Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Wahai Koruptor, Belajarlah kepada Keluarga Ini

27 Januari 2012   02:31 Diperbarui: 4 April 2017   18:11 1495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1327640161812602560

[caption id="attachment_166583" align="aligncenter" width="619" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Penyesalan selalu datang pada akhir tindakan buruk. Ketika bertindak, mungkin saja pelaku masih dirasuki ambisi untuk mengejar dan mendapatkan keuntungan materi. Demi itu pula, ia menghalalkan segala cara. Barang baik dan buruk diambil begitu saja tanpa memertimbangkan akibat buruknya. Benar bahwa keuntungan dan atau kekayaan akan didapatkan. Namun, kekayaannya justru menjadi penyakit yang menggerogoti kesehatan diri, anak, dan keluarganya. Sungguh sebuah kisah pilu. Tak urung air mata tumpah usai mendengarkan kisah ini. Kemarin, saya pulang dari kampus agak sorean setelah menyelenggarakan Ujian Akhir Semester (UAS) bagi mahasiswaku. Setiba di rumah, saya disambut anak dan istri. Anak-anak langsung menyerobot bungkusan plastik di tanganku. Tak lain adalah oleh-oleh khas kesukaannya. Begitu pula istriku, pasangan hidupku langsung membuatkan minuman hangat untukku. Usai melepas segala perlengkapan pribadi dan pekerjaan, saya duduk dan ikut nimbrung menonton televisi bersama dengan anak-anak. Tak mau ketinggalan, istriku pun langsung duduk di sampingku. Lalu, istriku pun bercerita. Tadi, istriku berjumpa dengan seorang ibu, sebut saja Bu Novi, di sekolah ananda. Waktu itu, istriku akan menjemput ananda ke sekolahnya. Kebetulan anak-anakku memang duduk sekelas dengan anak-anak Bu Novi. Saya sempat bertemu dengan Bu Novi di sekolah ananda. Namun, kadang saya tidak dapat menjemput ananda. Oleh karena itu, saya meminta istri untuk menjemput ananda. Jadi, kadang istriku pun bertemu dengan Bu Novi di sekolahnya. Namun, pertemuan kemarin pagi itu benar-benar terasa teramat mengharukan. Apa pasal? Menurut penuturan istriku, Bu Novi baru saja menengok suaminya di penjara. Konon suami Bu Novi terlibat kasus korupsi. Atas putusan pengadilan, suami Bu Novi harus mendekam di penjara untuk sekian tahun. Meskipun sempat mengajukan kasasi atas kasusnya, suami Bu Novi tetap dipenjara karena mungkin MA tidak mengabulkan kasasinya. Ketika bercerita itu, Bu Novi berkali-kali menitikkan air mata. Mungkin Bu Novi tak kuat menahan kesedihan atas tragedi yang menimpa suaminya. Selain dikenal sebagai politikus yang suka menolong tetangga yang memerlukan pertolongan, suami Bu Novi juga dikenal sebagai tokoh masyarakat. Sebagai tokoh masyarakat, tentunya keluarganya sering dikunjungi banyak orang. Tak ayal rumahnya sering kedatangan tamu untuk beragam kepentingan. Air mata Bu Novi tak terbendung ketika Bu Novi bercerita tentang perubahan sikap anak-anaknya. Anak-anak Bu Novi sering menanyakan ayahnya. Oleh karena itu, Bu Novi berbohong kepada kedua buah hatinya. Demi menjaga kejiwaan anak-anaknya, Bu Novi selalu memberikan alasan tentang ketiadaan ayahnya. Kadang Bu Novi memberikan alasan bahwa ayahnya sedang pergi ke Jakarta. Namun, kadang pula Bu Novi beralasan bahwa ayahnya pergi bekerja ke tempat lain. Namanya saja perasaan anak, tentunya mereka memiliki kepekaan yang luar biasa. Mungkin terjadi kontak batin, akhir-akhir ini kedua anaknya sering menderita sakit. Beberapa kali anaknya terlihat murung dan kurang bergairah pergi ke sekolah. Dampak buruk dari penurunan semangat belajar, prestasi kedua anaknya turun drastis. Sedih dan teramat menyedihkan. Saya dapat memaklumi perasaan yang dialami Bu Novi. Banyak hukuman diterima oleh keluarganya. Mungkin dahulu keluarganya terlihat bahagia karena berkecukupan segalanya. Namun, Tuhan membalik semua keadaan. Ternyata keluarganya diharuskan menerima hukuman atas tindakan yang dilakukan suaminya. Dan itu baru menjadi hukuman sebatas di dunia. Di dunia, cukup banyak jenis hukuman diterima para koruptor. Setidak-tidaknya ada tiga jenis hukuman, yaitu: Pertama, hukuman pengadilan. Mereka harus duduk di kursi terdakwa sebelum diputuskan perkaranya. Ribuan pasang mata memelototinya. Begitu palu diketokkan, hakim memberikan vonis: Wahai koruptor, silakan Anda menikmati ulah kotormu di penjara 10 tahun! Sejak saat itu pula, para koruptor itu harus menikmati dinginnya lantai penjara. Kedua, hukuman media. Wajah dan tampangnya menghiasai beragam media: cetak dan elektronik. Secara mendadak, suaminya menjadi napi selebritis. Wajahnya ditekuk menahan malu. Tangannya diborgol karena takut memberikan perlawanan. Dan dia dituntun masuk mobil penjara. Kemana-mana, dia dikawal karena dikhawatirkan melarikan diri. Sungguh situasi yang teramat mengerikan dan menyedihkan. Ketiga, hukuman keluarga. Istri/ suami dan anak-anaknya menjadi korban. Mereka harus menanggung malu karena keluarganya diisolasi oleh masyarakat sekitar. Mereka dicaci maki dan disumpah serapah karena dianggap sampah masyarakat. Dan sungguh kasihan anak-anak mereka. Anak-anak itu menjadi korban karena kelakuan buruk ayah atau ibunya. Pada saat mereka sedang meniti masa depan, mereka harus berhadapan dengan situasi sosial yang teramat memalukan. Wahai koruptor, tidakkah Anda menyadari semua tindakanmu itu? Tiga buah hukuman akan diberikan kepadamu. Itu baru menjadi hukumanmu di dunia. Janganlah Anda memikirkan nafsumu semata. Pikirkanlah segala dampak buruk atas perbuatanmu. Selain merugikan bangsamu, Anda juga mengantarkan keluargamu kepada neraka. Sungguh perbuatanmu teramat kotor dan menjijikkan! Teriring salam, Johan Wahyudi Sumber gambar: Sini

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun