Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pak Mendikbud, Apa yang Harus Kami Perbuat?

1 Mei 2012   03:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:53 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1335849156574705558

[caption id="attachment_185422" align="aligncenter" width="620" caption="Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh. (KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI)"][/caption]

Dunia pendidikan kini menjadi magnet luar biasa. Semua orang begitu tertarik untuk menjadi bagiannya. Banyak sarjana nonkependidikan tertarik menjadi PNS di bidang pendidikan. Banyak guru tidak tetap bekerja meskipun tanpa dibayar. Dan begitu banyak orang berebutan mendapatkan murid. Tak lain karena dunia pendidikan merupakan departemen terkaya se-Indonesia. Dua puluh persen APBN telah menjadi haknya.

Ibarat ada gula ada semut, begitu banyak orang ingin mengeroyok gulanya. Masing-masing berusaha mendapat bagian. Setidaknya, bagian itu dianggap cukup sebagai modal hidup. Taruhlah sarjana nonkependidikan. Begitu sulitnya mendapatkan pekerjaan, akhirnya mereka mengambil jalan pintas dengan melintasi disiplin ilmunya. Tiba-tiba sarjana hukum ingin menjadi guru PKn. Tiba-tiba sarjana MIPA ingin menjadi guru matematika, fisika, biologi, atau kimia.

Bahkan, begitu banyak GTT mengantre untuk diperhatikan nasibnya. Mereka berduyun-duyun mengisi blangko atau formulir Kelompok Pendataan 2. Konon mereka akan diangkat menjadi PNS karena telah mengabdikan diri sejak 2005 atau sebelumnya. Bagi mereka yang terdata setelahnya, tak sedikit mereka mengambil jalan pintas seraya minta dibuatkan SK pengangkatan asli tapi palsu. Konon semua itu tidak diperoleh secara gratis.

Kabar terbaru adalah pencarian murid dan mahasiswa baru. Pusing saya berhadapan dengan begitu banyak tamu. Setiap hari puluhan guru dan dosen berdatangan ke lembagaku. Mereka disuruh pimpinan untuk mempromosikan sekolah dan kampusnya. Tak lain karena mereka ketakutan dan teramat ketakutan jika kampus dan sekolahnya tidak mendapatkan siswa dan mahasiswa.

Untuk memuluskan keinginannya, banyak sekolah dan kampus menawarkan beragam iming-iming. Bagi setiap siswa atau mahasiswa baru, kampus dan atau sekolah akan memberikan beragam fasilitas secara gratis, seperti seragam, beasiswa pendidikan, jaringan kerja, buku, dan tunjangan lainnya. Ibarat belum menjadi bagian sekolah atau kampus, mereka sudah berani mengobral kegratisan. Lalu, darimanakah mereka mendapatkan semua uang itu?

Jujur saja, saya menyangsikan kegratisan itu. Tidak ada barang gratis itu bermutu. Tidak ada barang bermutu itu gratis. Barang baik dan bermutu pastilah bernilai tinggi. Itu berarti bahwa sekolah dan kampus mestinya berkaca: mengapa sekolah dan kampusnya tidak dilirik calon siswa atau mahasiswa? Setidaknya jawaban itu adalah ketidakmutuan memang berada di dalamnya.

Pak Mendikbud, beginikah potret pendidikan kita? Beginikah kesangsian masyarakat terhadap lembaga pembentuk karakter anak bangsa? Beginikah kelakuan segelintir oknum bawahan Bapak? Dan teramat wajar jika mutu pendidikan kita kian meluntur karena memang dipimpin oleh oknum-oknum yang tidak berkualitas. Lalu, apakah Bapak akan membiarkan potret pendidikan itu terpampang di wajah Indonesia?

Bukan untuk menyombongkan diri, melainkan sekadar sharing. Saya selalu berusaha memberikan wejangan dan atau nasihat kepada anak didikku. Jadilah Anda berkualitas. Pintarkanlah dirimu karena ilmu akan menuntunmu menuju jalan hidup terbaikmu. Jika Anda pintar, Anda tidak perlu gelisah dan mengkhawatirkan masa depan. Kelak Anda pasti dicari meskipun ada bertempat tinggal nun jauh di pedalaman. Anda adalah mutiara yang terisolir nun jauh di pedalaman nurani kebanyakan orang.

Namun, saya pun bingung ketika ditanya satu di antara mereka, “Pak Johan, apa yang harus saya perbuat jika saya menjumpai kondisi itu?" Sekadar untuk menutupi rasa malu itu, saya hanya berujar, “Jawablah dengan nuranimu!”

Teriring salam,

JohanWahyudi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun