Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Jika Guru Menjual Muridnya

15 Mei 2012   17:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:15 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1337130029607339224

[caption id="attachment_188534" align="aligncenter" width="650" caption="Ilustrasi/Kompasiana (KOMPAS.com)"][/caption] Pemerintah telah meningkatkan kesejahteraan guru. Pemberian tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok benar-benar berpengaruh terhadap gaya hidup dan penampilan keseharian. Kini, nyaris kita tidak lagi menemukan guru yang bersepeda onthel ke sekolah. Jarang dan teramat jarang guru mengenakan pakaian kumal. Bahkan, kini guru sudah bermobil, menggunakan pakaian yang berharga mahal, serta memiliki beragam gadget terbaru yang canggih. Ya, guru sekarang sudah menikmati kesejahteraan yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Saat ini, saya berbicara tentang guru PNS dan atau guru bersertifikat professional yang memang berhak mendapatkan tunjangan profesi itu karena memang masih ditemukan guru tidak tetap alias honorer dengan honor sekitar Rp 100 ribu per bulannya. Namun, agaknya kita perlu menahan nafas sejenak. Sebuah perilaku buruk sedang dilakukan oknum guru. Kesejahteraan yang dinikmatinya tidak disyukurinya. Demi meraup keuntungan berlebih, oknum guru itu rela "menjual murah" muridnya. Lalu, bagaimana guru itu menjalankan aksinya? Tahun ajaran baru masih cukup lama. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) akan dilakukan pada pertengahan Juni hingga awal Juli 2012. Namun, oknum guru sudah mulai menjalankan aksinya untuk menjual para muridnya. Ya, guru-guru itu rela menjual muridnya demi mendapatkan keuntungan sedikit untuk pengorbanan yang teramat besar. Seperti yang pernah saya tuliskan di sini, saat ini, telah muncul persaingan yang tidak sehat antara sekolah negeri dengan sekolah swasta di daerahku. Banyak sekali sekolah swasta "bermain" demi mendapatkan banyak siswa baru seraya menjual murah bangku sekolah.  Guru asal murid tidak lagi memberikan pandangan tentang sekolah lanjutan yang baik karena mereka menganggap bahwa itu bukan lagi tugasnya. Lalu, mengapa guru-guru itu rela menjual murah bangku sekolah? Guru-guru itu menjual muridnya karena diiming-imingi dengan sejumlah uang dan atau barang. Modusnya sangatlah sederhana. Bagi guru SD/ MI, mereka menjual murid-muridnya yang duduk di kelas VI ke guru atau kepala SMP/ MTs. Guru-guru SMP/ MTs pun menjual murid-muridnya yang duduk di kelas IX ke guru atau kepala SMA/ SMK/ MA. Bahkan, saya pernah mendengar kabar bahwa harga seorang siswa hanya seragam gratis plus uang Rp 5000. Lalu, darimanakah guru itu mendapatkan modal untuk "membeli" para calon muridnya? BOS alias dana Bantuan Operasional Sekolah. Saat ini, banyak sekolah susah mendapatkan murid. Di satu tempat, ada sekolah yang mampu menjadi sekolah favorit sehingga sekolah itu berani menolak pendaftaran siswa baru. Namun, begitu banyak sekolah tidak dilirik sama sekali oleh para calon murid karena ketidakmampuan manajerial kepala sekolah dan guru-guru di dalamnya. Dan itu berdampak fatal: sekolah itu menjadi sekolah miskin murid karena kalah bersaing dengan sekolah swasta yang memiliki banyak modal untuk mendapatkan murid. Sekolah swasta memang memiliki sumber keuangan tanpa batas. Selain mendapatkan BOS dari pemerintah berdasarkan jumlah muridnya, sekolah swasta masih menarik biaya tambahan dari orang tua siswa yang jumlahnya sangat fantastis. Jadi, teramat wajar jika sekolah swasta berani mengeluarkan banyak modal demi mendapatkan banyak calon murid. Toh mereka akan mendapatkan gantinya karena uang BOS dihitung berdasarkan jumlah murid. Sering saya berpikir tentang kondisi ini. Siapa yang salah dengan kondisi ini dan bagaimanakah saya mengatasi masalah ini? Selain keterbatasan kewenangan, saya memang tidak dapat berbuat lain kecuali memulai diri dengan menjadi guru yang baik. Guru yang menjadi panutan karena berani memertahankan kejujuran. Guru yang tetap berusaha menjadi guru yang baik di saat terjadi krisis moral di kalangan rekan sejawat. Dan guru yang tetap menjaga prinsip wong nandur bakal ngunduh alias siapa menebar benih bakal memanen. Atas kondisi jual-beli calon murid di atas, saya hanya dapat melakukan tindakan preventif. Sebenarnya sekolah-sekolah negeri tidak perlu pusing memikirkan kondisi itu. Jika sekolah negeri itu sudah menjaga kualitas pendidikan murid, saya yakin bahwa itu dapat menjadi magnet alias daya tarik bagi calon murid. Jika para guru berkeinginan kuat untuk terus mengembangkan kreativitas metode dan model pembelajarannya, saya yakin bahwa murid-muridnya akan menceritakan kehebatan guru-guru itu kepada sanak-tetangga dan kerabatnya. Namun, hendaknya pemerintah pun turun tangan karena sekolah negeri itu menjadi aset pemerintah. Mungkin pemerintah perlu mengevaluasi guru atau kepala sekolahnya agak sekolah negeri tidak miskin murid. Mudah-mudahan pemerintah melakukannya. Teriring salam, Johan Wahyudi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun