Mohon tunggu...
Kavya
Kavya Mohon Tunggu... Penulis - Menulis

Suka sepakbola, puisi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ketika Main Terabas Tumbuhkan Apatis

23 Januari 2018   13:35 Diperbarui: 23 Januari 2018   13:40 1398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langkah PSSI menerabas peraturannya sendiri tidaklah mengherankan. Masyarakat sepertinya tidak heran dengan berbagai langkah keliru itu. Langkah yang juga tak mencerminkan "Profesional dan Bermartabat", jargon yang diusung para pengurus saat ini.

Berbagai blunder yang dilakukan tetap tidak menyadarkan pengurus PSSI di bawah kepemimpinan Edy Rahmayadi untuk berbenah diri, merajut kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat, serta Presiden Joko Widodo (yang sampai menggelar rapat terbatas kabinet, untuk pertama kalinya dalam sejarah republik ini).

Terbaru adalah keputusan untuk "mengamputasi" hukuman bagi manajer Persib Bandung, Umuh Muchtar yang dihukum oleh Komisi Disiplin (Komdis) PSSI tidak boleh beraktivitas sepakbola di lingkungan PSSI selama 6 bulan. Hukuman itu juga disertai denda sebesar Rp 50 juta, setelah Komdis menilai Umuh Muchtar bertanggungjawab atas WO Persib ketika menghadapi Persija di Stadion Manahan Solo, 3 November 2017 lalu.

Umuh melakukan banding atas keputusan itu, namun Komisi Banding malah memperkuat sanksi dari Komdis tersebut. Hasil itu membuat Umuh melayangkan surat agar dilakukan peninjauan kembali terhadap hukuman yang diterimanya, dan dikabulkan lewat keputusan yang ditandatangani oleh Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi tanggal 15 Januari 2018. Salah satu poin keputusan itu adalah membatalkan keputusan Komdis PSSI nomer : 13/KEP/KB/LigaIa.

Hak untuk memutuska Peninjauan Kembali (PK) itu memang dimiliki oleh Ketua Umum PSSI. Namun hak itu juga dibatasi oleh peraturan yang dibuat sendiri oleh federasi itu, yakni dalam Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008. Di dalam pasal 149 bagian (3) jelas menyebutkan jika peninjauan kembali oleh Ketua Umum PSSI hanya berlaku pada perseorangan dengan sanksi larangan beraktivitas dalam sepakbola 5 (lima) tahun ke atas.

Pelanggaran itu sendiri bukan pertama kalinya dilakukan oleh PSSI. Pemberian remisi juga pernah dilakukan pada tahun 2014 oleh Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid untuk sejumlah pemain yang mendapat hukuman dari Komdis yang kemudian diperkuat Komding. Beberapa pemain yang menerima remisi hukuman disanksi berupa larangan beraktivitas sepakbola di bawah 5 tahun.  

Remisi tahu 2014 itu oleh media online juara.net ditulis dengan judul menohok "Remisi Hukuman PSSI, Hukum Rimba Merajalela." Kini tak ada lagi judul di media-media tentang remisi yang dikeluarkan PSSI, pers memberitakan dengan tajuk yang hampir mirip koor.

Entah apa pertimbangan Edy Rahmayadi ketika meneken surat keputusan tersebut, apakah ia tidak mendapat masukan dari pengurus lainnya atau sudah tahu tapi main terabas saja?. Terabasan yang sudah pernah ia lakukan ketika dengan alasan ajaib menggeser posisi Iwan Budianto dari Wakil Ketua Umum menjadi Kepala Staf.

Pergantian itu bukannya melalui kongres, karena jabatan Waketum bukan semata bikinan tapi ditentukan dalam Statuta PSSI. Namun Edy Rahmayadi yang calon Gubernur Sumatra Utara dengan entengnya mengatakan"Statuta hanya menentukan jumlah Exco (Komite Eksekutif). Exco kami tetap jumlahnya. Kan tidak mungkin wakil ketua itu dua, di mana-mana wakil ketua itu satu."

Apakah mengherankan jika masyarakat kemudian menjadi cuek atas segala pelanggaran PSSI ketika anggotanya sendiri juga lebih cuek?. Mereka membisu, entah takut karena ketua umumnya jenderal atau sudah tidak peduli. Terbukti dalam kongres PSSI 13 Januari 2018 lalu hal itu tak menjadi bahan bahasan, meski menghasilkan perubahan pada lima ketentuan Statuta. Begitu juga pelanggaran atas aturan FIFA soal pergantian pemain yang terjadi di kompetisi Liga 1 tahun lalu. Lancar jaya, tak ada protes.

Antropolog ternama, Prof. Koentjaraningrat pernah menyatakan, mental menerabas merupakan salah satu peradaban atau sebagai hasil dari kebudayaan. Mental seperti itu yang membuat bangsa ini tidak kunjung maju karena masyarakatnya tidak menghargai proses, malas berhemat, lebih menghargai relasi kekerabatan dibandingkan dengan hubungan fungsional, kurang menghargai kejujuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun