Sedangkan bagi pemain yang mendapat satu kartu kuning, kemudian pada pertandingan yang sama mendapat kartu merah, maka kartu kuning sebelumnya yang diberikan tetap berlak, dikenakan denda Rp 2 juta.
Besarnya denda itu mendapat sorotan dari SSB di beberapa daerah. Hal itu karena Asprov setempat mengadopsi mentah-mentah regulasi tersebut, tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial SSB yang bertarung untuk mewakili daerahnya.
Namun, tidak semua daerah menelan mentah-mentah nilai denda itu. Di Jawa Barat misalnya, dalam regulasi yang dibuat oleh Asprov PSSI Jawa Barat nilai denda itu dibuat jauh lebih ringan.
"Aprov bisa menentukan nilai denda akibat kartu kuning dan kartu merah. Di Asprov PSSI Jawa Barat denda ditentukan secara rasional, hal ini diharapkan tidak memberatkan tim yang berlaga di Piala Soeratin," ujar Ketua Asprov PSSI Jawa Barat, Tommy Apriantono.
Membedakan
Dalam pandangan Bung AR, seorang pengamat sepak bola, kita belum bisa memahami dan bedakan antara profesional, amatir dan pembinaan
"Karena tidak bisa membedakan, makanya bikin aturan yang tidak pada tempatnya. Denda itu tepatnya ke profesional. Jika pada sepak bola amatir, lebih tepat ke larangan bermain. Kalau pembinaan, lebih tepatnya pembinanya juga dihukum," ujar Bung AR.
Bisa saja pelatihnya dilarang mendampingi tim dalam untuk satu laga jika terjadi pelanggaran yang parah. Bagaimanapun, jika ada pemain uda bermain kasar itu tak lepas dari cara pelatih yang salah.
"Jika maksud regulasi Piala Soeratin ini untuk efek jera, tidak akan efektif, tidak memiliki efek jera. Hal ini karena yang terkena atau menanggung dendanya adalah klub atau tim. Pemain tidak tahu apa-apa," tegas Bung AR yang rutin ke daerah-daerah melihat perkembangan SSB.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Gede Widiade, owner Pancoran Soccer Field (PSF) Football Academy.