Bolehlah Demokrat mengadakan Konvensi Capres 2014. Silakan saja Golkar gembar-gemborkan ARB menuju RI-1. Tak haram pula Wiranto-Tanoe terus berkampanye melalui media yang dimiliki. Namun, agaknya mereka tidak mau bermain cantik ala PDIP dan Jokowi. Dilihat dari strategi permainan menuju RI-1, ketiganya, saya menyebutnya kalah telak. Lho, apa hebatnya PDIP dan RI-1?
Sejak keberhasilan Jokowi menjadi Walikota Solo dua periode dengan kemenangan telak dan beragam prestasi yang berhasil diraih, PDIP pun mulai berpikir logis bahwa “anak emas”-nya ini benar-benar menjadi magnet yang luar biasa bagi penataan internal PDIP. Lihat saja gaung PDIP di Senayan. Dengan memosisikan diri sebagai partai oposisi meskipun Indonesia tak mengenalnya, PDIP terlihat lebih solid daripada partai-partai lainnya. Jika nama baik partai-partai lain digerogoti oleh kader-kader korupnya, PDIP justru mampu membersihkan diri sekaligus melarikan diri dari kubangan lumpur korupsi. Itu baru di Senayan.
Megawati, sang Ketua Umum PDIP pun, mulai tahu diri. Di manapun, janda ini tak pernah melontarkan gagasannya untuk mencalonkan diri sebagai Capres 2014. Jika partai-partai lain terus berusaha mendongkrak popularitas ketua umum sebagai Capres 2014, justru PDIP melepaskan diri dari upaya itu. Namun, itu tidak berarti PDIP berdiam diri. Justru PDIP terus melakukan konsolidasi dan merapatkan barisan untuk mengegolkan amanat partai. Apa itu?
Benar bahwa jago PDIP kalan dalam pemilihan kepala daerah. Di Sumatera Utara, Jawa Barat, dan terbaru di Jawa Timur. Lalu, apakah Megawati menampakkan kegelisahan di wajahnya? Saya menjawabnya: tidak. Bahkan, saya melihat ibu ini terus menebar senyum kepada semua kadernya karena ia bisa membaca kemauan publik. Di sinilah janda Taufik Kiemas ini menunjukkan permainan cantik secantik wajahnya.
Sebenarnya kita akan berdecak kagum dengan membaca arah politik PDIP. Mengapa Megawati tidak marah meskipun jagonya kalah? Itu tak lain disebabkan ketidakmampuan calon kepala daerah menunjukkan prestasi publik. Selain itu, mesin partai di daerah pun gembos dan tak solid sehingga berhenti di tengah jalan. Dari sekian banyak calon kepala daerah yang diusung PDIP, praktis semuanya tidak menunjukkan keberhasilan di sektornya sebelum maju menjadi calon kepala daerah, kecuali Jokowi. Maka, di sinilah permainan cantik si ibu cantik itu ditunjukkan.
Megawati menyuruh Jokowi untuk mendukung keberhasilan calon PDIP meraih kursi di daerah. Sebagai kader sejati, tentu Jokowi bersikap loyal seraya ringan kaki melangkah ke lokasi plus berorasi di depan publik. Namun, mereka, masyarakat setempat, juga tahu bahwa itu adalah suaraJokowi dan bukan Jokowi yang akan menjadi kepala daerahnya. Maka, wajar-wajar saja masyarakat setempat tidak memilih Jokowi karena Jokowi hanya menjadi juru kampanye calon lain. Lalu, ada apa Megawati menyuruh Jokowi blusukan ke daerah-daerah yang jelas-jelas akan kalah?
Megawati justru sedang mengadakan uji publik tentang elektabilitas PDIP. Megawati tahu bahwa ia tak lagi mampu menarik simpati jika maju menjadi Capres 2014. Maka, Bu Mega sengaja menyuruh Jokowi agar menjadi juru kampanye dan blusukan ke daerah-daerah meskipun ia sebenarnya tahu bahwa jago PDIP pasti kalah. Namun, bukan itu niatan sesungguhnya Bu Mega. Beliau sedang menunjukkan kedewasaannya berpolitik. Intinya: Bu Mega menginginkan kemenangan PDIP secara telak dengan mengajukan Jokowi sebagai Capres 2014.
Cobalah diperhatikan suara-suara politikus dan pengamat politik lainnya. Siapakah politikus yang berani menyerang Jokowi selain partai-partai kompetitornya? Semua juga tahu bahwa Jokowi dterus diserang habis-habisan. Lucunya, penyerang itu berasal dari partai “itu-itu” saja karena ia, politikus itu, paham betul bahwa Jokowi memiliki nilai plus yang teramat banyak. Dan sungguh teramat mengagumkan bahwa serangan itu langsung diserang balik dan dimentahkan oleh masyarakat dan media.
Lalu, siapakah pengamat politik yang berani mengutak-atik kegagalan Jokowi? Semua juga tahu bahwa Jokowi adalah satu-satunya kepala daerah yang berhasil menata pemerintahan. Ibarat anak sekolah, Jokowi dinilai gurunya. Dan guru-guru itu tentu akan memberikan nilai baik, yakni Jokowi memang pantas naik kelas. Jika sewaktu menjadi Walikota Solo Jokowi memiliki nilai baik di Solo, saat ini Jokowi mulai menunjukkan nilai baik pula sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jika sudah melewati penilaian baik di tingkat Walikota dan Gubernur, kelas apalagi yang pantas untuk Jokwi selain Presiden 2014!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H