Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ini [Bukan] Guru Kita: Terlambat Masuk Kelas

16 Desember 2011   10:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:10 2018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah tata tertib yang terpampang di kelas berbunyi bahwa setiap murid harus masuk ke kelas pada jam 07.00. Bagi murid yang terlambat akan dikenakan sanksi. Beragam sanksi siap diberikan kepada setiap murid yang melanggar, seperti pemberian poin pada buku saku, push up, berdiri di depan kelas, berucap minta maaf di depan kelas, membersihkan kelas dan lain-lain. Oleh karena itu, setiap murid tentu berusaha agar dirinya tidak tercatat sebagai murid yang terlambat masuk ke kelasnya.

Namun, peraturan itu tidak berlaku bagi guru. Guru “boleh” seenaknya masuk kelas. Banyak alasan digunakan guru untuk mengelabui kesalahannya. Beragam alasan itu sering disampaikan kepada murid agar guru tetap terlihat berwibawa di depan murid. Beragam alasan itu adalah rapat di ruang guru, menyelesaikan pekerjaan di ruang guru, ada yang ketinggalan di ruang guru, dipanggil atasan dan lain-lain. Maka, guru pun terlambat masuk ke kelas dan terlambat pula mengajar murid.

Coba, marilah kita memerhatikan kelakuan oknum-oknum guru di ruang guru. Mereka sering tidak menyadari bahwa dirinya datang terlambat ke sekolah. Meskipun terlambat dating ke sekolah, mereka pun tidak segera masuk ke kelas. Di ruang guru, mereka asyik berbincang dengan teman-temannya. Banyak hal dibicarakan tetapi justru bukan masalah pendidikan yang dibicarakan. Perbincangan itu lebih menitikberatkan pada permasalahan pribadi daripada sekolah, seperti keluarga, belanja, penampilan, hobi, film, belanjaan dan lain-lain.

Karena banyak topic menjadi bahan perbincangan, mereka sering tidak menyadari bahwa para murid sudah lama menunggunya di kelas. Silih berganti mereka saling bertukar pengalaman pribadi. Para guru pun tak malu tertawa-tawa agak keras sehingga terdengar dari ruang lain. Para guru itu sudah lupa bahwa para murid sudah menunggunya di kelas.

Para murid itu sudah duduk dengan tenang di kelas. Kelas pun sudah tertata rapi dan bersih. Piranti pengajaran pun sudah siap digunakan. Namun, guru belum juga terlihat masuk ke kelas. Atas kondisi itu, ketua kelas pun berinisiatif untuk “menjemput” gurunya ke ruang guru. Dengan mental yang disiap-siapkan, ketua kelas itu berjalan untuk untuk “menghadap” gurunya. Jujur saja, ketua kelas tentu merasa takut, risih, dan juga malu jika harus melakukan itu. Namun, ketua kelas terpaksa melakukannya agar pembelajaran di kelas segera dilaksanakan.

Setiba di depan gurunya, ketua kelas itu “mencium” tangan gurunya. Dengan kepala tertunduk, ketua kelas itu berkata, “Pak, Bapak punya jam mengajar di kelas kami.”

Dengan entengnya, pak guru menjawab, “Oke. Tunggu saja di kelas. Saya selesaikan dulu pekerjaan ini.”

Mendengar jawaban gurunya, ketua kelas pun terdiam. Tak ada sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Selanjutnya, ketua kelas itu pun berpamitan setelah “mencium” tangan gurunya. Dengan langkah gontai, ketua kelas berjalan menuju kelas. Jelas tergambar wajah yang dipenuhi kekecewaan. “Apa yang harus kukatakan kepada teman-teman tentang Pak Guru tadi, ya?” batin ketua kelas itu.

Setiba di ruang kelas, ketua kelas itu pun berdiri. Dengan wajah menatap lurus, ketua kelas itu memberanikan diri untuk menyampaikan “laporan” usai bertemu gurunya. Maka, muncullah ucapan, “Teman-teman, Pak Guru sedang sibuk. Beliau sedang menyelesaikan pekerjaannya di ruang guru. Kita diminta untuk bersabar menunggu. Begitu pesan beliau kepada kita.”

Mendengar laporan ketua kelas itu, sontak muris sekelas berteriak, “Huuuuu……!!!!” Kelas pun geger.

Mendengar suara gaduh-gaduh dari kelasnya, Pak Guru segera mendatanginya. Ditutupnya obrolan dengan teman sejawat. Ditutupnya kertas-kertas yang berserakan di meja kerjanya. Ditutupnya netbook-nya usai ber-chatting ria dengan sahabat mayanya. Pak guru itu berjalan tenang menuju kelas tanpa diliputi perasaan berdosa. Dan tibalah Pak Guru di depan kelas.

“Ada apa kelas ini gaduh? Kalian itu sudah dewasa. Kalau gurunya tidak ada, kalian ‘kan bisa belajar mandiri. Sudah besar kok minta diajarin terus. Ayo, cepat buka buku kalian!” perintah sang guru. Kelas pun menjadi hening karena para murid diliputi ketakutan. Takut dihukum jika berani bersuara lagi. Lebih baik murid diam daripada menerima hukuman adalah sebuah prinsip yang sering ditanamkan oknum guru agar para murid tidak berani bersuara!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun