Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pilih Mana?

2 November 2010   10:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:54 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Waduh, gimana nih? Nanti ada kuliah penting lagi. Masuk atau membolos saja, ya?” begitulah batinku bergejolak. Saya harus membuat keputusan: berangkat kuliah atau membantu ibu.

Setiap Kamis-Jumat, saya harus mengikuti perkuliahan. Jadi, tugas mengajar dan pekerjaan lain perlu diatur agar tidak terugikan. Alhamdulillah, sampai detik ini, semua pekerjaan dapat tekerjakan dengan baik.

Namun, pada Jumat (29 Oktober 2010), saya dihadapkan pada situasi sulit. Menjelang berangkat mengajar, ibuku datang ke rumahku. Ibuku masih sehat dan sering bertandang ke rumahku. Jadi, pagi ini menjadi hari istimewa bagiku.

Namun, pagi ini pun saya dibuat terkejut. Ternyata, ibuku bermaksud untuk mengundangku agar hadir ke rumahnya. Rumah ibuku digunakan untuk pengajian haji. Sementara, pada hari yang sama, mahasiswa di kelasku bersepakat bahwa hari ini akan diputuskan tentang rencana study explore. Jadi, saya pun dibuat pusing.

Sambil menyahut pelan, saya meminta maaf kepada ibuku. “Bu, nyuwun pangapunten, dinten puniko kulo wonten kuliah. Dados, kulo mboten saged mbantu. Mangkeh kersane lare-lare sami mriko”, jawabku atas undangan itu. (Bu, mohon maaf. Saya nanti tak bias dating karena ada kuliah. Jadi, saya tak bias membantu. Biarlah anak-anak nanti yang berkunjung).

Mendengar jawaban saya, ibu berpaling. Ibuku pamit pulang. Sembari menuju pintu, ibuku berkata, “Sak karepmu. Sing penting aku wis ngabari.” (Terserah kamu. Yang penting saya sudah memberi kabar).

Saya pun berangkat mengajar ke sekolah. Entah bisikan dari siapa, pikiranku tak dapat berkonsentrasi ketika mengajar anak-anak. Saya masih terngiang dengan undangan ibuku tadi. Seakan saya menanggung beban berat. Seolah saya menjadi manusia egois yang selalu memikirkan kepentingan pribadi.

Di tengah pikiran berkecamuk, saya berusaha bersikap wajar. Ternyata, ada temanku melihat gelagat aneh pada diriku. Temanku pun menyapa, “Pak, tumben nggak bersemangat. Ada masalah, ya?”

Mendapat pertanyaan demikian, sontak saya menjawab enteng, “Nggak ada. Biasa saja!” Saya berusaha menutupi perasaan yang memang terganjal beban berat.

Di ruang kerja, saya berusaha tetap tenang. Namun, lagi-lagi pikiranku kalut. Akhirnya, saya pun menuju kamar mandi untuk membasuh muka. Saya ingin cuci muka.

Usai cuci muka, saya seakan mendapat pesan bijak: Mas, kuliah itu dapat dilakukan lain waktu. Namun, pengajian ini hanya sekali. Tentu ibumu sangat berharap agar kamu bisa datang.

Bisikan di telinga itu kuat sekali. Saya terus terngiang dengan suara itu. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk datang ke pengajian ibuku. Saya memutuskan membolos kuliah. Saya ingin membantu ibuku.

Setelah sholat Jumat, saya mengajak anak-anak dan istri untuk ke rumah ibu. Istriku sempat tertegun. “Mas Johan nggak masuk kuliah?” tanya istriku.

Sambil tetap menuntun anak-anak, saya menjawab ringan, “Sesekali membolos ‘kan nggak apa-apa.” Akhirnya, kami pun meluncur ke rumah ibu.

Tak berapa lama kemudian, tamu berdatangan. Saya menyalami para tamu itu satu per satu bersama kakakku laki-laki tertua. Pengajian pun dimulai.

Di tengah pengajian, hidangan harus disuguhkan. Namun, saya tidak melihat anak muda. Saya bingung. “Siapa nanti yang menyuguhkan makanan itu, ya?” tanyaku dalam hati.

Dalam situasi demikian, saya pun segera mengambil teplak (nampan) untuk menghidangkan makanan. Saya segera menyajikan hidangan dan minuman untuk para tamu. Kakak lelaki tertua hanya bersikap acuh. Dan saya pun diam sebagai adik.

Pada akhirnya, semua dapat terlaksana dengan lancar. Di situlah saya menemukan hikmah luar biasa. Saya mendapat kepuasan tak terkira. Ya, kepuasan dapat membantu ibu. Saya tak bisa membayangkan keadaan jika saya tidak ada. Siapa yang membantu ibuku?

Ya Allah, terima kasih karena Engkau berkenan menegurku dengan teguran yang santun. Terima kasih juga karena memberiku kesempatan untuk membantu wanita yang melahirkanku. Jika beliau kecewa, betapa Engkau murkanya. Karenanya, janganlah Engkau murka. Saya khilaf. Saya berjanji untuk setia membantu ibu: kapanpun dan apapun!

Selamat sore menjelang petang. Semoga menginspirasi Anda untuk mendahulukan keinginan orang tua. Amin! Tanpanya, kita takkan ada!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun