Tinggal PSS Sleman yang bertahan, bahkan di musim 2019 mereka berada di posisi 10 besar, tepatnya di klasemen 8 dengan pelatih Seto Nurdiyantoro yang kakak ipar Dewanto Rahadmoyo Nugroho.
PSS Sleman yang bernaung di bawah PT Putra Sleman Sembada, dengan pergantian kepemilikan di akhir kompetisi 2019 saat tulisan ini dibuat berada di posisi 12 klasemen sementara Liga 1 2023/2024.
Lalu Apa
Kini, setelah Satgas Anti Mafia Bola mengungkapkan keberhasilannya mencokok 8 tersangka itu, apa yang harus dilakukan?.
Untuk menambah kepercayaan publik, Satgas Anti Mafia Bola Polri dan PSSI (yang sudah membentuk Satgas Anti Mafia Independen) segera memproses para tersangka ke meja hijau. Di situ bisa berharap muncul pengakuan lebih mendalam dan terinci bagaimana match fixing itu dilakukan.
Persidangan itu juga bisa membuka hal-hal baru, misalnya keterlibatan manajemen perusahaan. Karena seorang asisten manajer seperti Dewanto tentu tak akan berinisiatif melakukan match fixing sendirian tanpa sepengetahuan direksi PT PSS yang menaungi klub tersebut.
Selain itu, bisa ditelusuri juga keterlibatan oknum di PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator kompetisi. Apakah VW hanya menghubungi wasit secara langsung, tanpa melibatkan pengurus PSSI dan PT LIB.
Terakhir, yang dinanti adalah ketegasan sikap PSSI terhadap klub yang melakukan match fixing. Jika itu memang benar PSS Sleman, beranikah PSSI menghukumnya dengan degradasi, seperti diatur dalam pasal 72 ayat 5 Kode Disiplin PSSI 2023.
(Sanksi atau hukuman bagi klub yang melakukan pengaturan hasil pertandingan akan ditulis dalam artikel berikutnya -- Penulis).
Perkara sudah terang benderang, dengan petunjuk yang jelas tentang klub yang terlibat. Tinggal dinanti sejauh mana hal ini jadi efek jera bagi individu dan klub lainnya.
Kita tak berharap gebrakan ini tidak berhenti di sini saja, pada kasus laga di musim kompetisi 2018 itu. Bagaimana dengan laga-laga di Liga 1, dengan kinerja wasit yang memprihatinkan dan menyiratkan keberpihakan di musim 2023/2024 ini?. ***