Menutup tahun 2018 ini PSSI harus menerima kenyataan suram, kemerosotan citranya. Padahal perbaikan citra merupakan salah satu misi Edy Rahmayadi ketika berkampanye sebagai Ketua Umum PSSI. Berbagai upaya yang sudah dilakukan setelah kongres 10 November 2016 seperti sia-sia.
Ironisnya, selain pupusnya harapan masyarakat akan prestasi timnas (kecuali timnas U-16 yang jadi juara AFF 2018 dan lolosnya Timnas Putri ke putaran pertama Pra- Olimpiade 2020), kemerosotan citra PSSI itu justeru dari andil Ketua Umumnya sendiri. Edy Rahmayadi dengan beberapa ucapan kontroversialnya justeru menjadi beban organisasi tersendiri bagi PSSI.
Tak tampak keberhasilan kepengurusannya di tahun 2018 ini. Jika pada diri sendiri, ia memang mencetak prestasi dengan memenangi Pilkada, terpilih sebagai Gubernur Sumatra Utara. Jabatan yang diperjuangkan habis-habisan, sampai rela pensiun dini dari militer. Berbalik dengan masih rangkap jabatan yakni sebagai Pangkostrad ketika terpilih sebagai nakhoda PSSI.
Namanya didengungkan di media sosial, bahkan oleh supporter di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Sayangnya bernada negatif yakni "Edy Out...Edy Out,"
Belum juga reda seruan itu, muncul isyu pengaturan skor di Liga 2 dan 3, serta sorotan kepemimpinan wasit di semua strata kompetisi.
Meski ada beberapa anggota Komite Eksekutif (Exco) yang memiliki jabatan rangkap di klub atau Asosiasi Provinsi, namun Edy Rahmayadi yang paling menjadi sorotan. Ia tak hanya Ketua Umum PSSI tapi juga pemilik (sering disebut Pembina) PSMS Medan dan Gubernur Sumatra Utara.
Sehingga muncul meme sindiran yang membuat tersenyum, meski pahit : "Gubernur Sumut menegur Pembina PSMS, kemudian Pembina PSMS mengadu kepada Ketua Umum PSSI."
Apa dampak dari segala gugatan dan hujatan itu bagi PSSI?. Citranya makin merosot. Segala kerja keras untuk menyelenggarakan kompetisi, dipercaya menjadi tuan rumah beberapa event internasional seolah terlupakan.
Tak mengherankan, ketika di akhir November 2018 di acara Mata Najwa disebutkan tentang anggota Exco, Hidayat yang mencoba mengatur skor Madura FC menghadapi PSS Sleman, tak ubahnya seperti siraman bensin di tengah kobaran api yang belum padam. Hidayat akhirnya mengundurkan diri.
Meski sempat menyatakan dirinya tak bersalah, tapi keputusan Komite Disiplin (Komdis) menghukumnya, tak pelak menjadi tamparan tersendiri bagi PSSI. Anggota Exco terlibat dalam pengaturan skor, jadi bagian mafia sepakbola dan berbagai tudingan lainnya.
Bersama
 "It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it. If you think about that, you'll do things differently," -- Warren Buffet
Mengelola reputasi tidak bisa sendirian atau dilakukan beberapa orang saja, tapi harus bersama-sama. Dibutuhkan komitmen dan konsistensi untuk mewujudkan perbaikan reputasi itu. Tak bisa hanya mengandalkan kerja Komite Media dan Departemen Media dan Digital di PSSI.
Kerja departemen itu pun kurang terlihat untuk turut memperbaiki reputasi PSSI. Masih terbatas pada siaran pers, menanggapi suatu isyu (yang malah sering dilakukan oleh Joko Driyono dan Ratu Tisha sebagai Wawil Ketua Umum dan Sekjen PSSI).
Belum terlihat adanya program membuat atau mengalihkan isyu di tengah serbuan negatif terhadap reputasi organisasi. Padahal strategi semacam itu bukan hal baru bagi mereka yang biasa berkecimpung di dunia public relations.
Maka yang terlihat dari wajah PSSI pada 2018 ini adalah sikap defensif, menunggu bola. Kadang malah berbuah blunder atau ditertawakan jika jawaban yang diberikan melenceng dari apa yang ditanyakan pers.
Akibatnya, jika muncul suatu isyu baru maka cenderung menjadi bahan serangan tersendiri bagi PSSI. Isyu yang belum tentu benar akhirnya berkembang dan menjadi liar.
Semisal apa yang terkuak di acara Mata Najwa berikutnya dengan tajuk "PSSI Bisa Apa" jilid 2, dengan pengakuan Manager Persibara Banjarnegara, Lasmi Indriyani yang oleh Johar Lin Eng yang Ketua Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI Jawa Tengah diperkenalkan dengan Mr.P.
Mr.P itu yang kemudian sering meminta uang agar Persibara bisa naik ke Liga 2, termasuk juga iming-iming jadi juara 3 Piala Soeratin dan medali di Porprov. Setoran uang itu, kata Lasmi, mengalir ke Johar Lin Eng yang juga anggota Exco PSSI. Â Nama lain yang disebut kecipratan uang itu adalah Dwi Irianto yang dikenal dengan panggilan Mbah Putih, anggota Komdis.
Lasmi juga menuturkan sudah mengeluarkan uang Rp 300 Juta untuk biaya operasional Timnas Puteri U-16. Nominal biaya itu ditentukan oleh anggota Exco, Papat Yunisal dan Tika, mantan wasit futsal yang jadi asisten Lasmi.
Tuduhan itu tentu memerlukan bukti karena menyangkut nama Exco dan Komdis PSSI. Seperti disampaikan oleh Joko Driyono bahwa perlu digarisbawahi juga apakah pernyataan yang disampaikan itu benar, tuduhan yang perlu dibuktikan.
Maka tepat langkah Papat Yunisal yang juga Ketua Asosiasi Sepakbola Wanita untuk melaporkan tuduhan itu ke Komdis, karena hal itu sudah merupakan pembunuhan karakter. Papat menegaskan jika dirinya tidak pernah sekalipun melihat uang, bahkan menggunakan sepersen pun tidak.
Papat juga memastikan bila dirinya tidak tahu menahu jika dibalik tawaran Lasmi menjadi Manajer Timnas, ada perjanjian dengan seseorang yang mengiming-imingi tim Persibara Banjarnegara akan masuk 32 besar nasional Liga 3.
Langkah serupa bisa dilakukan oleh Johar Lin Eng dan Dwi Irianto jika merasa tuduhan itu memang mengada-ada. Â Langkah seperti itu juga akan membantu nama baik PSSI, jangan nanti didengungkan organisasi itu banyak mafia pengatur skor.
Bersikap defensif terus, seperti strategi parkir bus ala Mourinho semasa menukangi Chelsea, lebih banyak ruginya karena ini bukan soal pertandingan di lapangan tapi pembentukan opini. Jika pun tidak bersikap ofensif, atau sekedar reaktif saja, PSSI bisa memikirkan cara lain yang lebih menarik, elegan dalam memperbaiki citranya.
Siaran pers tidaklah cukup, Sifatnya hanya satu arah, tanpa dialog dan tak ada proses mendengarkan. Begitu juga wawancara tanpa pertanyaan tajam dari wartawan tak ubahnya berita yang muncul di media laiknya siaran pers saja.
Di sinilah sosok Ketua Umum jadi sangat dibutuhkan kehadirannya. Era internet dan teknologi saat ini memang memudahkan segala bentuk komunikasi. Namun pemimpin perlu hadir secara nyata, secara fisik saat terjadi suatu krisis. Tak cukup hanya lewat telepon, facebook, twitter, instagram atau siaran pers.
Tanpa kemauan merubah paradigm akan pentingnya membuat strategi komunikasi yang lebih fokus, kesadaran bahwa mengelola reputasi adalah urusan semuanya PSSI tetap jadi bulan-bulanan publik.
Tidak semua anggota Exco dan pengurus PSSI lainnya menjadi "pemain", jadi bagian dari mafia sepakbola. Mereka masih ada yang sungguh-sungguh bekerja untuk kemajuan sepakbola. Sayang jika mereka turut terseret karena tuduhan tanpa bukti.
Di sisa kepengurusan yang masih satu tahun lebih, harus dimanfaatkan oleh untuk memperbaiki citranya, selain prestasi timnas tentunya. Membuktikan bahwa mereka memang mampu memenuhi harapan yang ada, meski tentu ada yang butuh waktu seperti pembinaan usia muda atau raihan prestasi di tingkat regional dan internasional.
Exco PSSI pun harus mampu menunjukkan kerja sebagai tim, tak hanya tampak di permukaan satu dua orang saja yang seperti bekerja sendirian. Setidaknya ada anggota Exco bisa berbicara tentang bidang yang jadi tanggungjawabnya. Bukan baru dikenal setelah terkena kasus seperti sosok Hidayat.
Monggo, PSSI ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H