[caption id="attachment_134866" align="aligncenter" width="640" caption="Apakah Bapak akan membiarkan oknum-oknum guru yang beretos dan berkinerja rendah?"][/caption]
Membangun atau mendirikan sesuatu itu mudah. Selagi bermodal, kita dapat mendirikan bangunan sesuai dengan selera atau gambar. Setelah diestimasikan semua kebutuhan, calon bangunan pun mulai dikerjakan. Dalam hitungan hari dan bulan, sebuah bangunan megah akan memesonakan banyak orang. “Luar biasa. Bagus sekali ya rumah itu. Milik siapa, sih?” tutur setiap orang yang melihatnya penuh kekaguman. Tidak hanya satu atau dua orang, tetapi banyak orang akan berpendapat demikian. Mengapa? Jawabannya sederhana: rumah itu memang eksklusif model dan tempatnya.
Namun, bangunan itu kian hari akan kian merapuh. Mengapa? Karena bangunan itu tidak dirawat. Pemiliknya hanya suka membangun dan kurang suka merawatnya. Sontak beberapa bagian bangunan mulai keropos. Bagian satu tidak diperbaiki tentu akan berakibat merusak bagian yang lain. Begitulah filosofis sebuah bangunan: sebuah mata rantai yang saling berkaitan.
Membangun dunia pendidikan pun demikian. Semua pakar dilibatkan demi menentukan gambar atau arah pendidikan. Para profesor dan doktor dikumpulkan agar diperoleh masukan dari mereka yang disebut pakar pendidikan. Pada akhirnya, sebuah sintesis atas diskusi itu lahir. Maka, terciptalah sebuah gambaran dunia pendidikan. Sebuah rancang bangun dunia pendidikan yang membuat decak kagum banyak orang.
Sayangnya, gambaran itu hanya terbaca dalam sebuah kertas. Dunia pendidikan tidak digambarkan dalam sebuah meja, kursi, gedung, guru, dan siswa. Sungguh saya merasa prihatin degan beragam kejadian yang saya saksikan berhari-hari. Kiranya peristiwa demi peristiwa itu mengusik ketenanganku ketika bekerja. Maka, saya pun menuliskan pengamatan dan pengalamanku disertai harapan agar mendapat perhatian.
Pak Mendiknas, sungguh saya merasa prihatin dengan bangunan yang Bapak dirikan. Sering saya menemui kejadian demi kejadian yang membuat miris hatiku. Satu kejadian yang terbaru adalah etos dan kinerja guru yang begitu rendah. Semangat pengabdian guru kita mulai menurun sedangkan kesejahteraan mereka kian menaik. Tentunya kondisi itu menjadikan kinerja atau hasil kerja terpengaruh.
Setiap saya akan memulai mengajar anak-anak, saya sering langsung menuju kelas. Saya suka menunggu anak-anak di kelasnya. Ketika bel berbunyi, anak-anak sering terkejut. “Eh, Pak Johan sudah di kelas” teriak mereka kepada teman-temannya yang masih di parkiran. Saya pun hanya tersenyum mendengar teriakan itu. Pada akhirnya, anak-anak mulai terbiasa masuk lebih awal karena malu jika saya mendahuluinya.
Semangat itu tidak diikuti oleh oknum guru-guru yang lain. Meskipun rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah, oknum guru-guru itu sering terlambat. Saya tidak menanyakan alasannya. Namun, kejadian itu hampir terjadi setiap hari. Meskipun sudah terlambat, oknum guru-guru itu masih suka duduk-duduk atau santai sambil menikmati teh manis-hangat. Begitulah semangat oknum guru-guru yang pernah saya lihat. Saya sering termangu ketika berada di kelas. Jika mereka memiliki etos kerja yang sedemikian rendah, bagaimana nasib pendidikan bangsaku ke depan?
Pak Mendiknas, bagaimana Bapak menyikapi kondisi itu? Apakah Bapak tidak akan melakukan upaya demi memerbaiki kondisi tersebut? Jika Bapak membiarkan kondisi itu berlarut-larut, saya berkeyakinan bahwa usaha Bapak untuk membangun dunia pendidikan akan sia-sia. Kesejahteraan sudah meningkat, tetapi kinerja menurun. Dalam hitungan bisnis, itu disebut pailit alias bangkrut! Apakah Bapak menyengaja agar pendidikan kita biar bangkrut? Jangan, ah. Saya cinta negeri ini dan ingin memajukannya. Semoga saya berkemampuan. Amin.
Sumber gambar: sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H