Sragen, 25 Juli 2011
Yth.
Mas Muhammad Nazarudin
Di tempat
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Terlebih dahulu, marilah kita berucap syukur kepada Allah atas limpahan beragam nikmat-Nya sehingga kita, alhamdulillah, masih berkesempatan untuk menikmati keindahan dunia. Sebelumnya, saya bermohon maaf kepada Mas Muhammad Nazarudin jika kurang berkenan dengan suratku ini. Sejujur dan setulusnya, saya menulis surat ini semata berdasarkan keinginan untuk saling bersapa karena saya masih menganggap Mas Muhammad Nazarudin sebagai sahabat, rekan, dan saudara baik berkoridor kebangsaan maupun kesamaan agama, yakni Islam.
Mas Muhammad Nazarudin yang kuhormati,
Di tanah air, hampir semua media dan orang bercerita tentang sepak terjang mas Nazar. Entah itu berkisah tentang kebaikan mas Nazar maupun tentang (kemungkinan) keburukan Mas Nazar. Saya bukan orang politik sehingga saya menjauhkan diri dari lingkungan politik. Saya hanyalah seorang guru dan pendidik sehingga saya mendengar dan membaca berita berdasarkan nurani sebagai seorang ayah dan juga seorang pendidik. Pemberitaan yang terus-menerus tentang Mas Nazar sontak menyebabkan diriku untuk mempunyai pendapat lain tentang Mas Nazar.
Mas Nazar, perkenankanlah saya untuk bertegur sapa dengan Anda
Tadi pagi, saya mengantarkan ananda ke sekolahnya di Gemolong Sragen. Ketika berada di mobil Katana 1993, saya mendengarkan pengajian. Ustadz yang menjadi pembicara tersebut ternyata menjawab beberapa pertanyaan dari hadirin atau jamaah pengajian. Saya khusu sekali mendengarkan pengajian itu sembari berhati-hati menyopir agar tidak terjadi kecelakaan.
Sang ustadz berkata bahwa kenikmatan dunia adalah kenikmatan semu. Pernyataan itu terjelaskan bahwa kenikmatan dunia itu bersifat menipu. Terlihat bahwa kenikmatan dunia adalah rumah mewah dengan segala perlengkapan serbaelektronik dan pencet tombol. Terlihat pula bahwa kenikmatan dunia adalah mobil mewah yang berharga puluhan miliarah rupiah. Terlihat bahwa kenikmatan dunia adalah wanita nan cantik gemulai melayani lelaki. Namun, benarkah kenikmatan itu sedemikian?
Sesungguhnya tidaklah demikian, Mas Nazar. Kenikmatan sesungguhnya adalah kenikmatan surganya Allah. Rumah mewah seharga puluhan miliaran rupiah pasti tertinggal. Mobil mewah pun takkan menemami barang sedetik pun. Kenikmatan wanita cumalah di seonggok daging. Lalu, mengapa Mas Nazar tidak berkeinginan untuk menikmati surganya Allah? Apa maksudku dengan pernyataan itu?
Teramat sederhana, Mas Nazar. Jika Mas Nazar berkata bahwa semua perkataan Mas Nazar benar, Mas Nazar tidak perlu takut untuk pulang. Pulang saja ke Indonesia dan buktikan semua pernyataan Mas Nazar di depan rakyat. Bukalah semua tentang beragam informasi secara gamblang dan jujur. Bukalah semua borok para petinggi negeri agar semua rakyat mengetahuinya. Sebaiknya Mas Nazar tidak bersembunyi untuk menyelamatkan diri.
Saya berkeyakinan bahwa Mas Nazar pasti sedih, mengeluh, dan merasakan kegalauan yang luar biasa. Meskipun (mungkin) Mas Nazar mempunyai uang bermiliar rupiah, semua itu tidak akan mungkin dapat membeli kebahagiaan. Rasa bahagia dan ketenangan itu berada dalam hati. Hidup di penjara justru jauh lebih tenang daripada hidup berkalang kebohongan.
Saya pernah membaca kisah-kisah tentang riwayat sahabat dan tabiin. Mereka menemukan kebenaran Islam ketika mereka tidak hidup di alam bebas. Mereka menemukan kebenaran Islam justru ketika mereka dipenjara. Bahkan, beberapa hari yang lalu, saya membeli beberapa buku tentang kisah para mualaf. Saya juga sering membaca media nasional yang sering berkisah tentang para mualaf (mualaf= orang yang baru masuk Islam). Di manakah rerata mereka menemukan kebenaran Islam? Jawabnya satu: di penjara!
Jadi, Mas Nazar tidak perlu takut dipenjara. Jika memang hokum mengatakan bahwa Mas Nazar layak dihukum, jalani saja hukum. Di penjara juga disediakan makanan, minuman, MCK, komunikasi dan lain-lain. Jalani proses hukum dan berpeganglah kepada kebenaran. Ataukah Mas Nazar takut karena sudah terbiasa hidup enak dengan bergelimang harta? Takut tidur kedinginan beralas keramik tanpa kasur empuk?
Mas Nazar yang kusayang,
Sang ustadz tadi pagi berkata bahwa seringan-ringannya neraka adalah rasa panas yang mendidihkan otak manusia meskipun baru terinjak di ujung kuku. Jadi, untuk apa Mas Nazar takut dengan hukuman manusia. Justru saya berpikiran positif jika Mas Nazar dihukum. Lho, kok begitu? Setidak-tidaknya Mas Nazar dapat menjiwai ajaran agama Islam dengan benar di penjara. Saya berkeyakinan dengan seyakin-yakinnya bahwa Maz Nazar jarang mengaji atau membaca Al Quran. Jika Mas Nazar sering, atau kadang, membaca Al Quran, saya berkeyakinan bahwa Mas Nazar tidak akan merasa gentar atau takut sedikitpun dengan siapapun. Allah berkuasa di atas kuasa setiap makhluk. Camkan itu!
Demikian suratku untukmu Mas Nazar. Mohon maaf jika suratku mengganggu istirahatmu meskipun saya menyangsikan Mas Nazar dapat beristirahat dengan tenang. Bagaimana Mas Nazar akan merasa tenang sementara Interpol selalu mengintai keberadaanmu dengan senjata terkekang? Semoga surat ini menyadarkan dirimu. Amin.
Wassalaamu'alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh.
Teriring salam dari tanah air,
Johan Wahyudi
NB: Mas Nazar dapat menghubungi HP-ku jika berkenan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H