[caption id="attachment_74679" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: http://www.ceritahot.net/11-tips-menghias-ruang-tamu"][/caption]
Kisah ini merupakan hasil curhat seorang sahabat. Sebagai teman sejawat, saya tentu harus menunjukkan sikap respek dan empati. Terlebih, kasus ini dapat terjadi pula dalam kehidupan pribadi. Karena itu, tentu saya berkeinginan untuk berbagi kisah ini kepada Anda. Semoga bermanfaat.
Sahabatku kedatangan tamu dari jauh. Jauh sekali. Dari luar Jawa. Tamu itu merupakan mahasiswa sebuah perguruan tinggi terkenal di Jawa Tengah. Karena berstatus mahasiswa, tentu dia adalah pribadi terpelajar dan intelektual.
Kedatangan tamu itu merupakan hal istimewa bagi keluarga sahabatku itu. Sangat istimewa. Mengapa? Dahulu, sahabatku itu berasal dari luar Jawa, sedaerah dengan tamu itu. Jadi, pertemuan itu menjadi seperti reuni.
Untuk menjamunya, sahabatku itu mempersilakan tamunya untuk menginap di rumahnya. Terlebih, tamu itu beralasan untuk mengerjakan tugas akhir. Jadi, sahabatku itu sekaligus berniat untuk membantunya. Tentu itu bertujuan sekadar membantu meringankan beban studinya. Sebulan penuh tamu itu menginap di rumah sahabatku itu. Semua kebutuhan (makan, minum, mencuci, transportasi, wisata) ditanggung sahabatku.
Ironisnya, sahabatku itu tak diundang ketika tamunya diwisuda. Tamunya itu hanya bercerita bahwa dirinya menjadi lulusan terbaik (cum laude). Dengan bangga, ia berkisah kepada sahabatku. Tentu saja sahabatku pun menyambut cerita itu dengan rasa syukur pula. Meskipun hatinya sangat kecewa!
Tahun berganti dan kisah pun berulang. Tahun ini, tamu itu datang lagi. Tamu itu mendapat beasiswa untuk belajar lagi di kampus yang sama. Wah, senangnya.
Suatu hari, tamu itu memintaku untuk mengantarkan dirinya ke rumah sahabatku itu. Sebagai kawan, saya tentu tak berkeberatan. Dengan senang hati, saya mengantarkan tamu itu ke rumah sahabatku. Selama perjalanan, tamu itu bercerita banyak hal. Cerita tentang prestasi dan keunggulan dirinya. Dan saya pun berdecak kagum. “Wah, luar biasa sekali orang ini. Tentu orang ini bukan orang sembarangan” batinku.
Sesampainya di rumah sahabatku, tamu itu bergegas turun. Tanpa berucap terima kasih, tamu itu ngeloyor pergi. Tak apalah, itu tak penting. Dan kisah pun berlanjut.
Pada hari berikutnya, sahabatku menemuiku secara tiba-tiba. Ternyata, ia bermaksud minta tolong kepadaku. “Pak, tolong besok bawakan buku temanku ya. Kemarin dia nelpon agar bukunya dititipkan jenengan.”
Mendengar permintaan sederhana itu, saya pun menjawab ringan, “Beres, Bu.”
Musibah memang tak pernah dapat diduga. Seorang familinya yang tinggal cukup jauh meninggal dunia. Praktis sahabatku berkonsentrasi kepada musibah itu. Dan masalah buku pun terlupakan.
Ternyata, masalah buku menjadi masalah baru. Tamu itu mencak-mencak. Tamu itu marah-marah. Tamu itu tak menunjukkan rasa empat terhadap musibah yang menimpa sahabatnya. Tak sepatah kata pun keluar sebagai ungkapan bela sungkawa. Sungguh keterlaluan!
Belakangan, tabiat tamu itu mulai terkuak. Antara lahiriah dan batiniah sungguh teramat berbeda. Sepintas, tamu itu berbicaranya santun. Ide-idenya sungguh membangun. Sayangnya, sifat lahiriah tidak dibarengi sifat batiniah. Sifat itu adalah kikir berbagi dan kikir empati.
Sebulan bersama keluarga sahabatku, tak sekalipun tamu itu menunjukkan rasa terima kasih. Meskipun semua pakaian kotor dicucikan pembantu, tak sekalipun pembantu itu diperhatikan. Meskipun hidup dan makan bersama keluarga sahabatku, tak sekalipun tamu itu berucap terima kasih. Terlebih memperhatikan anak-anak sahabatku itu. Sungguh tamu tak tahu diri.
Saya menyadari semua itu setelah belajar bersamanya. Selama belajar bersamanya, saya mulai mengetahui nada bicara dan gaya hidupnya. Kepada teman sekelas, sering tamu itu memanggil kawannya dengan sebutan tak pantas. Professor terhormat saja tak pernah memanggil mahasiswa dengan sebutan seperti itu. Namun, tamu itu berani memanggil teman sekelas dengan sebutan tak pantas meskipun di tengah kerumunan. Sungguh orang tak tahu diri.
Konon, dia adalah calon pejabat di daerahnya. Dalam hati, saya pun membatin, “Kalau pejabatnya seperti itu, jadi apa nanti rakyatnya?” Bisa jadi rakyat akan dijadikan kacung alias kuli rendahan. Seorang pejabat itu harus merakyat, menunjukkan sikap simpati dan empati kepada rakyatnya, serta rendah hati. Jika sikap itu terwujudkan, charisma dan wibawa akan melekat pada dirinya. Namun, itu pun berlaku sebaliknya.
Sungguh kisah itu menjadi pelajaran berharga bagiku. Semoga juga untuk Anda. Amin! Selamat pagi dan selamat menjalankan aktivitas. Semoga kesuksesan teraih hari ini. amin!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H