Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jika (Calon) Ustadz-nya Macam Gini, Gimana Umatnya?

5 Januari 2012   00:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:19 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1325724931641175688

[caption id="attachment_161310" align="aligncenter" width="640" caption="Ketiga anakku selalu menjaga ketenangan ketika makan."][/caption]

Istilah ustadz digunakan untuk menyebut seseorang yang mahir, paham, dan menjadi pengamal ajaran agama Islam. Tidak sembarang orang gelar ustadz diberikan. Konon gelar itu hanya diberikan kepada orang yang benar-benar dianggap menguasai ajaran agama dengan baik. Tentunya tidak sekadar memahami, tetapi juga melaksanakan ajaran agama itu secara konsisten. Oleh karena itu, kita teramat jarang menemukan sosok ustadz yang kredibel alias tepercaya. Mengapa? Sulit dan teramat langka bin sulit kita menemukan ustadz yang memiliki keseimbangan alias kesepadanan antara ucapan dan tindakan.

Berkenaan dengan itu, saya terinspirasi untuk menuliskan pengalaman alias daya tangkapku atas sebuah informasi yang pernah ditayangkan sebuah televise swasta. Stasiun televise itu memang sedang menyeleksi calon ustadz atau dai. Ada beberapa orang yang tampak menjadi pesertanya. Seperti acara-acara idol lainnya, pemilihan dai aias ustadz itu digelar untuk menjaring dai terpilih. Maka, nyaris semua kegiatan calon dai itu diekspos hingga hal-hal sekecil-kecilnya oleh media tersebut. Tentunya ekspos itu bertujuan untuk menarik simpati para penonton.

Beberapa hari lalu, saya terkaget-kaget alias terheran-heran sekaligus geram. Saya melihat calon ustadz alias dai itu sedang menyantap mie ayam. Lalu, mereka terlibat ngobrol dengan temannya meskipun mulutnya dipenuhi makanan. Menggunakan istilah Jawa: mulutnya masih moco-moco karena banyak makanan berjejal di mulut. Tanpa merasa bersalah, calon ustadz alias dai itu terus saja ngobrol meskipun makanan itu belum habis disantap. Istilah lainnya, ustadz alias dai itu tidak memedulikan kesopanan alias etika menyantap makanan.

Ajaran agama (Islam) jelas memberikan tuntunan tentang etika seseorang yang sedang menyantap makanan. Beberapa ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Kita harus berusaha mencari tempat duduk dan dapat duduk pada tempat yang nyaman dan aman.
  2. Kita harus menjaga kebersihan makanan, tangan, dan tempat. Oleh karena itu, kita harus mencuci tangan dan menjaga kebersihan tempat.
  3. Kita harus membaca doa sebelum menyantap makanan. Doa itu berbunyi: Allahumma bariklana fii maa razaqtanaa, waqinaa ‘adzaa bannar.
  4. Kita harus makan dengan menggunakan tangan kanan kecuali terkondisi tertentu, seperti cacat, atau sakit
  5. Kita harus menjaga ketenangan selama makan. Kita tidak boleh berbicara sambil makan.
  6. Kita dilarang mengeluarkan bunyi selama makan.
  7. Kita dianjurkan untuk mengunyah makanan hingga lembut.
  8. Kita dianjurkan makan secara sederhana sehingga dapat berhenti sebelum merasa kekenyangan.
  9. Kita harus berdoa usai menyantap makanan yang berbunyi: Alhamdu lillahhil-ladzi ath-amanaa wa saqaana waja’alanaa muslimiin.
  10. Kita dianjurkan untuk membersihkan tempat makanan seperti sediakala.

Begitulah seharusnya etika ketika kita makan. Namun, saya sama sekali tidak melihat calon ustadz alias dai itu berperilaku demikian. Justru saya melihat gaya dan cara berbicara yang cenderung menyepelekan ajaran agama. Jika calon ustadz atau dai itu benar-benar terpilih menjadi dai alias ustadz dan berdakwah, saya justru mengkahwatirkan terjadinya kerusakan etika pada masyarakat. Dakwah paling santun adalah keteladanan dan tidak perlu terlalu banyak bicara. Begitulah ajaran nabiku…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun