Mohon tunggu...
Johansyah M
Johansyah M Mohon Tunggu... Administrasi - Penjelajah

Aku Pelupa, Maka Aku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Shaum, Mengasah Kemanusiaan Kita

2 Mei 2020   17:03 Diperbarui: 2 Mei 2020   17:08 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seandainya ada orang yang mengatakan pada kita; 'kamu seperti hewan' atau 'kamu seperti manusia'.  Mana yang kira-kira menyakitkan buat kita? Saya pribadi dan kita semua tidak memilih kedua-duanya. Kalau pun harus memilih, saya lebih rela dikatakan; 'kamu seperti hewan', bukan 'kamu seperti manusia'. Alasannya, kalau yang pertama, itu artinya wujud asli kita masih manusia. Tapi kalau yang kedua, wujud asli kita dianggap sama sekali bukan manusia.

Mempertanyakan kemanusiaan diri kita adalah sesuatu yang sangat penting. Pasalnya ternyata banyak yang tidak sadar diri bahwa dia adalah manusia. Oleh sebab itu dia tidak menyadari pula sikap dan perbuatannya ternyata bukan sikap manusia. Anehnya, bila disindir tentang sifatnya yang tidak menunjukkan sikap manusia, dia merasa tersinggung. Tapi ada juga yang tidak peduli lagi, dia merasa tidak malu dengan perbuatan kejianya.

Coba perhatikan para terpidana korupsi, di depan kamera dia masih bisa senyum dan memberikan keterangan pers dengan semangatnya. Tidak ada rasa menyesal atau bersalah sedikitpun. Justru ketika dipidana, dia masih percaya diri, kalau itu semua bisa dilewati dengan mudah tanpa suatu kesulitan. Salah satu bocorannya, ternyata di penjara bisa transaksi ruangan.

Biasa para koruptor dibiarkan hidup dengan fasilitas seperti hotel di penjara. Pantas seorang koruptor itu sama sekali tidak takut dipenjara karena di sana dia dapat dengan leluasa memperoleh fasilitas yang memadai. Mulai kepala lapas hingga sipir dia 'servis' agar diizinkan hidup di penjara dengan fasilitas yang memadai.

Sifat dasar manusia adalah sifat ketuhanan (quwwatu ar-Rabbaniyah) yang bahagia ketika berbuat baik. Sementara potensi kehewanan (quwwatun bahimiyah dan sab'iyah) bukanlah sifat dasar manusia, tapi sifat itu menjadi sifat bawaan semua manusia yang lahir ke dunia. maka dikatakan manusiawi atau tidak manusiawinya seseorang diukur dari sifat apa yang diperlihatkannya. Kalau sifat baik, berarti manusiawi atau beradab. Adapun kalau sifat buruk berarti tidak manusiawi atau biadab.

Sekiranya belajar tujuan pendidikan dalam pandangan pendidikan Islam, kita akan menemukan satu rumusan-dan mungkin ini juga berlaku umum bagi tujuan pendidikan secara global seperti yang dirumuskan UNESCO, bahwa pendidikan itu adalah proses humanisasi atau memanusiakan manusia. memanusiakan dalam hal ini adalah proses panjang dalam membimbing, mengarahkan, dan menumbuhkan sifat-sifat kebaikan dalam diri manusia.

Secara ruhani seseorang belum tentu menjadi manusia sesungguhnya dan sempurna sebagaimana bentuk fisiknya. Derajat kesempurnaan itu akan ditentukan oleh ketakwaan seseorang yang terwujud dalam akhlak mulia dan amal kebaikan. Dalam salah satu titah-Nya dengan tegas Allah menyatakan bahwa yang paling mulia di antara manusia adalah mereka yang bertakwa (QS. al-Hujurat: 13), yakni mereka yang selalu berbuat kebaikan dan menebarkan manfaat bagi orang lain semata-mata karena Allah.

Manusia secara fisik boleh berbangga sebagai makhluk yang didesain sempurna oleh Allah (QS. At-Tiin: 4), dan diberi kelebihan dari makhluk lainnya (QS. al-Isra: 70). Kesempurnaan manusia secara fisik ini akan hilang manakala seseorang terjebak dalam lembah kemaksiatan dan sangat sedikit melakukan kebaikan. Sanksinya kemudian adalah manusia akan didiskualifikasi dari posisi papan atas ciptaan Allah yang mulia ke posisi yang sangat hina (asfala safilin) dan diserupakan dengan hewan atau lebih hina lagi (QS. al-Araf: 79).

Perilaku seseorang acap kali mirip makhluk-makhluk Allah lainnya. Minsalnya, ada penjabat yang suka mengambil hak orang lain yang bukan haknya. Padahal kita tau bahwa yang sering berbuat seperti ini adalah monyet. Maka tanpa terasa orang ini telah meniru perilaku monyet. Ini artinya secara batin pelakunya sama dengan monyet. Dan jika kembali kepada firman Allah di atas, orang tersebut lebih rendah dari monyet.

Tolak ukur kesempurnaan manusia pada hakikatnya adalah akhlak mulia yang diekspresikan seseorang dalam merajut hubungan vertikal dengan Allah (hablu min Allah) maupun dengan sesama makhluk-Nya (hambl min  an-nas), bukan kekayaan, keturunan, maupun kecantikan. Ketika akhlak seseorang baik maka secara batin dia semakin dekat dengan kesempurnaan dan derajat mulia. Sebaliknya ketika akhlak manusia rendah maka semakin rendah derajatnya dan hina di sisi Allah.

Untuk mencapai derajat mulia di sisi Allah, maka Dia menyiapkan bulan ramadhan mubarak ini untuk mengasah kecerdasan ruhani dengan memaksimalkan berbuat baik melalui aneka ragam ibadah yang berlipat ganda pahalanya. Mereka yang berpuasa dilatih untuk membangun kebiasaan-kebiasaan baru berbasis kebaikan dan membongkar kebiasaan lama yang berbau kebutuhan duniawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun