Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari tarbiyah ramadhan. Salah satunya adalah belajar bagaimana agar seseorang dapat menerapkan pola hidup hemat. Secara umum hidup hemat adalah hidup yang mempergunakan dan membelanjakan harta dengan perhitungan yang baik sesuai kebutuhan, bukan keinginan. Dalam sebuah pepatah dikatakan; 'hemat pangkal kaya'. Di suku Gayo ada satu pepatah; 'inget-inget sebelum kona, hemat jimet wan tengah ara' (berhati-hatilah, selagi dalam kondisi mapan, berhematlah).
Islam juga menganjurkan kita untuk dapat hidup hemat. Sebagaimana firman Allah Swt: 'dan berikanlah kepada keluarga yang dekat akan haknya, orang miskin dan orang yang melakukan perjalanan, serta jangan menghambur-hamburkan hartamu (secara) boros. Sesungguhnya perilaku hidup boros itu adalah watak setan. Setan itu sangat kufur kepada Tuhannya' (QS. Al-Isra': 26-27).
Dalam beberapa hadits juga dianjurkan agar kita juga dapat menerapkan hidup hemat. Nabi Saw bersabda; 'tidaklah seorang anak Adam memenuhi suatu wadah dengan kejelekan, kecuali perutnya. Cukuplah bagi seorang anak Adam suapan makan yang membuat tulang punggungnya tegak. Jika tidak dapat mengalahkan nafsunya, maka sebaiknya dia mengisi sepertiga saja dari perutnya. Sepertiga untuk minum, dan sepertiga lagi untuk nafasnya'Â (HR. Ahmad, Turmudzi, dan Ibn Majah).
Pada hadits lain beliau menegaskan; 'tiga golongan yang sangat dibenci oleh Allah Swt, yaitu orang yang banyak makan, orang yang kikir, dan orang yang sombong' (Hadits). Jika menggunakan teori washatihiyah Ibnu Miskawaih, dan berdasarkan dalil al-Qur'an maupun hadits di atas, ada dua sifat jelek di antara sifat hemat, yakni sifat boros dan kikir. Terlalu hemat namanya kikir, kalau melebihi namanya boros. Kedua sifat ini sangat dibenci oleh Allah Swt.
Hidup hemat beda dengan hidup kikir atau pelit. Kikir itu seperti tidak ada dalam keberadannya, atau seperti tidak mampu dalam kemampuannya. Sementara hidup hemat itu dalam keadaan mampu tetap untuk tidak hidup boros, tapi kalau ada orang yang membutuhkan, dia siap bantu. Sementara orang yang kikir itu, jangankan membantu orang lain, untuk dirinya sendiri terkadang pelit.
Ada cerita menarik. Dulu di sebuah kos ada seorang mahasiswa yang memiliki sepeda motor. Waktu itu barang ini barang yang masih langka. Jarang mahasiswa yang memilikinya. Si mahasiswa ini terlalu 'hemat' menggunakan sepeda motornya. Jika suasana hujan dia tidak mengeluarkan sepeda motor dari rumah karena takut kotor. Orang lain yang mau pinjam juga merasa segan. Ini tentu pola hidup hemat berlebihan, kata Ceh Arita 'hemat gere muperuluken' (hemat tidak jelas). Bahkan sudah mengarah pada pola hidup kikir.
Nah, kalau boros itu pola hidup berlebihan. Kebalikan dari kikir. Dia makan berlebihan. Kalau membelanjakan uang tidak memiliki perhitungan, dan membeli bukan sesuai kebutuhan, tapi keinginannya. Contoh, seseorang membeli peralatan rumah tangga, padahal peralatan yang ada sebenarnya sudah memadai. Tapi karena bentuknya menarik tetap dia beli.
Atau membeli baju lebaran, sebenarnya cukup satu dan harganya tidak perlu mahal. Bagi orang yang perilaku hidupnya boros bisa membeli dua sampai tiga pasang baju. Tidak dipakai, hanya dipajang di lemari dengan bungkusan plastik yang rapi. Baju itu selalu dia pandang dan dia merasa puas memilikinya.
Maka pada momen bulan tarbiyah Ruhiyah (pendidikan jiwa) ini, sejatinya kita belajar untuk hidup hemat. Kalau memang mempunyai kemudahan rejeki, sebagiannya lebih baik disimpan untuk antisipasi kemungkinan buruk yang tidak diinginkan di waktu mendatang.
Seperti saat sekarang ketika dunia, termasuk Indonesia yang ditimpa Pandemi. Tentu mereka yang memiliki persiapan secara ekonomis berupa simpanan, dapat menyokong kondisi yang sedang pelik ini. Sebaliknya, orang-orang yang biasa hidup boros akan merasa bingung karena uang yang seharusnya dapat disimpan menjadi tabungan, ludes habis dibelanjakan untuk membeli barang atau benda yang tidak dibutuhkan. Si kirir aneh lagi, bagi dia sama saja. Dunia krisis atau lagi normal, dianya tetap pelit.
Di ramadhan ini, volume makan kita berkurang. Dari yang biasanya makan tiga kali sehari, berkurang menjadi dua kali sehari, yakni sahur dan maghrib. Siang kita kosongkan perut menahan lapar. Itu artinya belanja harian yang seharusnya kita keluarkan untuk makan, katakan Rp 75.000,- berarti bisa terpotong Rp 25.000.- sehingga tinggal Rp. 50.000. Bagaimana dengan menu berbuka puasa? Bisa diambil Rp.15.000,- berarti masih tersisa Rp. 10.000,-. Adalah hal yang aneh apabila di bulan ramadhan justru pengeluaran kita membengkak. Ini artinya kita hidup boros.