Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pendusta Agama

19 Agustus 2010   22:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:52 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suatu hari, Muhammad dan Siti Aisah akan pergi ke lapangan untuk menunaikan Salat Iedul Fitri. Di tengah perjalanan, beliau bertemu dengan seorang anak. Terlihat anak itu murung sambil bertopang dagu. Pandangan mata anak itu sayu seakan tiada keinginan untuk hidup. Selain itu, pakaian anak itu begitu lusuh yang menggambarkan kemiskinan dan kemalangan nasibnya.

Beliau pun menghentikan langkahnya. Lalu, dihampirinya anak malang itu. Diusapnya kepala anak itu sembari ditanya, "Wahai Fulan, apakah gerangan yang membuatmu sedih? Bukankah teman-temanmu bergembira menyambut hari raya? Adakah masalah yang membuatmu sedih? Katakanlah, Nak!"

Mendengar tuturan lembut itu, anak itu pun mendongakkan kepala. Dia memberanikan diri untuk memandang wajah sang penutur. Lalu, anak itu pun menjawab, "Wahai Bapak, betapa malang nasibku. Aku ini anak sebatang kara. Tidak punya ayah, juga tidak punya ibu. Saya sudah dua hari ini lapar karena belum makan. Tiada orang berbelas kasihan kepada saya. Bagaimana saya akan bergembira dengan kondisiku saat ini."

Mendengar penuturan anak ini, Muhammad tercengang dan menitikkan air mata. Dibelainya dengan lembut kepala anak itu. Lalu, beliau pun berujar, "Wahai Fulan, maukah kauikut denganku? Maukah kaujadikan Ummul Mukminin sebagai ibumu?"

Mendengar pernyataan demikian, anak itu terlihat gembira. Dia pun memandang ke arah Muhammad. Lalu, didekapnya Muhammad seraya berkata, "Saya mau, wahai Bapak."

Kisah di atas merupakan senukil kisah hidup nyata di masa Rasulullah. Begitu perhatiannya beliau kepada anak yatim dan kaum miskin. Beliau tidak memandang kekurangan dirinya. Namun, beliau menampakkan kemampuan bahwa dirinya pasti mampu merawat anak miskin dan yatim piatu itu. Beliau tidak berpikir cara. Yang dipikirkan adalah menyelamatkan. Dan saya sangat merasa malu ketika mendengar kisah ini dibacakan tadi pagi saat kultum subuh.

Memang tidak pernah kita dengar bahwa seseorang dapat miskin karena memelihara orang miskin atau yatim piatu. Belum pernah terberitakan bahwa seseorang menjadi miskin karena rajin bersedekah. Dan belum pernah tercatat dalam sejarah bahwa seseorang menjadi hina karena memuliakan sesama.

Saat ini, kita berada dalam sebuah masa yang maha luar biasa. Masa nan penuh berkah, ampunan, dan janji kemenangan. Akankah kita lewatkan masa itu dengan mengejar kenikmatan tanpa mempedulikan sesama? Jika berpikir secara rasional, kita telah berbuat dusta kepada mereka. Dan barangsiapa menyia-nyiakan mereka tanpa mengasihinya, maka mereka termasuk pendusta agama. Orang beragam dianggap tak beragama. Maka, nistalah dan sia-sialah kehidupan mereka, dunia dan akhirat.

Memang kita selalu dipenuhi dengan keraguan. Tuhan memang telah berjanji bahwa surga akan menjadi hak bagi penyantun kaum papa. Namun, ada keengganan dan kesangsian yang luar biasa. Akankah janji Tuhan itu ditepati? Pertanyaan itu selalu berkecamuk. Dan syetan memenangkan niat ketika kita membenarkan kesangsian itu.

Dalam sebuah riwayat, Muhammad pernah berkata, "Orang yang gemar menyantuni anak yatim akan berposisi seperti ini." Rasululullah berkata demikian sambil menunjukkan dua jari tangan berdampingan, yakni jari telunjuk dan jari tengah. Begitu kuat kedekatan bagi pribadi yang mau berbagi. Akankah masih ada keraguan di hati Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun