Kita belum bisa memahami dan membedakan antara profesional, amatir dan pembinaan
(Pengamat sepak bola Bung AR)
Regenerasi di dalam sepak bola merupakan hal yang tak bisa ditawar lagi bagi sebuah negara. Sejarah dan data sudah membuktikan hal itu. Negara yang dikenal dengan bibit-bibit pemain berbakatnya, mulai dari Argentina, Jerman Barat, Prancis, Inggris, Ghana atau Jepang sudah membuktikan hal itu.
Keberhasilan Timnas Indonesia tampil mengejutkan di Grup C Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia tak hanya mengundang decak kagum, tapi juga makin menyadarkan semua pihak akan pentingnya regenerasi.
Dalam jangka panjang, kita tak bisa terus bersandar pada sosok para pemain seperti Maarten Paes, Jay Idzes, Calvin Verdonk atau Thom Haye yang merupakan pemain naturalisasi. Begitu juga pada Rizky Ridho, Marselino Ferdinan atau Pratama Arhan.
Bukan perkara mudah menciptakan pesebak bola-pesepak bola handal. Rata-rata pemain sepak bola level top dunia bermain sepak bola sejak usia yang sangat dini. Oleh karenanya, organisasi sistem pembinaan usia muda/dini sebenarnya adalah hal yang sangat krusial.
Pembinaan pemain sejak usia dini ini menjadi kunci bagi klub-klub sepak bola dan tentunya tim nasional. Mereka diasah melalui Sekolah Sepak Bola (SSB) yang di Indonesia sudah menjamur di seluruh daerah.
SSB sendiri didirikan untuk melahirkan pesepak bola handal, terlatih dan profesional sesuai dengan aturan permainan sepak bola nasional maupun internasional.
Selain itu juga untuk melatih fisik anak secara dini seperti kecepatan, kekuatan, ketahanan, dan ketangkasan dalam menggiring bola dan memasukkannya ke gawang untuk mencetak gol.
SSB adalah tempat yang cocok bagi anak usia dini maupun remaja untuk berproses layaknya bayi merangkak, berdiri, dan berjalan. Anak-anak akan mulai belajar dari pengetahuan umum tentang sepak bola, teknik dasar, aturan dasar, hingga mereka menjadi ahli di bidang olahraga sepak bola.
Mereka juga yang menjadi wakil Asosiasi Provinsi (Asprov) untuk berlaga di Piala Soeratin, ajang yang menjadi salah satu turnamen resmi di bawah PSSI untuk pembinaan usia muda.Â
Dimulai berjenjang dari putaran daerah di tiap provinsi, masing-masing juara provinsi akan lanjut mengikuti putaran nasional.Â
Berapa sebenarnya SSB di Indonesia, cukup sulit juga mengetahuinya. Namun, dari kompetisi usia muda Liga Anak Indonesia, tercatat terdapat 600 SSB. Mereka itu sudah bersaing di 24 regional pada 1-30 November 2024.
Ajang yang diprakarsai Bola Indonesia Mandiri bekerja sama dengan LPDUK INASPRO Kemenpora ini mempertandingkan tiga kategori usia, yakni U10, U11, dan U12. Total akan ada sekitar 16.000 pemain usia muda yang bersaing di kompetisi ini.
Meski tumbuh pesat dan mempunyai peran krusial dalam penempaan pemain usia dini, namun eksistensi SSB kurang diperhatikan.Padahal statistik menunjukkan bahwa bakal pemain-pemain hebat telah bergabung dan bermain dengan sebuah klub sejak umur 5-8 tahun?
Mayoritas SSB masih dikelola pihak swasta, bukan PSSI. Bahkan disinyalir ada klub profesional punya kecenderungan mencomot pemain-pemain dari SSB.
Semakin maju sepak bola suatu negara, semakin maju pula cara pandang mereka mengenai regenerasi. Negara-negara dengan tradisi kuat di sepak bola seperti Brasil, Argentina, Belanda, Perancis, Jerman, Spanyol, Inggris, dan Italia tidak pernah kehabisan sumber daya pemain karena adanya regenerasi yang berjalan dengan baik.
Mereka sudah memiliki sistem pembinaan dan penjaringan pemain, sehingga tidak mengherankan jika tidak pernah kehabisan talenta sepak bola.
Belanda misalnya, yang oleh netizen disebut "kantor pusat", dengan adanya pemain-pemain naturalisasi dari negara kincir angin itu, dengan populasi 17 juta tidak pernah kehabisan talenta sepak bola. Lalu Italia dan Jerman tidak pernah kehabisan penjaga gawang yang superior.
Perkara Denda
Di Indonesia, Piala Soeratin menjadi turnamen yang dinantikan sebagai wadah untuk memberikan jam terbang kepada para talenta muda, sekaligus menjaring para pemain masa depan. Wadah regenerasi yang dibuat oleh Ir Soeratin Sosrosoegondo, pendiri dan Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di era 1960-an. Turnamen itu dimulai pada 1965, yang saat itu untuk anak-anak dan remaja berusia di bawah 18 tahun
Piala Soeratin 2024 terbagi dalam tiga kelompok usia, yakni U-13, U-15 dan U-17.
Proses drawing Piala Soeratin telah dilaksanakan Senin, 2 Desember 2024 lalu di kantor PSSI, GBK Arena Jakarta. Pada tahun 2024 ini, PSSI membuat dua kelompok untuk Piala Soeratin yakni U-15 dan U-17.
Untuk putaran nasional Piala Soeratin U-15 dan U-17 2024 akan dihelat pada tanggal 7-20 Desember 2024 di Yogyakarta dan Surakarta. Sementara itu, putaran nasional Piala Soeratin U-13 akan digelar pada tahun 2025.
Menurut Wakil Ketua Umum PSSI, Zainudin Amali saat membuka secara simbolis Gelaran Piala Soeratin U-17 putaran nasional di Surabaya, 20 Januari 2024, Piala Soeratin ini masuk dalam cetak biru pembinaan pemain muda yang sudah dipresentasikan Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, kepada FIFA.
"Ini agenda resmi PSSI yang wajib dijalankan tiap tahunnya,'' ucap Amali di Lapangan THOR Surabaya.
Meski begitu, PSSI hendaknya melihat aspek lain dari pembinaan usia dini dan usia muda ini, yakni beban pada SSB terkait nilai denda yang terbilang tidak kecil.
Di dalam Regulasi Piala Soeratin bagi tiga kelompok usia (U13, U-15 dan U-17) mengenai Kartu Kuning dan Kartu Merah disebutkan denda yang dikenakan bagi pelanggaran di lapangan. Nilai denda itu sama untuk ketiga kelompok usia tersebut.
Disebutkan, untuk kartu kuning, pemain yang mendapatkan akumulasi kartu kuning dan kelipatannya (4,6,8 kartu) didenda Rp 500.000. Bagi yang mendapatkan kartu merah (tidak langsung) kena denda Rp 1 juta.
Nilai denda itu makin meningkat bagi pemain yang mendapatkan kartu merah langsung, nilainya sebesar Rp 1,5 juta. Nilai serupa juga dikenakan bagi ofisial tim yang mendapat kartu kuning.
Sedangkan bagi pemain yang mendapat satu kartu kuning, kemudian pada pertandingan yang sama mendapat kartu merah, maka kartu kuning sebelumnya yang diberikan tetap berlak, dikenakan denda Rp 2 juta.
Besarnya denda itu mendapat sorotan dari SSB di beberapa daerah. Hal itu karena Asprov setempat mengadopsi mentah-mentah regulasi tersebut, tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial SSB yang bertarung untuk mewakili daerahnya.
Namun, tidak semua daerah menelan mentah-mentah nilai denda itu. Di Jawa Barat misalnya, dalam regulasi yang dibuat oleh Asprov PSSI Jawa Barat nilai denda itu dibuat jauh lebih ringan.
"Aprov bisa menentukan nilai denda akibat kartu kuning dan kartu merah. Di Asprov PSSI Jawa Barat denda ditentukan secara rasional, hal ini diharapkan tidak memberatkan tim yang berlaga di Piala Soeratin," ujar Ketua Asprov PSSI Jawa Barat, Tommy Apriantono.
Membedakan
Dalam pandangan Bung AR, seorang pengamat sepak bola, kita belum bisa memahami dan bedakan antara profesional, amatir dan pembinaan
"Karena tidak bisa membedakan, makanya bikin aturan yang tidak pada tempatnya. Denda itu tepatnya ke profesional. Jika pada sepak bola amatir, lebih tepat ke larangan bermain. Kalau pembinaan, lebih tepatnya pembinanya juga dihukum," ujar Bung AR.
Bisa saja pelatihnya dilarang mendampingi tim dalam untuk satu laga jika terjadi pelanggaran yang parah. Bagaimanapun, jika ada pemain uda bermain kasar itu tak lepas dari cara pelatih yang salah.
"Jika maksud regulasi Piala Soeratin ini untuk efek jera, tidak akan efektif, tidak memiliki efek jera. Hal ini karena yang terkena atau menanggung dendanya adalah klub atau tim. Pemain tidak tahu apa-apa," tegas Bung AR yang rutin ke daerah-daerah melihat perkembangan SSB.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Gede Widiade, owner Pancoran Soccer Field (PSF) Football Academy.
"Kalau didenda, SSB atau akademi-nya yang mules, sementara pemain dan ofisialnya tenang saja. Mereka bisa pindah dari tim itu kapan saja, tapi klub yang kelimpungan menanggung dendanya," kata Gede.
Gede Widiade yang pernah memiliki dan memimpin beberapa klub, baik di Liga 1 dan Liga 2 berharap masalah denda di Piala Soeratin bisa ditinjau lagi oleh PSSI.
Peran dan tanggungjawab Asprov terhadap hal itu semesti lebih mengemuka. SSB atau akademi sudah mewakili daerah (provinsi), mereka juga harus "dibela" termasuk soal besarnya denda yang jelas memberatkan itu.
Para orangtua pemain pun harus lebih mendapatkan edukasi bahwa pelanggaran di lapangan memang harus mendapatkan hukuman. Jangan malah membuat suasana memanas, misalnya seperti mendukung keributan dan berteriak akan membayar denda.
Baik Bung AR maupun Gede Widiade mengingatkan, jangan sampai nanti ada persepsi dari masyarakat bahwa turnamen mencari talenta-talent muda jadi ajang mengumpulkan uang dari denda.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H