Mohon tunggu...
Johansyah M
Johansyah M Mohon Tunggu... Administrasi - Penjelajah

Aku Pelupa, Maka Aku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hierarki Menulis

27 Juni 2018   11:27 Diperbarui: 27 Juni 2018   11:51 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada tiga hierarki dalam menulis, yaitu menulis sebagai proses belajar, menulis sebagai proses pembiasaan, dan menulis sebagai sebuah kebutuhan.

Pertama, menulis sebagai proses belajar adalah menulis tingkat dasar. Dulu ketika di sekolah dasar kita mungkin pernah diajarkan guru mengarang, menceritakan hal-hal sederhana yang ada di sekitar kita. Biasanya cerita liburan hari minggu yang sering menjadi temanya. Kalau untuk tema lain, belumlah terpikir sama sekali. Untuk tahap belajar, mungkin untuk tema-tema seperti ini pun kita rasakan sulit.

Nah, mungkin menulis sebagai sebuah proses belajar yang agak serius ditekuni seseorang ketika melangkah ke bangku kuliah. Setiap mata kuliah diberi tugas oleh dosen dan mahasiswa wajib mengerjakannya. Belajar menulis yang lebih serius lagi ketika mahasiswa diwajibkan untuk menulis skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjananya.

Maka celaka dan rugilah mereka yang tidak serius dalam proses belajar menulis ini. Misalnya, tugas dicopy dari internet atau dibayar untuk dikerjakan orang lain, dan skripsinya juga dibuat oleh orang lain. Padahal inilah kesempatan emas untuk mengasah kemampuan menulis.  Kalau di proses kuliah orang malas menulis, apalagi sudah jadi sarjana, lebih tidak peduli lagi dengan menulis.

Kedua, menulis sebagai proses pembiasaan. Ini berada satu tingkat di atas menulis sebagai proses belajar. Pada tingkatan ini, walaupun menulis belum menjadi rutinitas, tapi seseorang memaksakan diri atau dipaksa untuk mampu menulis. Misalnya guru, karena adanya syarat naik golongan harus melakukan penelitian tindakan kelas, maka dia terpaksa menulis, dengan syarat dia yang mengerjakannya, bukan membayar orang lain.

Demikian halnya dosen, karena adanya tuntutan harus ada tulisan di jurnal terakreditasi maka dia terpaksa menulis artikal minimal satu per semerternya. Kalau tidak, pangkatnya tertahan. Untuk itu, dia terpaksa membiasakan diri untuk menulis.

Menulis kelihatannya sederhana. Tetapi tidak semudah yang dibayangkan. Kalau bukan sebuah kebiasaan, itu akan tetap sulit. Maka lihai dalam menulis itu bukan masalah usia kanak-kanak atau tuanya seseorang, tapi masalah dia terbiasa atau tidak. Apalagi secara umum kita ini dibesarkan dalam tradisi lisan, bukan tulisan.

Ketiga, menulis sebagai sebuah kebutuhan. Ini adalah maqam tertinggi dalam menulis. Orang pada tingkatan ini tidak ubahnya seperti pecandu rokok, kalau belum menulis kepalanya pusing. Ini tandanya dia sudah menjadikan aktivitas menulis sebagai sebuah kebutuhan. Beda dengan orang yang tidak biasa menulis, kalau menulis maka dia akan pusing.  

Orang yang menjadikan menulis sebagai sebuah kebutuhan tidak akan pernah mempertanyakan untuk apa menulis, atau apa manfaatnya menulis? Dia hanya merasakan kepuasan batin ketika berhasil menuangkan ide dalam bentuk tulisan. 

Dia juga tidak berpikir ketika dia mengirim tulisan ke sebuah media, apakah tulisannya dimuat atau tidak, dibayar atau tidak? Sama sekali tidak berpengaruh terhadap semangatnya untuk terus menulis.

Tentu saja, untuk sampai pada maqam ini, kita harus lewati dua tangga sebelumnya, yaitu menulis sebagai proses belajar dan menulis sebagai proses pembiasaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun