Pada hari minggu (23/09/18), bertepatan dengan Hari Bahasa Isyarat Internasional, saya mengikuti pawai kampanye bahasa isyarat di jalan Malioboro, Yogyakarta. Peserta pawai berjumlah dari 230 orang, rata-rata semua peserta adalalah orang tuli dan beberapa panitia sebagai penerjemah bahasa isyarat. Kampanye yang disampaikan dengan bahasa isyarat ini, cukup menyita perhatian para pengunjung Malioboro yang biasaya pada hari libur memenuhi kawasan ini.Â
Saya sendiri baru pertama kali mengenal dekat bagaimana orang tuli bisa dengan lancar berkomunikasi-selayaknya koumikasi orang dengar- dengan bahasa isyarat terhadap sesama orang tuli maupun terhadap orang dengar. Tema dari memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional kali ini adalah "Dengan Bahasa Isyarat, Semua Orang Terlibat".
Dalam kampanye ini begitu banyak aspirasi orang tuli yang disampaikan. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah penggunaan sebutan "tuli" yang seharusnya dianggap sopan untuk menyebut mereka yang tidak dapat mendengar.
Kata tuli bagi kita memang terdengar kasar bila tujuannya untuk menyebut mereka yang tidak dapat mendengar. Maka kita menyebut orang yang tidak dapat mendengar dengan sebutan tunarungu. Ini merupakan cara halus dan dianggap lebih santun untuk menyebut mereka yang disandang disabilitas tuli. Namun sebutan "tuli" terhadap orang yang tidak dapat mendengar tidaklah kasar. Menurut mereka kata tuli adalah kata yang tepat.Â
Selama ini kita masih temukan stigma negatif terhadap orang tuli. Bahwa orang tuli adalah bukan orang normal. Sehingga masyarakat tidak sadar bahwa bahasa isyarat sebetulnya bahasa yang wajib diketahui oleh semua orang layaknya kita harus mengetahui bahasa Inggris.
Pada akhir kampanye saya mewawancarai ketua panitia pelaksana kampanye tersebut, Bapak Wahyu Triwibowo. Beliau juga seorang tuli dan kebetulan saya dibantu oleh salah seorang penerjemah. Pak Wahyu menyampaikan bahwa harus ada kesamaan antara bahasa isyarat dan bahasa lisan. Lanjutnya juga, bahasa isyarat harus disebarluaskan, sehingga semua masyarakat tahu dan bisa berinteraksi dengan orang tuli dan diskriminasi terhadap orang tuli menghilang.
Dari tema yang diangkat pada Hari Bahasa Isyarat Internasional kali ini, orang tuli sesungguhnya ingin semua masyarakat lebih mengenal bahasa isyarat sebagai bahasa normal. Bahwa bahasa isyarat mempunyai kedudukan yang sama pada kehidupan kita karena pengguna bahasa isyarat-terlebih orang tuli-juga punya kesempatan  dan hak untuk bebas berinteraksi.
Dengan begitu, mari kita mulai menghargai mereka yang tidak sama seperti kita namun punya mimpi yang sama dan hidup dalam lingkup sosial yang sama. Diskriminasi terhadap orang tuli dapat melunturkan warna demokrasi dan moral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H