[caption id="attachment_156200" align="aligncenter" width="640" caption="Ibu, terima kasih untuk keluhan yang menyadarkanku."][/caption]
Kamis, 1 Desember 2011, petang itu. Jam dinding sudah menunjuk angka 18.45. Saya masih menikmati pijatan di rumah pemijat usai seharian bekerja. Saya memang memiliki kebiasaan pijat capek setiap 2-3 hari. Saya sudah memiliki pemijat jempolan. Ia adalah mantan pemijat pemain bola semasa saya menjadi manajer klub kampung. Tangannya begitu kuat memijat sehingga rasa capek pun keluar tak berbekas. Karena keampuhan tangannya inilah, saya sudah menjadi pelanggan tetapnya dan tak ingin berpindah ke pemijat lainnya.
Tiba-tiba, pintu rumah pemijat diketuk. Langsung saja seorang lelaki masuk. Sebut saja pria itu bernama Marwan, “Pak guru, ibumu kecelakaan. Bu Mar jatuh dari motor. Sekarang dirawat di Dokter Ramin. Jenengan disuruh menjemputnya dengan mobil.” (Mar = sebutan ibuku dari kata Mardliyah, jenengan (jw) = kamu)
Sontak saya terbangun dari tidur. Langsung saja saya menepis tangan pemijat. Tanpa banyak tanya, saya langsung berlari pulang. Saya ingin langsung mengetahui kondisi ibuku. Maka, begitu tiba di rumah, saya langsung memberitahukan kejadian itu kepada istriku. Selanjutnya, saya berpamitan untuk menjemput ibunda. Semenit kemudian, saya sudah berada dalam perjalanan menuju rumah Pak Dokter.
Setiba di rumah Dokter Ramin, begitu banyak orang berkerumun. Saya tidak memedulikan lingkungan. Saya langsung berjalan menuju kamar rawat. Dan sungguh air mataku tak tertahankan. Kaki ibuku mengalami sobek sehingga perlu dijahit. Mata kiri pun terlihat sembab karena luka jatuh. Saya menangis sambil mengelus-elus luka ibunda. Dalam isakan itu, ibu pun berkisah.
Malam itu, ibunda ingin menghadiri pengajian rutin malam Jumat. Di kampungku, ibu-ibu memiliki kegiatan pengajian rutin malam Jumat dari rumah ke rumah. Kegiatan itu sudah terselenggara berpuluh-puluh tahun. Semua ibu di kampungku nyaris menjadi jamaahnya. Mungkin semua berjumlah sekitar 100 orang. Pengajian itu berbentuk kegiatan membaca Al Quran dan juga ceramah. Kadang mubaligh mengisi acara itu pula.
Malam itu, ibunda ingin dijemput oleh temannya. Kebetulan, teman ibunda berdekatan rumah. Tak disangka, seorang bapak berbaik hati. Beliau mengendarai motor. Lalu, bapak itu ingin mengantarkan ibunda dan temannya. Ibunda duduk di tengah motor sedangkan temannya duduk di belakangnya. Motor tua itu dinaiki tiga orang. Baru berjalan sekitar dua ratus meter, ibu berkata, “Mas, lungguhku-ku kok melorot?” (Mas, dudukku kok bergeser?). Baru saja motor akan dihentikan, ibuku sudah jatuh. Lututnya pun robek karena terantuk jalanan yang disemen.
Ibu pun mengeluh karena keinginannya untuk mengaji tertunda. Ibu memang rajin menghadiri pengajian. Nyaris ibu belum pernah membolos kegiatan itu. ibu selalu berusaha menyempatkan diri agar dapat menghadiri pengajian meskipun memiliki banyak kesibukan. Atas keluhan itulah, tangisanku semakin tersedu-sedu.
Bukan luka menganga sehingga perlu dijahit karena terjatuh ibuku mengeluh. Bukan anak-anaknya yang terlambat datang untuk menjenguk ibuku mengeluh. Bukan obatnya yang cukup mahal ibuku mengeluh. Dan bukan pula harus beristirahat cukup lama ibuku mengeluh. Ibuku mengeluh karena tidak dapat menghadiri pengajian.
Sejujur-jujurnya, saya suka membolos atau malas menghadiri pengajian karena kesibukan pekerjaan. Saya lebih suka bekerja di rumah daripada berlama-lama duduk mendengarkan pengajian. Saya lebih suka menyalurkan hobi menonton bola daripada jauh-jauh datang untuk menghadiri pengajian. Kadang saya berpikir karena saya masih berusia muda sehingga saya malas menghadiri pengajian. Mendengar keluhan ibu, sontak saya disadarkan bahwa usiaku belum tentu sepanjang keinginanku. Ibu, terima kasih untuk keluhanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H