, pak." ibu berujar manja.

"Yang sabar... Namanya juga anak-anak."

"Coba kalau dia sudah bicara ya, pak. Tentu kita tahu apa maunya dia tadi."

"Ya ya ya."

Ibu mendadak melepaskan diri dari pelukan bapak. Dia teringat sesuatu kalau suami tercintanya belum diambilkan minum. Bapak terkekeh, tatapannya mengikuti ibu bergegas ke dapur mengambilkan air untuknya. Lalu menggeleng berdecak-decak. "Wanti.... Wanti." gumamnya.

Tak lama ibu kembali membawa dua gelas minuman dalam nampan, berikut beberapa keping biskuit dalam piring kecil. "Ini minumnya, pak."

"Terima kasih sayangku, manisku, pujaan hatiku, belahan dadaku."

Ibu tertawa. Pujian terhadapnya langsung ditumplekkan detik itu juga membuat dia melabung angannya ke langit kelam di luar sana.

Aku belum tidur dalam ranjang kecilku. Mataku yang bening menerewang ke puncratan darah ayam di pasar tadi. Setiap kali darah memuncrat aku tertawa, menggerak-gerakan tangan secara kaku. Aku terhibur, sangat terhibur, sekaligus merana karena puncratan darah kini jauh dari jangkauanku. Entah kapan aku dan ibu ke sana lagi.

Aku terbangun karena beberapa bunyi: derit pintu jati, kecipuk air dalam jolang kecil, beberapa kali gelas beradu. Aku menangis, ibu melompat menghampiri.

"Kamu sudah bangun rupanya, nak. Selamat pagi...."

Suara ibu yang sudah kukenal sedari aku dikandungnya begitu menenangkan. Wajahnya yang sedari bisa membuka mata sudah demikian akrab tak kalah menyejukan dibanding air yang memebersihkan badanku. Dia panutan diriku, pelindungku, pemberi kehidupan melalui air tajinnya dan sekarang dengan asi nya. Kuhibur wajahnya yang lelah dengan jerit senang dan menggerak-gerakan kedua tangan secara kaku. Ingin sekali kusentuh wajahnya dan kucengkram pipinya. Namun dia jauh dari jangkauan. Aku jauh melesak dalam ranjang kecil berpagar besi ini.

Ibu mengangkat tubuhku, nampak berat kelihatannya dan memindahkanku ke jolang kecil biasa aku dimandikan. Dengan hati-hati serta penuh sayang aku didudukan dalam dasar jolang yang membentuk pantat bayi. Seketika itu tubuhku menjadi hangat terutama dari pinggang ke bawah.

Selesai mandi aku dibungkus handuk kecil yang lembut selembut kulitku. Aku tertawa-tawa dan menjerit-jerit. Sungguh perlakuan ini aku suka. Ibu pergi sebentar. Wujudnya sampai tak nampak barang sesaat. Lalu ia kembali membawa beberapa helai pakaian bermotif kartun. Handuk kecil pembungkus diriku dibuka oleh ibu. Lalu dikenakannya helai demi helai pakaian yang ia bawakan untukku tadi.

Segala kepengurusan aku ibu tangani sendiri. Padahal ia punya dua orang pembantu yang masih muda-muda, juga beberapa tukang kebun. Namun ia tetap melakukannya sendiri.

"Aku ingin dekat dengan anakku. Pertalian batin kami jangan sampai terhalang atau tergantikan oleh orang lain. Dia anakku, darah dagingku, dia harus tunduk dan patuh padaku."

Itu yang kerap ibu ucapkan pada suaminya ketika bapak menyarankan agar aku diurus baby sitter. Bapak menyarankan begitu karena ibu nampaknya lelah mengurusiku juga terpaksa berhenti berkarir karena mengurusiku.

Seperti biasa aku digendong ke belakang rumah. Di sana kusaksikan beberapa tukang kebun memangkas, mencabut ruput liar dengan alat semcam garpu, ada pula yang membabat dengan sabit. Mata kecilku yang bening bagai kelereng menyaksikannya dan menganggapnya sebagai hiburan. Mereka para tukang kebun itu bagai lagi beratraksi menghiburku padahal wajah mereka amat serius, memanggut hormat pada ibu dan diriku.

Tukang kebun di pojok kanan halaman tiba-tiba mengeluh sakit memegang jemarinya. Semua orang kaget dan bertanya kenapa. Ibu pun berteriak begitu. Ternyata si tukang itu terluka. Entah bagaimana kejadiannya tiba-tiba sabit yang ia gunakan membabat Bougenvil menyerempet telunjuknya.

Aku jadi bersemangat, hidungku kembali mencium wangi seperti di pasar kemarin. Wangi darah. Ya, wangi darah. Sangat akrab dan begitu kurindukan.

Setitik darah menetes, meski cepat, dapat kuikuti luncurannya hingga meniban rumput terpotong rapi di bawah dekat telapak kaki si tukang kebun. Wajahku berubah serius, isi kepala berputar-putar. Dengan segenap tenaga aku berontak dalam dekapan ibu. Ibuku kaget sekaligus bingung kenapa tanganku terjulur-julur ke arah si tukang kebun yang terluka. Para tukang kebun terpaku menatapku. Entah kenapa mereka jadi nampak takut menatap ekpresiku yang kurasa biasa-biasa saja.

"Den Steven kenapa, nyonya. Ekpresinya lain sekali."

“Aku tidak tahu Mang. Dari kemarin dia aneh begini. Malah tadi malam ia menangis sampai pukul setngah dua."

“Sakit barangkali, nyonya..."

"Kurang tahu juga, Mang. Ya sudah aku kedalam dulu. Kalian beristriahat saja dulu."

"Iya nyonya."

Aku digendong masuk sambil ditepuk-tepuk pantat. Tapi aku tak bisa tenang. Darah yang meluncur dari telunjuk tukang kebun tadi ingin sekali kuhampiri dan kuhisap dari rerumputan.

Tujuh tahun kemudian

Pagi pukul setengah tujuh aku siap berangkat sekolah. Kuamati diri di kaca lumayan lama memastikan diri tampil sempurna di sekolah. Dan setelah dirasa cukup, barulah aku meluncur ke lantai dasar menemui ibu dan bapak yang pastinya sudah menunggu untuk sarapan bareng. Dan benar saja mereka telah menunggu cukup lama namun tak sedikit pun kecewa di wajah mereka. Ke dua orang tuaku memang orang tua paling penyabar sedunia. Mereka layak aku banggakan dalam setiap momen apapun. Mereka di luar sana jadi panutan anak buahnya yang berjumlah ribuan.

Bapak pemilik pabrik garmen sementara ibu pemilik Pabrik Tekstil. Kesemua dari mereka adalah direktur utama. Pernah suatu ketika aku di ajak ke pabrik bapak dan mendapat sambutan luar biasa hangat dan mengesankan. Para staf bapak yang entah berjumlah berapa serta umumnya wanita cantik lagi tinggi semampai. Mereka menjawail daguku, mencium pipiku dan ada pula yang hanya bertanya-tanya siapa namanya, kelas berapa sekolahnya dan ada pun yang sekedar memuji, “Tampan sekali dia.” Dan dijawab bangga olah bapak, siapa dulu dong bapaknya. Lalu semua orang tertawa.

Aku sangat dihargai sebagaimana bapak dihargai di sana. Padahal aku bukan siapa-siapa. Murni karena aku anak direktur. Apapkah semua pujian atas diriku tulus atau tidak aku tidak tahu. Yang jelas aku sangat dimanja di sana.

“Ayo Stev, kami sudah lama menunggumu.” Ucap bapak dengan senyum khas berkarisma pimpinan perusahaaan.

“Iya, pak. Maaf kalian harus menunggu sekian lama.”

Tak kusangka mereka akan tertawa demikian keras padahal yang kuucapkan terasa biasa-biasa saja. Mereka menganggap itu sebagai ucapan para eksekutif yang kesehariannya mengurusi tender milyaran rupaian.

“Rupanya jiwa kepeminpinan kita sudah melekat di tubuh anak kita ya, pak.” Ucap ibu setelah kami berada dalam ruangan dan menutup pintu. Bapak mengiyakan.

Aku menarik kursi dan duduk dengan tenang. Ibu mengambilkan dua lempeng roti yang sudah dipanaskan dan menawari apakah aku mau pakai selai atau tidak, pakai margarine atau tidak, dan lain-lain. Aku mengiyakan semuanya. Mereka kembali tertawa.

“Kamu ini suka makan segala ya. Bagus sekali. Calon peminpin memang harus begitu. Semua yang kau makan akan menambah cerdas otak kamu dalam mengatur strategi bisnis nantinya. dan semua yang kamu makan pula membuktikan kamu mampu mengolah bisnis apapun dengan baik tanpa pandang ini kotor, ini jorok, ini akan kurang menguntungkan, atau ini prospeknya kurang bagus.”

Betapa dalam bapak mengupas kebiasaan makanku yang tak pernah pilih-pilih. Dan karena dia jago berbisnis, maka semua dikatikan dengan bisnis, perbankan, stratetgi, kiat khusus, dan bagaimana menarik minat pembeli. Itu semua aku tak faham namun aku mengangguk-ngangguk saja seolah paham.

Selesai makan kami bermobil bertiga. Eh maaf, berempat lebih tepatnya (dengang sopir pribadi kami) dalam mobil kami kembali bersenda gurau dan tetap dikait-kaitkan dengan bisnis serta segala pernik perekonomian. Aku senang-senang saja mengikuti celoteh kedua orang tuaku. Pak sopir pun begitu menikmati nampaknya. Sesekali ia mengintip dari cermin kecil di atas kepalanya sambil tersenyum. Kami memang keluarga penuh kehangatan, akrab pada siapapun termasuk ke para pembantu dan tukang kebun kami. Beberapa kali bapak di suruh menduduki posisi sebagai kepala desa saking bisa berbaurnya dengan masyarakat. Namun bapak terus menolak dengan dalih takut tak bisa mengendalikan rakyat karena terlampau sibuk di perusahaannya.

Setiap kali warga melihat mobil bapak hendak melintas mereka serempak berdiri, memanggut dan menyapa atau saling bertanya kabar. Meski bapak paling disegani di perusahaan tempat ia bekerja juga perusahaan lain yang menginduk padanya, bapak tak merasa rikuh bergaul dengan siapa pun bahkan sampai ronda dan kerja bakti pun ia lakoni. Begitu juga ibu. Pernah sampai ikut masak segala di hajatan seorang warga, padahal yang punya hajat sudah melarangnya dengan dalih, kotorlah, nanti kena asap kompor lah, atau nanti gaunnya bau lah dan sebagainya. Tapi ibu kekeh melakukannya.

“Saya memang biasa masak di rumah.” Ucap ibu sambil tertawa. Padahal nyata tidak. Dia biasa dimasakkan oleh Minarni, Selvy, atau Susi, bahkan untuk suami sendiri. Tapi di hajatan itu ibu membuktikan diri dia suka dan pandai masak. Memang kalau ditelisik secara mendalam ibu dulunya dari keluarga sederhana sebagai anak petani tebu. Namun setelah besar dan kuliah di perhotelan, pamor ibu semakin menanjak berkat kegigihan dan kerja keras selama bertahun-tahun. Jadilah ia seperti sekarang. Disegani banyak orang sebagai pimpinan perusahaan garmen. Aku bangga padanya, dia tak pernah pilih-pilih dalam bergaul.

Kala itu ibu kebagian memasak kentang sambal ati. Dengan cekatan dia mengaduk, menuang bumbu dan mencicipinya ke telapak tangan. Setelah dirasa enak, ibu melanjutkan mengaduk hingga benar-benar matang dan tanak.

Melalui kaca mobil pemandangan melesat-lesat memusingkan. Andai aku tadi tak sarapan, tentu aku muntah-muntah. Itulah sebab kenapa ibu dan bapak selalu menyarankan sarapan, apapun yang akan kita kerjakan setelah itu. Maksudnya untuk menjaga kestabilan tubuh menghadapi tantangan. Hidup ini penuh tantangan kata mereka suatu hari. Makanya kita harus siap bersaing secara sehat dalam setiap kesempatan. Jadikan hari-hari kita adalah panggung persaingan yang harus kita menangkan.

Aku mencoba mengikuti saran mereka. Di sekolah aku tak pernah main-main dalam menyimak ceramah guru, mempelajari LKS atau mengerjakan tugas lainnya. Dengan harapan meski tak sehebat ibu dan bapak minimal aku tak dibodohi orang lain. Hasilnya sangat memuaskan. Nilai setiap pelajaranku rata-rata delapan, terkadang sembilan dan sepuluh.

Orang tua mana pun tak pernah mengajarkan salah meski ia seorang pendosa besar, tukang korup, preman tengik atau preman berdasi, sampai tukang nyolong ayam sekalipun. Mereka tentu ingin keturunannya menjadi generasi lebih baik dibanding dirinya. Indonesia harus memiliki generasi sehat, bermartabat, dan cekatan. Itu harapan orang tua dan guru di sekolah.

Tiba di gerbang sekolah aku mencium tangan ibu dan bapak. Dari tangan merekalah semua bermula. Apa yang kudapat, kuraih, kupakai, berkat kerja tangan mereka. Aku harus tunduk dibawah perintahnya sepanjang perintahnya tak menyimpang.

"Kamu baik-baik di sekolah ya. Jangan nakal, dan jadikan prestasimu meningkat dari hari kemarin. Oke?"

Wejangan dari ibu semacam tadi setiap hari kudengar menjelang turun dari mobil. Mungkin ia tujukan agar aku lebih bersemangat menghadapi tantangan, jangan menjadi lembek atau terlena dengan apa yang sudah dipunyai sekarang. Kita tetap harus berjuang keras karena hidup terus berputar dan diluar sana banyak orang berkompetensi bahkan berkonspirasi menjatuhkan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun