Mohon tunggu...
Yohanes Arkiang
Yohanes Arkiang Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Pembungkus Embun

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Selayang Pandang Pendidikan Indonesia Era Digital

11 November 2020   07:22 Diperbarui: 11 November 2020   07:30 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kualitas Pendidikan di Indonesia sangat mengenaskan. Kita boleh berbangga dengan sebongkah kekayaan Sumber Daya  Alam yang tertanam dari Sabang sampai Merauke. Boleh congkak dengan kekayaan budaya. Namun PISA  (Programme for International Student Asessment) menempatkan Indonesia di barisan paling belakang sebagai negara dengan kualitas, membaca, sains, dan matematika yang sangat rendah.

Dalam laporan PISA tahun 2019, skor membaca anak Indonesia berada di urutan 72 dari 77 negara, kemudian, skor matematika juga berada di posisi 72, dan untuk sains, Indonesia puas dengan skor 70. Pada tahun sebelumnya, skor membaca berada di posisi 65, sains menempati posisi  66, dan matematika berada di urutan 64 (liputan6.com). 

Maka, sangat tidak berlebihan penulis menuduh pemerintah atau pihak terkait sebagai "pelaku" atas masalah ini.

Professor Lant Pritchett dari Universitas Harvard mengukapkan anak-anak usia 15 tahun di Jakarta ketinggalan 128 tahun dari negara-negara lain yang lebih maju. 

Fakta ini turut mencoreng nama baik bangsa Indonesia di panggung Internasional. Bila professor Lant mengambil sampel penelitian bukan dari Jakarta, maka mungkin saja dunia menyimpulkan bahwa Indonesia ketinggal ribuan tahun dalam urusan pendidikan.  

Tanpa perlu menengok fakta berbasis data penelitian pun, kita bisa menyaksikan dan merasakan langsung apa yang sesungguhnya terjadi pada dunia Pendidikan kita melalui pengalaman.

 Banyak sekolah di daerah terluar luput dari perhatian pemerintah.  Anak usia sekolah banyak terlantar di kota-kota besar maupun di daerah terluar dan terdalam. Kualitas guru yang rendah juga menambah panjang derita dalam dunia Pendidikan Indonesia. 

Situasi ini sangat bertentangan dengan perintah Undang-Undang Dasar RI 1945. Satu-satunya alasan yang rasional atas semua persoalan ini adalah kondisi ekonomi yang tidak stabil.

Namun, factor ekonomi bukan penyebab tunggal. Tentu ada rantai yang melilit erat persoalan ini. Konflik politik, kasus korupsi, disparitas sosial, bencana alam, sistem birokrasi yang buruk, dan sederet kasus serupa menyebabkan ketidakstabilan kondisi ekonomi yang berujung  pada buruknya kualitas Pendidikan. 

Kita bisa melihat factor yang satu menyebabkan factor yang lainnya. Artinya persoalan pendidikan dapat menyebabkan persoalan ekonomi dan sebaliknya. Tulisan ini ingin mengantar pembaca pada ruang refleksi. Uraian ini hendak menawarkan sebuah sikap refleksitas kepada pembaca. Penulis tidak mengajukan solusi final atas seluruh persoalan Pendidikan kita.

Perhatian Khusus terhadap Pendidikan  anak Usia Dini dan Sekolah Dasar

Teori belajar behaviorisme memandang bahwa  lingkungan dapat mempengaruhi proses belajar manusia. Proses stimulus dan respon  yang mekanis menyebabkan perubahan tingkah laku pada seseorang. Sehingga lingkungan yang baik serta terencana dapat memberi pengaruh yang baik terhadap pembelajar (Sofia Hartateti, 2005:23). 

Dengan mengacu pada teori tersebut, kedudukan pendidikan pada anak sangat penting bagi perkembangan anak selanjutnya. Penelitian yang dilakukan PISA dan Professor Lant menyasar anak usia 15 tahun. Itu artinya perkembangan anak pada usia selanjutnya sangat ditentukan oleh performanya pada usia 15 tahun. 

Anak yang tidak berkembang melalui proses yang baik (stimulus dan respon) akan menyebabkan masalah belajar pada anak. Hal ini bila dibiarkan akan berdampak serius dan dalam jumlah yang lebih besar lagi.
Lingkungan yang baik mengandaikan terjaminya fasilitas belajar. Situasi belajar yang ramah juga ikut membantu   anak untuk berkembang . 

