Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Meneladani Pengasong dari Gemolong

22 September 2010   02:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:04 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pagi yang masih dingin memaksa saya untuk segera bangun. Hari ini, saya mempunyai empat acara. Pagi hari, saya harus pergi ke BPD Capem Gemolong. Saya bermaksud untuk mengambil uang guna membayar laptop. Seiring dengan profesi dan status baruku sebagai mahasiswa, saya perlu didukung sarana belajar yang baik. Sarana utama yang saya perlukan adalah laptop.

Acara selanjutnya adalah menghadiri undangan halal bihalal Kantor Kecamatan dan UPTD Kecamatan Kalijambe. Acara itu akan berlangsung sekitar jam 09.00. Saya masih berkesempatan untuk mengajar siswa saya dahulu. Jadi, saya berencana untuk mengambil uang dulu baru menghadiri undangan.

Setelah mengantar anakku ke sekolahnya, saya menuju halaman BPD. Masih terlihat sangat sepi. Maklum, baru jam 07.00. Belum ada aktivitas kecuali pemilik warung makan tenda depan BPD yang sedang berbenah. BPD akan dibuka jam 08.00. Artinya, saya masih mempunyai sekitar satu jam waktu. Untuk mengisi waktu itu, saya pun masuk ke warung tenda.

Karena masih berbenah, tentu semua menu masakan belum tersaji lengkap. Baru beberapa makanan terhidang di etalase warung. Saya pun memesan nasi pecel, telur dadar, dan teh hangat manis.

Tiba-tiba, saya dikejutkan suara pedagang asongan koran. Penjuak Koran ini adalah langgananku sejak tahun 1999. Sebelum pindah ke tempat baru, saya selalu membeli Koran untuk bahan referensi bacaan. Mendengar suaranya, saya pun langsung memanggilnya. “Mas, minta satu. Kompas saja!” teriakku. Lalu, lelaki tengah baya itu dengan sigap mengambil Koran di tengah lipatan koran lainnya. “Ini, Bos. Nunggu siapa, Bos? Tumben duduk di sini” tanyanya kemudian. Akhirnya, kami pun terlibat pembicaraan hangat.

Pria ini bernama Narto, umur 40 tahun. Pria ini sudah beristri dengan tiga anak. Sejak dua puluh tahun lalu, pria kelahiran Karanganyar Jawa Tengah ini menekuni profesi sebagai pengasong koran. Sebuah profesi yang jarang ditekuni oleh pria saat ini.

Saya mengagumi kegigihan dan keuletan perjuangan pedagang asongan ini. Perjuangan dimulai sejak dua puluh tahun silam. Dengan bermodal nekad, dia pergi mencari kerja di Gemolong. Sebenarnya, lelaki ini bertempat tinggal di Selokaton Karanganyar, berjarak sekitar 20 km dari kios korannya.

Setiap hari dan pagi, dia meninggalkan rumah sejak jam 03.00 dini hari. Lalu, dia mengambil Koran dari distributor dan menatanya di kios korannya yang berada di atas trotoar terminal angkot Gemolong. Sementara, istrinya menyiapkan sarapan bagi ketiga anaknya.

Pria inilah yang membuatku malu. Malu sekali ketika ia berkisah tentang anak-anaknya. Menurut ceritanya, anak pertamanya kini bersekolah di STM Penerbangan Solo. Sebuah sekolah favorit yang menjadi idaman remaja dan pelajar di Soloraya. Di STM Penerbangan, setiap siswa yang menjadi peraih peringkat 5 besar akan mendapatkan beasiswa pendidikan ke Akademi Militer gratis. Semua akan ditanggung sekolah.

Mendengar informasi ini, pedagang asongan ini langsung “membina” anaknya. Dia menyadarkan arti pentingnya pendidikan dan ketekunan. Satu kalimat yang disampaikan sehingga anaknya tersadar adalah “Kowe kudu eling yen wong tuwomu ki wong mlarat. Dagang koran sing hasile ora mesti. Nek kowe pinter lan dadi juara, wog tuwomu arep mongkok ndelok anak e berhasil. Mulo, kowe sinau sing tenanan lan ora usah ugal-ugalan.” (Kamu harus menyadari bahwa orang tuamu itu miskin. Pekerjaannya hanya jualan koran dengan hasil yang tidak menentu. Kalau kamu pandai dan jadi juara, orang tuamu akan bangga melihat anaknya berhasil. Oleh karena itu, kamu harus belajar sungguh-sungguh dan tidak nakal.)

Dampak nasihat itu sangat hebat. Anaknya dapat berprestasi meskipun diliputi keterbatasan ekonomi, tempat tinggal, dan pendidikan. Saat ini, anak pertamanya dapat bertengger di lima besar terus hingga kelas tiga.

Ternyata, keberhasilan anak tidak hanya dimiliki anak pertamanya. Anak keduanya pun juga menjadi juara satu di SMP Negeri 2 Gemolong. Jadi, anak pertama dan kedua sudah menunjukkan prestasi luar biasa. Anak ketiga memang masih berumur balita, tepatnya 2,5 tahun.

Mendengar kisahnya, saya pun menanyakan resep atau kiat pendidikan keluarga. Ternyata, anak-anaknya dikumpulkan setiap sore. Mereka diajak makan bersama. Di sanalah terjadi diskusi keluarga. Melalui diskusi ini, orang tua mendengar keluh kesah anak. Lalu, orang tuanya menawarkan solusi. Pada situasi itulah, orang tua memasukkan pesan-pesan moral. Anak-anak disadarkan bahwa betapa pentingnya pendidikan dan kemandirian. Anak-anak dididik dengan mental baja agar tidak cengeng dan harus berani mandiri.

Saya malu sekali mendengar kisah itu. Suatu saat, saya mungkin menjumpai anak-anakku ketika mereka sudah tertidur. Saya mungkin beralasan sibuk ketika mereka ingin diajak jalan-jalan. Saya mungkin mengatakan capek ketika mereka memintaku untuk membantunya mengerjakan PR. Alhamdulillah, saya belum mengalami peristiwa itu. Mungkinkah Anda mengalaminya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun