Belum lagi janji-janji politiknya selama berkampanye yang pasti dinantikan seperti apa kenyataannya. Apakah seperti politisi lainnya yang suka umbar janji, tapi begitu menduduki kursi kekuasaan lalu lupa berdiri eh janji.
Baru-baru ini Sekjen PSSI, Ratu Tisha berbicara tentang status Edy sebagai Ketum PSSI, yang dinyatakannya tidaklah berubah jika secara resmi ditetapkan sebagai pemenang Pilkada Sumut 2018. Edy tetap menjabat sebagai Ketum PSSI hingga tahun 2020. Wajar saja penegasan Sekjen PSSI itu.
Namun, kembali pertanyaan sederhana mengemuka, apakah sesederhana itu rangkap jabatan di dua lembaga yang sama-sama pentingnya, yang sama-sama memiliki segudang masalah untuk diselesaikan.
Bisa saja orang menganalogikan bahwa saat menjadi Pangkostrad ia mampu mengurusi satu Indonesia, sekaligus menjalankan roda organisasi PSSI. Maka posisi Gubernur yang cakupannya hanya satu provinsi tentu bisa membuatnya membagi waktu.
Sah saja pendapat seperti itu, meski terkesan begitu naif dan terkesan seperti hitungan 1 ditambah 1 hasilnya 2.
Permasalahan di organisasi Kostrad pasti berbeda dengan di PSSI atau Sumatra Utara.
Provinsi yang kaya akan sumber daya alam dan obyek wisata itu masih punya setumpuk masalah yang perlu penanganan, seperti tingkat pengangguran yang tinggi, daya saing yang lemah, kemiskinan, korupsi, peredaran narkoba dan menurunnya jumlah wisatawan manca negara.
Belum lagi janji Edy untuk membangun stadion bertaraf internasional bagi PSMS Medan, yang konon sudah ada lahannya seluas 100 hektare dekat Kualamanu.Â
Tak hanya stadion, tapi juga hotel, wisma atlet, kolam renang, lintasan lari.
"Seperti Jakabaring lah. Doain saja," ungkap Sekretaris Umum PSMS Medan, Julius seperti dikutip dari Suara.com.
Janji kepada PSMS Medan itu wajar saja, karena Edy Rahmayadi tak hanya duduk sebagai Dewan Pembina klub tapi juga menguasai 51 persen saham PT Kinantan Medan dan 55 persen PT Ayam Kinantan Medan---dua badan usaha yang membawahi PSMS.