Menurut hemat penulis, Pendidikan Anak Usia Dini dan Sekolah Dasar menjadi pondasi bagi perkembangan kognitif pada seseorang. Seseorang yang gagal dalam proses belajar pada Usia Dini dan Usia Sekolah Dasar dapat saja menyebabkan persoalan yang berkelanjutan. 

Maka pendidikan terhadap anak harus menjadi prioritas orang tua maupun pemerintah. Fasilitas yang mendukung anak dalam proses belajarnya adalah lingkungan sekolah yang ramah anak, sikap orang tua yang selalu medukung, dan konten pembelajaran anak yang membangkitkan semangat belajar. Dengan keterjaminan itu, maka proses yang akan dilalui anak akan baik dan terkontrol.

UU no. 23/2002 pasal 9 (1) menegaskan bahwa mendapatkan pendidikan adalah hak setiap anak bangsa. Namun, dilansir dari lokadata.id jumlah anak putus sekolah sepanjang 2016-2019 berjumlah 660.306 anak. Sementara pada tiga periode tersebut, pemenritah selalu menaikkan anggaran tiap tahunnya. 

Dengan mendudukan pendidikan anak usia dini dan sekolah dasar sebagai pondasi perkembangan anak, maka fakta tersebut sungguh mengancam masa depan bangsa. 

Sementara itu jumlah Lembaga PAUD di Indoensia sudah mencapai 232.833 lembaga (Kemendikbut.go.id) dan jumlah SD mencapai 148.244 (katadata.co.id). Angka-angka itu terlihat sedikit dan tidak berarti jika melihat realita pendidikan anak saat ini.

 Anggaran 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) seolah tidak cukup untuk mensejahterahkan pendidikan di Indoensia.

 Pemerintah Indonesia masih memiliki PR yang besar untuk pendidikan anak. Anak yang masih rentan terhadap masalah belajar wajib diberi ruang dan fasilitas untuk berkembang bagaimana pun caranya. Prioritas pendidikan harusnya dialihkan ke Pendidikan Anak Usia Dini dan Sekolah Dasar. Anak yang tidak terfasilitasi cenderung memiliki masalah belajar kompleks yang berujung putus sekolah. 

Perhatian pemerintah juga semestinya tertuju kepada orang tua anak tersebut. Program bantuan ekonomi, menurut penulis, tidak cukup untuk membawa anaknya ke dalam proses belajar yang baik. Pemerintah mesti memberikan program pendidikan terhadap orang tua anak. 

Program ini menyasar pada orang tua yang memiliki beban ekonomi dan pendidikan yang besar. Mereka diberi bekal untuk mendidik anaknya sendiri. Mendidik berarti bukan mengajari anaknya mata pelajaran tetapi memberi arahan dan motivasi kepada anaknya serta membentuk situasi keluarga yang nyaman.

Digitalisasi Literasi

Secara matematis, kita tidak mungkin mengejar ketertinggalan selama 128 tahun. Itu hanyalah angka semu hasil konversi perbandingan. Dengan hadirnya teknologi informasi memudahkan pembelajaran berbasis daring (dalam jaringan). Model pembelajaran ini hanya teruntuk masyarakat terjangkau jaringan dan fasilitas pendukungnya.

Indonesia sangat menyambut baik pembelajaran model ini. Karena  jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2020 melonjak mencapai 175,4 juta, naik 17 persen dari tahun 2019. Dengan demikian sebanyak 64 persen  setengah penduduk Indonesia adalah pengguna internet (detik.com).

Dengan potensi masyarakat melek teknologi informasi sebanyak itu, maka seharusnya literasi berbasis daring yang diwadahi oleh platform media sosial menjadi sangat mudah dan terjangkau. Pandemic covid-19 menjadi momentum untuk melakukan pembelajaran daring. 

Meskipun diirngi bencana, pembelajaran daring ini menjadi awal babak baru pendidikan Indonesia. Untuk daerah yang tidak terjangkau jaringan internet tetap akan melaksanakan pembelajaran luring (luar jaringan). 

Hal ini dapat mempermudah pemerintah dalam memerhatikan sekolah-sekolah yang berada di daerah terluar.

Digitalisasi literasi bukan sekadar memindahkan pembelajaran ke dalam bentuk daring. Pemerintah perlu membenahi dan memberlakukan regulasi penggunaan internet agar ramah terhadap pembelajaran anak. 

Sehingga budaya literasi pada anak dapat tumbuh melalui internet. Saat ini memang sangat sulit untuk membenahi seluruh sistem internet. Media sosial sebagai produk utama era digital rentan menghasilkan banyak masalah; hoaks, pornografi, kecanduan game, dan lainnya. Maka untuk saat ini pembelajaran daring masih sulit diterapkan karena banyak factor penghambat yang justru hadir bersamaan. 

Bentuk-bentuk digitalisasi literasi yang berkembang di masyarakat digital masih berupa kampanye namun juga tendensius. Sekolah berbasis daring masih berpihak kepada orang kaya. 

Keluarga yang tidak memiliki uang yang cukup banyak akan kesusahan mendapatkan fasilitas lebih.

Namun, digitalisasi literasi ialah semangat literasi yang berorientasi pada media daring. Media sosial yang tiap detik dibanjiri informasi dapat dikonsumsi oleh seluruh masyarakat. Sehingga kita dapat mengakses apa saja yang kita inginkan. 

Saat ini kita tidak kesusahan dalam mengakses buku, jurnal, dan majalah. Cukup pergi ke beranda browser  lalu ketik apa yang kita inginkan, dalam hitungan detik  browser kita akan menampilkan hasil pencarian kita. Kita hanya membutuhkan niat yang cukup baik, lalu mencari tahu serta membagi ke teman-teman yang lainnya. 

Penggunaan internet memang tidak memiliki panduan etis. Semua orang, mulai dari orang gila sampai kaum akademis dapat mengakses dan menulis sesuati di sana. Sehingga diharapkan kita dapat dengan bijak menggunakan perangkat internet tersebut.

Penggunaan internet yang baik dapat menumbuhkan budaya literasi digital yang bermanfaat pula. Kita sebagai masyarakat yang sadar akan literasi sebaiknya menggunakan media sosial sebagai wadah untuk membangun budaya literasi. Era digital memang sangat menuntut kreativitas dan inovasi dari pengguna internet.

Jadi, kita dapat berkreasi dengan banyak metode sehingga dapat bermanfaat bagi pembelajar. Kesadaran akan pentingnya membangun budaya literasi sangat penting. Kita dapat mengajak teman-teman untuk bergerak serta membangun komunitas literasi berbasis digital.

Titik Refleksi

Setidaknya penulis hanya menyorot dan mengulas secara umum dua isu yang patut menjadi perhatian utama saat ini. Isu tentang pentinya pendidikan pada anak ialah kunci utama dalam perkembangan anak selanjutnya. Sementara, isu digitalisasi literasi merupakan factor utama penggerak anak dalam proses belajar sesuai tuntutan zaman. 

Tentu digitalisasi literasi dilaksanakan serupa dengan sistem zonasi, yakni memetakan daerah menjadi dua; terjangkau jaringan dan tidak terjangaku. Idealnya pendidikan akan berkembang jika pelaksanaanya selalu beradaptasi dengan lingkungan  dan waktu. Maka, pemerintah diharapkan mampu melacak dan memetakan persoalan pendidikan dengan cermat.

Penulis menyadari bahwa situasi pendidikan kita tidak mudah dibenahi lalu menjadi baik. Banyak factor dengan tingkat kompleksitas yang bervariasi menyebabkan sulitnya membangun pendidikan yang ideal dan terpadu. Dua isu utama yang penulis tawarkan merupakan salah satu sudut pandang dalam menatap persoalan pendidikan kita. 

Selanjutnya, sesuai tuduhan awal, penulis menuntut pemerintah agar segera membuka mata serta hati untuk mulai serius dalam urusan pendidikan. Dengan begitu pemerintah yang bekerja secara kolektif diharapkan menerapkan prinsip-prinsip dan nilai Pancasila dengan seadilnya dalam dunia pendidikn. Pembangunan Sumber Daya Manusia akan lebih bermanfaat untuk masa depan bangsa. 

Apalah guna kekayaan alam bangsa Indoensia tanpa ada Sumber Daya Manusia yang memadai.
Era digital mengantar kita pada ruang bebas. Di sana tidak ada batas ekpresi, tidak ada batas waktu, tidak ada batas komunikasi. Literasi sebagai budaya dalam dunia pendidikan, dituntut untuk hadir dalam era digital. Membangun budaya literasi tidak cukup dengan sekadar membaca dan menulis. 

Namun tindakan nyata yang konkret sangat diperlukan. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang besar, pemerintah dan masyarakat bekerkerja sama dama upaya membangun bangsa dengan pendidikan yang ungguh dan berprestasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun