[caption id="attachment_189598" align="aligncenter" width="640" caption="Beginilah suasana kerukunan warga kampungku."][/caption]
Lain ladang lain belalang lain lubuk lain pula ikannya. Saya yakin bahwa peribahasa itu sudah dikenal luas. Memang peribahasa itu bermakna bahwa setiap daerah memiliki cara berbeda untuk mengungkapkan keinginan yang berbeda pula. Dan itu pun berlaku di daerahku. Kampungku masih memiliki tradisi kerukunan yang teramat kuat sehingga saya berulang-ulang mengalami “penipuan” model baru. Penipuan? Ya, penipuan model kampungku.
Usai mencairkan pinjaman kredit ke bank, saya langsung menjemput anakku ke sekolahnya. Kebetulan bank tersebut berdekatan dengan sekolah ananda. Begitu ananda terlihat keluar kelasnya, saya langsung memanggil dan mengajaknya pulang. Siang ini, saya harus mengantarkan beberapa batang bambu dan kayu untuk keperluan pembangunan ruko. Sekitar setengah jam kemudian, saya tiba di rumah. Langsung saya meminta ananda berganti baju dan beristirahat sedangkan saya langsung menuju kebun untuk mengambil bambu dimaksud.
Saya pun memotong dan menata beberapa bambu sedangkan seorang temanku menggotongnya ke pinggir jalan. Karena saya memotong bambu lumayan banyak, saya harus pandai-pandai mengukur bambu agar semua dapat berguna. Itulah perbedaan tukang kayu dan tukang batu. Salah ketika mengukur kayu berakibat sangat fatal karena tidak mungkin kayu dapat dikembalikan ke ukuran semula. Namun, kesalahan tembok dapat diperbaiki jika terjadi kesalahan ukuran. Itu adalah nasihat (alm) ayahku. Ketika sedang sibuk bekerja, tiba-tiba saya dipanggil. Ternyata, Mbah Mujio – pemilik rumah di depan kebun – meminta tolong.
“Pak guru, njaluk tulung!” teriaknya. (= Pak guru, minta tolong!)
“O injih. Wonten punopo, Mbah?” jawabku sambil meletakkan alat-alat seraya mendekati Mbah Mujio. (= o, iya. Ada apa, Mbah?)
“Tulung mejaku diangkatke” tutur Mbah Mujio. (= Tolong mejaku diangkat)
“O injih. Lha pundi mejanipun?” tanyaku kemudian karena saya tidak melihat meja di rumahnya. (O iya. Lha mana meja yang akan diangkat?)
“Sik, lagi diresiki Mbah Putri” jawab Mbah Mujio. (= Sebentar, sedang dibersihkan Mbah Putri)
Saya pun duduk sebentar di teras rumahnya. Mbah Mujio adalah salah satu tetanggaku. Kelima anaknya sudah bekerja di luar daerah. Mbah Mujio hidup bahagia berdua dengan mbah putri, sang istri, seraya tekun beribadah ke masjid. Saya sering bertemu Mbah Mujio di masjid. Tak lama kemudian, Mbah Mujio pun memanggilku dari dalam rumah.
“Pak Guru, mlebet, Pak!” teriak Mbah Mujio. (= Pak Guru. Masuk, Pak).
Mendengar teriakan itu, saya langsung masuk ke rumah Mbah Mujio. Namun, saya benar-benar kaget. Di lantai semen rumahnya, sudah terhampar makanan, sayuran, jajanan, lauk, dan minuman. Persis pemandangan orang yang memiliki hajatan atau bancakan. Di tengah kebingunganku, Mbah Mujio malah tertawa-tawa.
Melihat wajahku yang terkaget-kaget, Mbah Mujio menepuk pundakku sambil berkata, “Ora mungkin pak guru gelem mangan nang omahku yen orang ta’ apusi.” (= Tidak mungkin pak guru mau makan di rumahku jika tidak ditipu.) Mbah Mujio masih tertawa-tawa melihat kebingunganku. Saya memang bingung karena saya tidak pernah menyangka kejadian ini. Dan kami pun menyantap nasi dengan opor ayam lengkap dengan buah pisang raja plus teh manis.
---
Suatu hari, saya naik motor sambil memboncengkan si bungsu. Saya berkeliling kampung sambil menyusuri jalanan yang disemen. Memang semua jalan di kampungku sudah dikeraskan sehingga jalanan terlihat bersih dan hijau. Sepanjang jalan, pohon rambutan terlihat tumbuh lebat. Udaranya pun sangat segar dan sejuk. Meskipun matahari bersinar terik, warga kampungku tidak merasakan panasnya terik matahari itu. Suasananya pun damai dan makmur. Tiba-tiba, saya dikejutkan oleh panggilan.
“Pak guru, mampir!” teriak seseorang. Ternyata Mbah Basuni memanggilku. Saya pun bergegas menepikan motor dan mematikan mesin. Lalu, saya dan si bungsu turun. Mbah Basuni mengajakku bersalaman. Tak lupa, Mbah Basuni menimang si bungsu. Dan anak bungsuku langsung bermain-main di halaman rumah Mbah Basuni. Kebetulan Mbah Basuni memelihara ayam kampung dengan cara dikandang. Anak bungsuku terlihat menonton anak ayam di kandang. Dan kami pun terlibat obrolan akrab. Cukup lama saya tidak sowan. Setelah cukup lama berbincang, saya pun berpamitan. Lalu, saya pun memanggil si bungsu.
Tiba-tiba, saya dikejutkan oleh pemandangan aneh. Terlihat benda-benda mencurigakan di motorku. Begitu saya mendekat, terlihatlah beras, jeruk bali, singkong, kelapa dan beberapa butir telor ayam kampung dalam plastik. Masya Allah, begitu baiknya Mbah Basuni memberikan semua ini. Tak kuasa saya menahan haru sambil memandang Mbah Basuni. Dan Mbah Basuni cukup tersenyum bahagia.
---
Selama hidup, saya merasa berbuat biasa-biasa saja. Ketika bekerja di kantor, saya bekerja berdasarkan tugas dan petunjuk pimpinan. Ketika menulis sesuatu di kompasiana, saya pun sekadar menulis tentang hal-hal yang saya ketahui. Ketika berada di kampung, saya merasa hidup bertetangga biasa-biasa saja. Jika diadakan kerja bakti, saya berusaha mengikutinya. Namun, sering saya terpaksa meninggalkan kerja bakti itu karena harus menunaikan tugas lain. Lucunya, warga kampungku memberikan toleransi yang sangat baik. Bahkan, saya sering digoda, “Tenagamu tak ada pengaruhnya.”
Memang sih saya sering mengimbangi “kemalasanku” mengikuti kerja bakti dengan segala yang saya miliki. Jika diadakan kerja bakti, saya berusaha memberikan sedikit bantuan. Istriku pun berusaha menyediakan santapan ala kadarnya. Dan ketiga anakku tidak mau ketinggalan. Ketiganya langsung berpartisipasi menghabiskan makanan di lokasi kerja bakti. Hahaha…! Sering ketiga anakku digoda warga. Dan anak-anakku sangatlah bahagia tinggal bersama warga dengan anak-anak mereka. Begitu baiknya warga kampungku kepada kami.
Teriring salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H