Irwan Abu Bakar terbilang sosok multidimensi. Ia seorang sastrawan, dan seorang profesor di Departemen Rekayasa Biomedia, Fakultas teknik, University Malaya, Kuala Lumpur. Disiplin ilmunya adalah Biomekanik dan Mekanik Jaringan lulusan (Mechanical Engineering) dari Technical College, Kuala Lumpur (kini Universiti Teknologi Malaysia UTM).
Gelar lainnya, Bachelor of Secnience (Mechanical Engineering) dan PhD (Bio-Engineering diraihnya dari University of Stratclyed, Glasgow, Skotlandia.
Namun di kalangan dunia sastra ia dikenal sebagai penyair , novelis dan cerpenis. Dari tangannya telah lahir ratusan, mungkin lebih dari seribu puisi. Tak hanya tersebar di berbagai media massa, majalah tapi juga sudah dibukukukan. Salah satu kumpulan puisinya terhimpun dalam "Peneroka Malam", yang uniknya sebanyak 25 puisi di buku terbitan E Sastra Management Enterprise (EsMe) itu diulas oleh para penyair Indonesia.
Novel anti plot "Meja 17" menjadi karya Prof. Irwan, begitu sapaan akrabnya, yang cukup menyita perhatian. Tak hanya diterbitkan di Indonesia (pada 2014 oleh EsMe), tapi juga dijadikan topik utama "Seminar Internasional Sastra Indonesia-Malaysia"pada 11 November 2014 Â di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sastrawan ternama Malaysia, Lim Swe Tien menjadi salah satu penyaji makalah di seminar itu.
Meski sudah berusia 7 tahun terbitnya, namun tetap menarik untuk disimak kembali. Tak hanya pada isi cerita yang menarik, tapi hingga kini selama 7 tahun belum ada satu pun penulis Malaysia yang mau atau berani menerbitkan karyanya di Indonesia. Rintisan Prof. Irwan itu semestinya mendapat kelanjutan dari penulis lainnya, apalagi banyak penulis muda di negeri jiran itu yang perlu dikenal dan diperkenalkan di Indonesia.
Ada 18 cerita, dengan bab ke-18 sebagai tambahan sebuah cerita lagi (bab 17+1) untuk versi bahasa Indonesia.Â
Sebuah Meja
Di restoran tersaji hidangan yang beragam, dengan teh tarik dan  roti canai yang sering dimunculkan dalam berbagai peristiwa novel ini. Kemudian, teh panas, milo panas, roti kosong, air mineral, dan Kopi Jantan. Sementarq makanan yang ada adalah mi udang, anggur, roti telur, ayam panggang, dan satai.
Meja itu seakan-akan 'keramat', karena si tokoh yang berganti-ganti  akan berhadapan dengan pengalaman-pengalaman misterius. Secara perlahan, dan cantik, Prof. Irwan menggiring pembaca untuk masuk ke sebuah tempat, seperti menyusuri sebuah terowongan yang sulit ditebak kemana arahnya. Tak heran jika disebut sebagai meja yang dihindari oleh pelanggan. Konon ia berhantu, berpenunggu.
"Meja 17" menunjukkan bagaimana Prof.Irwan memang seorang penulis yang benar-benar matang dalam berpikir dan mengolah kata-kata. Ia juga tak meninggalkan budaya Melayu yang ada pada dirinya, yang diusung dengan jelas dalam semua cerpennya. Bertahun ia hidup di Skotlandia, dan juga sudah berkunjung ke berbagai negara di luar Asia, Prof. Irwan tetap seorang Melayu yang tak melupakan akar budayanya.