Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

"Menggugat" Koran Kompas

16 Februari 2014   17:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:46 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sebuah ungkapan bijak pernah terungkapkan bahwa undzur maa qaala walaa tandzur man qaala. Jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, ungkapan itu berarti perhatikanlah APA yang diucapkan dan janganlah memerhatikan SIAPA yang mengucapkan. Meskipun keluar dari pantat ayam, ambillah jika itu telor. Namun, janganlah kauambil (apalagi kaupercaya) meskipun keluar dari mulut pembesar jika itu kebohongan.

Kemarin, saya membaca artikel yang berjudul AnggitoAbimanyu Menjiplak Artikel Orang (Opininya di Kompas, 10 Februari 2014. Dengan teliti, saya cermati kalimat demi kalimat dan paragraf demi paragraf. Akhirnya, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa artikel itu benar secara subjektivitas penulis dan benar pula secara substansial. Penulis artikel itu menceritakan pengalamannya bahwa betapa sulitnya menembus desk opini Koran Kompas. Usut punya punya usut, ternyata Koran Kompas selalu diisi oleh para penulis dengan sederet penulis bergelar dan berjabatan. Maka, jangan berharap penulis (awam) bisa menembus desk opini koran nasional itu.

Secara substansial, saya pun sependapat dengan penulis bahwa artikel Hatbonardan Anggito Abimanyu (AA) memiliki kemiripan yang sangat. Teramat sulit bagi penulis sepintar apapun untuk bisa menyamai tulisan seseorang hingga berhubungan dengan tanda bacanya. Jika kesamaan itu terdapat pada topik atau judul, mungkin pembaca bisa memakluminya. Namun, kesamaan artikel itu terletak pada hampir semua bagian, bahkan referensi tulisan.

Dari kasus itu, saya berpendapat bahwa hendaknya Koran Kompas mengubah mind set-nya. Bahwa tulisan bagus tidak selalu ditulis oleh para pakar dengan sederet gelar dan jabatan. Justru para pakar dan pejabat itu sering bertele-tele ketika menjelaskan permasalahan hingga terkesan alurnya berombak-ombak. Sebagai salah satu bentuk karya ilmiah, mestinya artikel itu dapat dipahami oleh pembaca dari kalangan awam sekalipun.

Hingga kini, Koran Kompas tercatat sebagai media cetak yang concern terhadap gigihnya memerjuangkan kebangsaan, ketaatan berbahasa, dan kepeduliannya kepada penulis. Isi koran itu cukup proporsional alias berimbang antara informasi lokal, nasional, dan internasional. Pemakaian bahasa Indonesia selalu dijaga. Dan pemberian apresiasi kepada penulis pun cukup tinggi. bahkan, berita dan opini Koran Kompas selalu menjadi acuan banyak pihak atas validitas data dan tingkat keterpengaruhan.

Atas dasar itu, saya ingin “menggugat” Koran Kompas agar memerhatikan saran-saran berikut. Pertama, mohon desk opini memerhatikan proporsionalitas penulis untuk materi yang disajikan. Hendaknya redaksi menghindari terjadinya penumpukan artikel dengan materi yang sama. Sering saya menemukan kesamaan topik dalam satu halaman sehingga menimbulkan kejenuhan.

Kedua, mohon honor tidak dijadikan pertimbangan. Secara pribadi, saya menulis artikel dengan menghindari tujuan pemberian honor. Saya lebih menitikberatkan tujuan pengakuan ide atau gagasan dari pembaca daripada tujuan mendapatkan honorarium. Jika besaran honor dijadikan pedoman pemuatan artikel, jelas redaksi akan memertimbangkan efisiensi seraya memerhatikan penulis senior dengan sederet gelar dan jabatan daripada penulis awam meskipun materinya lebih baik. Maka, honor sebesar Rp1 juta dapat diberikan kepada dua penulis sehingga dapat memuaskan semua pihak. Apatah honor Rp1 juta diberikan kepada satu orang sedangkan materinya justru mirip bahan kuliah.

Ketiga, mohon disediakan ruang atau halaman pendidikan yang layak. Sebagai media yang concern dengan dunia pendidikan, mestinya Koran Kompas tidak kikir halaman pendidikan. Selama ini, halaman pendidikan selalu dibagi dua dengan iklan. Tiada space diberikan kepada guru untuk menyampaikan gagasan pada halaman itu. Hampir setiap hari saya tak menemukan artikel yang berhubungan dengan pendidikan. Kiranya mustahil Koran Kompas tidak menerima artikel dari kalangan guru. Suara guru masih bernaluri kejujuran daripada tulisan pakar yang ternyata hasil jiplakan.

Saya tak dapat menghitung lagi jumlah artikel yang pernah kukirimkan ke media cetak, termasuk ke Koran Kompas. Sebelum artikel itu dikirim, saya sering meminta beberapa teman untuk membaca dan menelaah atas kelayakan untuk dikonsumsi publik. Dari beberapa artikel itu, beberapa media cetak sudah menjadi langgananku karena potensi pemuatan cukup besar. Sayangnya, saya belum beruntung untuk pemuatan di Koran Kompas. Meskipun semua teman menilai artikel itu cukup baik, Redaksi Koran Kompas masih menilainya kurang baik sehingga membalas emailku dengan jawaban, “Tulisan Anda cukup bagus. Namun, kami kehabisan tempat untuk memuatnya.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun