"Terkadang kita ini bukan senang baca buku, tapi lebih banyak membaca orang", kata rekan saya. Bagaimana membaca orang? Membahas karakternya, terutama sifat-sifat buruk yang ada pada dirinya. Salutnya, durasi waktunya cukup lama, tapi kita tahan. Pembicaraan ihwal membaca sifat orang ini terkadang melompat dari satu fokus ke fokus yang lain. Tanpa terasa mungkin kita sudah dua atau tiga jam membincangkannya.
Coba saja ikuti berita di media sosial, media cetak, maupun media elektronik lainnya, sangat didominasi oleh aktivitas membaca orang. Hanya saja membaca itu dikategorikan sebagai sesuatu yang wajar dan bahkan professional karena dikemas dalam bentuk tulisan atau liputan berita. Karena sudah melalui media, informasi yang disampaikan sah, dapat dipercaya, sekaligus dapat dipertanggungjawabkan. Jadi tidak mengherankan kalau banyak acara atau program televisi didominasi oleh acara 'membaca orang', seperti gosip, silet, dan berita selebriti lainnya. Sama hal ketika ada beberapa televisi yang gencar berbicara politik. Berita selebriti akan jadi kegemaran kaum ibu, sedangkan berita politik menjadi kegemaran kaum bapak.
Akan lain kondisinya ketika kita membaca buku, satu atau dua menit di depan buku akan timbul rasa bosan dan kantuk. Padahal ketika membaca buku, seolah kita sedang mendengarkan penulisnya bertutur menyampaikan sesuatu. Namun karena tidak ada suara, kita mungkin merasa bosan. Apalagi Bahasa yang digunakan adalah Bahasa yang jarang kita temukan dan sulit dimengerti.
Saya sendiri sering mengalami, ketika berencana menamatkan satu buku, seringkali merasa bosan, apalagi Bahasa yang digunakan berbelit-belit. Dan yang anehnya, ketika membaca buku mengantuk, tapi begitu berhenti dan memulai aktivitas lain, rasa kantuk itupun berhenti. Kata teman saya, itu tandanya membaca kita itu masih membaca terpaksa.
Tapi bagaimana agar membaca itu tidak membuat kita bosan, agar kita bias betah lama di depan buku? Saya menemukan caranya dari Prof. Alyasa, seorang guru besar UIN Ar-Raniry. Ilmu ini tidak langsung beliau ajarkan kepada saya, tapi saya peroleh dari beberapa bukunya yang sempat kami pinjam semasa kuliah dengan beliau.
Nah, trik beliau salah satunya adalah membaca buku dengan membuat catatan pinggir. Entah itu kalimat yang tidak jelas, pendapat berlawanan, ketinggalan kata, salah ketik dan lain-lain. Jadi tanda bahwa buku itu telah dibaca oleh beliau ketika lembar demi lembar penuh dengan catatan. Beliau memang memiliki daya baca kuat yang patut ditiru.
Untuk beberapa buku saya coba mempraktikkan terik membaca beliau. Dan hasilnya ternyata luar biasa. Manakala membaca kita itu bukan lagi sekedar menerima informasi, tetapi sudah mampu menyimak ide yang ditawarkan di dalamnya, menelaah, menganalisa, atau bahkan mungkin mengkritisi pendapat penulisnya. Tentu cara membaca seperti ini sangat efektif untuk meningkatkan daya analisis seseorang ketika membedah permasalahan tertentu.
Membaca orang itu sebenarnya ada positifnya selama pembacaan kita objektif, profesional, dan proporsional. Jangan membaca orang itu dijadikan gosip dan terkadang berujung fitnah. Kalau mau pencerahan pemikiran dan pencerahan batin, kiranya kita perbanyak saja membaca buku, itu jauh lebih mencerdaskan. Boleh membaca orang, jadikan itu sebagai bahan perbandingan untuk kita. Yang buruknya tinggalkan, ambil sisi positifnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H