[caption id="attachment_180112" align="aligncenter" width="600" caption="Pak Misbachul Chairil Anwar, Kepala Sekolah, sedang memberikan sambutan."][/caption] Sekolah dapat diibaratkan sebagai kawah candradimuka. Sebuah media untuk pembentukan karakter anak demi masa depannya. Sekolah sangat menentukan kualitas hidup anak di kemudian hari. Oleh karena itu, hendaknya kita memedulikan sekolah yang dipilih untuk anak-anak kita. Jangan hanya didasarkan factor biaya dan atau jarak. Namun, hendaknya kualitas menjadi pertimbangan utama. Senin lalu, kebetulan saya dapat menyelesaikan pekerjaan lebih awal karena saya telah mencicil penyelesaian pekerjaan pada malam harinya. Akhirnya, saya memiliki banyak waktu untuk sekadar membaca-baca buku dan atau media social. Merasa jenuh dengan kondisi itu, menjelang tengah hari, saya berangkat ke sekolah anakku: SD Unggulan Aisiyah Gemolong, Kabupaten Sragen. SD keislaman itu dipimpin oleh Bapak Misbachul Chairil Anwar. Saya mengenal baik Pak Misbach karena beliau pernah menjadi santriku ketika masih bersekolah di Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) MAN 1 Surakarta, Solo. Memang pada awalnya saya merenda masa depan dengan menjadi ustadz di sekolah itu. Saya adalah alumnus MAN Surakarta tahun 1991. Jadi, Pak Misbach mengenal saya dengan baik dan itu pun berlaku sebaliknya. Bahkan, Pak Misbach juga menjadi kompasianer. Silakan Anda mampir ke lapaknya: Misbachul Chairil Anwar. Sekitar jam 12.00, saya sudah tiba di sekolah tersebut. Seorang guru tampak akan menunaikan sholat dhuhur ke masjid sekolah. Memang sekolah itu memiliki masjid berlantai dua yang cukup representative. Lantai satu digunakan untuk tempat berwudlu, koperasi sekolah, dan tempat parkir guru. Lantai dua digunakan sebagai masjid dengan fasilitas dua pintu dan sarana kemasjidan yang cukup lengkap. Melihat kedatanganku, pak guru itu langsung menyapaku dengan salam dan mengajakku untuk bersalaman. Lalu, kami pun bincang-bincang. Ketika berbincang-bincang itulah, Pak Misbach keluar dari kantor guru. Langsung saja Pak Misbach menyalamiku. Akhirnya, kami bertiga berjalan menuju masjid karena kebetulan saya belum menunaikan sholat dhuhur. Usai berwudlu, kami menaiki tangga masjid. Ketika tiba di lantai dua, saya teramat kaget dengan pemandangan yang saya lihat. Tampak anak-anak duduk berbaris dalam shaf. Seorang anak yang tampak berwibawa memandu pembacaan sholat agak keras. Anak itu menggunakan mikropon agar aba-abanya dapat didengarkan oleh barisan anak putri yang duduk di bagian belakang. Ternyata, memang sekolah itu membiasakan anak-anak kelas 1 dan 2 untuk menghafalkan bacaan sholat usai menunaikan sholat berjamaah.Tentunya itu dapat dimaklumi karena anak-anak kelas 1 dan 2 tentu belum dapat menghafalkan bacaan semuanya secara tertib. Dipandang sudah cukup, anak yang menjadi pemandu itu mulai menata barisan. Lalu, anak itu menutup acara penghafalan bacaan itu dengan doa akhir majelis. Dan tampaklah sebuah pemandangan yang menarik lagi. Anak-anak itu berdiri dan berjalan dengan tertib menuju pintu keluar. Anak lelaki keluar dari pintu utara sedangkan anak perempuan keluar dari pintu selatan. Semua anak tidak boleh berisik dan berebutan keluar. Di pintu keluar, bapak-ibu guru menyambutnya seraya anak-anak itu bersalaman sambil mencium tangannya. Dan anak-anak itu menuruni tangga serta mengenakan sepatu dengan tertib pula. Luar biasa. Melihat anak-anak sudah menunaikan sholat, Pak Misbach dan rekan-rekan guru memersilakanku untuk menjadi imam. Lalu, saya pun langsung maju ke tempat imam. Pada siang itu, saya menjadi imam sholat dhuhur di masjid anakku. Usai sholat, tentunya kami berdzikir sejenak. Kami memuji Allah dan mohon ampunan atas segala dosa yang pernah kami perbuat. Setelah semua aktivitas berakhir, saya bersalaman dan ngobrol dengan rekan-rekan guru sekolah tersebut. Ternyata, memang sekolah itu memberikan pembiasaan keagamaan dan keilmuan secara berimbang. Agama dikenalkan sejak anak itu datang ke sekolah, menunggu pengajaran dimulai, pembelajaran di kelas, makan (kebetulan sekolah itu menyediakan makan bersama untuk semua guru dan murid), sholat, hingga pulang sekolah. Atas kedisiplinan yang begitu kuat, tampak semua murid memiliki kharismatik yang luar biasa. Wajahnya bersinar cerah dalam cahaya ilmu umum dan agama. Sebuah keseimbangan yang sulit didapatkan di tempat lain. Maka wajarlah SD Unggulan Aisiyah pernah menjadi juara sejak tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Kesan yang tak terlupakan. --- Hari ini, istriku akan mendatangi sekolah anakku guna melakukan daftar ulang atau heregristasi. Kebetulan anak keduaku, Ilham Ahmad Husaini, diterima di SD Unggulan Aisiyah Gemolong setelah mengikuti beragam tes masuk. Jadi, saya menitipkan kedua anakku untuk dididik guru-guru di sekolah yang sama. Ya, saya memang sangat terkesan dengan budaya yang dikembangkan guru-guru di sana. Anak pertamaku, Muhammad Zuhdi Alghifari, telah menunjukkan prestasi yang luar biasa. Atas prestasi yang telah diraih anak pertamaku itulah, saya menginginkan anak keduaku dapat mengikuti jejak kakaknya. Dan sepertinya saya tak salah pilih atas keputusan ini. Teriring salam, Johan Wahyudi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H