Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mari Kita Meneladani Kisah Ini

1 Mei 2012   18:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:52 11055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Syahdan, suatu hari, Nabi Muhammad SAW akan pergi ke masjid. Seperti biasanya, beliau pun selalu melewati jalan itu karena konon memang hanya itu jalan satu-satunya. Setiap melewati jalan itu, Nabi Muhammad SAW dihina, dicaci, diludahi, bahkan dilempari kotoran oleh seorang sahabat. Nabi Muhammad SAW berusaha bersabar dan bersabar. Bahkan, konon Malaikat Jibril muntap alias marah besar atas penghinaan sahabat itu kepada Nabi Muhammmad SAW. Maka, Malaikat Jibril merayu Nabi Muhammad SAW untuk membalas dendam. Namun, Nabi Muhammad SAW berkata, “Tak usah ya, Jibril. Sahabat itu belum mengenal Islam. Biarkanlah dia dengan perilakunya.” Dan terjadilah penghinaan it uterus-menerus.

Namun, hari itu sungguhlah teramat berbeda. Nabi Muhammad SAW tidak bertemu dengan sahabat yang biasa menghinanya. Tak terlihat sahabat itu duduk dan menunggu Nabi Muhammad SAW yang biasa lewat jalan itu. Tentu saja kondisi itu justru mengherankan Nabi Muhammad SAW. Maka, beliau pun berusaha mencari tahu tentang nasib sahabat. Maka, diketahuilah bahwa sahabat itu sedang sakit keras. Sahabat itu tidak bisa bangun dari tidurnya. Sehari-hari sahabat itu hanya meringkuk di tempat tidur.

Begitu mendengar kabar itu, Nabi Muhammad SAW pun segera bergegas pergi. Beliau pergi untuk menengok sahabat yang sedang sakit itu. Sama sekali beliau tidak menghiraukan pengalamannya yang dihina, dicemooh, dicaci, bahkan disakiti. Nabi Muhammad hanya berkeinginan untuk segera bertemu dengan sang sahabat. Nabi Muhammad SAW ingin mengetahui kondisi yang sebenarnya.

Setiba di depan pintu sang sahabat, Nabi Muhammad SAW segera mengetuk pintu. Tak lupa beliau berucap salam. Hanya suara lemah yang terdengar. Suara lemah yang menggambarkan bahwa orang yang membalas salam tersebut dalam keadaan sakit keras. Nyaris perasaan Nabi Muhammad SAW tak kuat lagi. Langsung saja pintu rumah dibukanya. Dan tiba-tiba Nabi Muhammad SAW terbelalak ketika melihat kondisi sang sahabat. Sahabat itu terkulai lemah di ranjangnya.

Ketika mengetahui orang yang menengoknya adalah Nabi Muhammad SAW, sahabat itu pucat pasi. Keringat dingin mengucur deras sebagai pertanda rasa ketakutan yang teramat sangat. Sahabat itu ketakutan karena disangkanya Nabi Muhammad SAW akan membalas dendam. Ya, Nabi Muhammad SAW dikira akan membalas dendam karena sahabat itu terlalu sering menyakitinya. Semakin Nabi Muhammad SAW mendekati dirinya, sahabat itu semakin pucat pasi.

Ketika sudah berada di sampingnya, tak disangka Nabi Muhammad SAW meletakkan tangan lembutnya di dahi. Lalu, tangan Nabi Muhammad SAW mengusap-usap tangan sahabat. Dengan suara lembut, Nabi Muhammad SAW bertanya tentang penyakit dan perasaan yang dirasakan sahabat.

Mendengar bahasa halus Nabi Muhammad SAW, sahabat itu bergidik gemetar. Perasaannya berkecamuk. Sahabat itu tak pernah menyangka bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki watak yang sedemikian mulia. Sama sekali Nabi Muhammad SAW tidak menampakkan rasa dendamnya. Justru Nabi Muhammad SAW memerlihatkan kepribadiannya yang penyayang dan penyantun. Sungguh perilaku Nabi Muhammad SAW itu mengetuk hati sahabat. Tiba-tiba, sahabat itu mencium tangan Nabi Muhammad SAW. Dengan suara gemetar, sahabat itu berusaha berkata-kata.

“Wahai Muhammad. Ketika engkau akan beribadah, saya selalu mengganggumu. Saya selalu menyakitimu. Saya selalu berusaha agar kamu tidak dapat beribadah dengan segala caraku. Namun, semua usahaku ternyata gagal. Hari ini, saya sedang sakit. Tak seorang pun teman-temanku menengokku. Justru kamu adalah orang yang pertama menengokku. Sungguh hatimu teramat mulia. Maka, persaksikanlah wahai Muhammad, bahwa saya masuk Islam.”

---

Setiap saya mengingat kisah di atas, saya langsung malu. Saya teramat malu. Bukan tanpa sebab, melainkan saya selalu teringat dengan tabiat burukku pada masa lampau. Dahulu, saya termasuk orang yang suka mendendam. Saya mudah tersinggung jika saya disakiti. Maka, saya selalu berusaha untuk membalas dendam kepada orang-orang yang pernah menyakitiku. Kadang niatku berhasil tetapi sering pula niat itu kandas.

Di kompasiana, saya pun mengalami kejadian serupa. Dahulu, saya pernah mengalami perilaku-perilaku buruk. Ketika itu, saya menulis sesuatu. Ternyata tulisan itu tidak berkenan di hati kawan-kawan. Bahkan tulisan itu terasa menyinggung perasaan banyak orang. Lantas orang-orang itu menulis tentangku. Dan saya pun mendapat sindiran, hujatan, cemoohan, makian, hujatan, bahkan dampratan. Seumur-umur, saya belum pernah mengalaminya. Lalu, saya pun berusaha bersabar.

Suatu hari, saya bertemu dengan seseorang. Lalu, saya pun berbagi kisah yang terjadi dan menimpaku. Dan betapa dahsyatnya nasihat orang itu. Sungguh saya terkagumkan oleh tutur katanya nan penuh hikmah.

“Johan, saat ini, kamu sedang berhadapan dengan dunia maya. Kamu tidak dapat bertemu dengan lawan tuturmu secara langsung. Semua komunikasi dilakukan melalui tulisan. Maka, kamu harus berusaha bersabar atas tulisan-tulisan itu. Semakin tinggi keinginan yang hendak kamu dapatkan, semakin banyak pula orang akan menentangmu. Itu adalah ujian karena ujian hanya akan menghasilkan lulusan terbaik. Atau justru kamu ingin gagal dari ujian itu?”

Kalimat-kalimat itulah yang meruntuhkan keinginanku untuk membalas dendam. Sejak saat itu pula, saya tidak pernah berkeinginan untuk membalas dendam sekecil apapun kepada orang yang pernah menyakitiku sebesar apapun. Saya justru berterima kasih karena mendapatkan ujian itu. Entah saya dinyatakan lulus atau tidak, saya justru mendapatkan pelajaran yang teramat berharga daripada kuliahku di kampus. Maka, saya perlu berterima kasih kepada semua sahabat yang pernah menegurku waktu itu.

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun