Mohon tunggu...
Johan Rama
Johan Rama Mohon Tunggu... -

"Hendak menggaruk tidak berkuku"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sebuah Harapan Untuk Caleg Muda Cerdas Media

27 Maret 2014   19:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:23 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fenomena kehadiran orang-orang muda dalam pemilihan legislatif bukanlah hal baru di Indonesia. Setidaknya sejak pemilu 2009 lalu, nama-nama politisi muda kerap disebut di berbagai perbincangan terkait politik nasional kita. Namun tak seperti saat ini, dulu perbincangan tentang mereka banyak diiringi nada-nada sinis. Banyak pihak meragukan kualitas caleg muda dengan alasan bahwa mereka “belum cukup umur” untuk menghadapi realitas politik yang keras.

Tapi lain dulu lain sekarang; di tahun 2014 ini anggapan tersebut seolah tak lagi relevan. Kini justru berkembang wacana bahwa caleg muda mampu bekerja lebih produktif ketimbang caleg-caleg “senior”. Pertimbangannya cukup jelas. Kebanyakan caleg berumur yang telah terpilih sebagai anggota DPR periode 2009-2014 nyatanya tidak kuat mengemban kepercayaan masyarakat. Sepanjang periode tersebut, alih-alih pembaharuan, rasa-rasanya kasus korupsi dan berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan bernuansa feodal malah kian marak terjadi. Alhasil, hari ini kita sama-sama mafhum bahwa tuanya usia seseorang tidak berbanding lurus dengan integritasnya sebagai pejabat publik.

Dalam situasi kekecewaan itu, wajar jika lantas ada banyak pihak yang memalingkan wajahnya kepada generasi muda Indonesia. Minimal keberpalingan tersebut tampak dalam kebijakan partai-partai politik yang menaikkan persentase kader mudanya, dan serius memajukan mereka untuk berkompetisi di pemilu legislatif mendatang. Lathifa Al Anshori, Melis Puspasari, Novi Wahyuningsih (Nasdem) dan Andi Tentri Natassa (Hanura) misalnya, adalah caleg-caleg yang cukup fenomenal karena usia mereka belum lebih dari 23 tahun.

Di satu sisi, majunya caleg-caleg muda tadi melambungkan harapan akan terjadinya perubahan dalam budaya politik kita. Namun di sisi lain, fenomena ini juga memancing banyak rasa penasaran. Seandainya caleg-caleg muda ini berhasil menduduki kursi parlemen, akan jadi seperti apakah pemerintahan Indonesia nantinya?

Sulit rasanya mendapat kejelasan tentang hal tersebut. Namun, dengan melihat konteks kebudayaan tempat generasi muda itu bertumbuh, setidaknya ada satu hal yang bisa dipastikan, yakni kalangan muda ini memiliki kecerdasan bermedia, sesuatu yang tidak dimiliki oleh generasi-generasi pendahulunya.

Tidak seperti satu dasawarsa lalu, hari ini kalangan muda aktif bergerak di dua dunia. Dunia nyata dan dunia maya sekaligus. Mereka adalah generasi yang amat cekatan dalam memanfaatkan internet, hingga mampu menjadikannya sebagai sarana bersosialisasi, belajar, berdagang, bahkan berkarya. Dengan begitu, apakah berlebihan jika kini kita berharap mereka bisa memanfaatkan internet untuk mengefisienkan proses politik? Rasa-rasanya tidak.

Internet telah mendidik golongan muda kita untuk terbiasa berbagi informasi dan berkolaborasi. Ahok, Wagub DKI yang setia memublikasikan laporan kerja dan slip gaji di blog-nya adalah salah satu contoh menarik. Dalam taraf tertentu, dapat dikatakan bahwa teknologi komunikasi ini telah membiasakan kalangan muda untuk bergiat dalam organisasi yang demokratis. Seandainya saja orang-orang muda ini mampu mendorong pemerataan jaringan internet ke seluruh negeri, kemudian memanfaatkan media sosial untuk menghimpun kebutuhan masyarakat dari berbagai daerah, bukankah itu akan melancarkan proses penyaluran aspirasi yang selama ini terhambat karena ketiadaan akses komunikasi langsung dari akar rumput ke gedung parlemen?

Pada akhirnya, semua ini tentu hanyalah pengandai-andaian yang didorong oleh sebuah harapan. Setidaknya, saat orang-orang muda melek media itu duduk di DPR kita bisa berharap tidak akan ada lagi uang rakyat yang keluar sia-sia hanya untuk “studi banding” ke luar negeri. Toh, semuanya bisa dilihat di YouTube. Bukan begitu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun