[caption id="attachment_213186" align="aligncenter" width="620" caption="Mestinya PKG menggunakan dasar kualitas anak didik daripada portofolio copypaste (Foto: KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI)"][/caption]
Pendidikan bertujuan menciptakan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang memiliki kecerdasan mental dan spiritual. Tujuan itu dapat dicapai jika pendidik (baca: guru) sering berinteraksi dengan peserta didik (baca: murid). Tujuan itu sulit dicapai jika guru jarang mengajar murid karena beragam tugas-tugas lainnya. Bukannya guru itu ingin bermalas-malasan, melainkan tugas itu pun termasuk tugas dinas. Jika kondisi itu dibiarkan, mungkinkah tujuan di atas dapat tercapai. Mimpi kaleee...!!!
Kemarin (Selasa, 18 September 2012), seharian saya menghadiri undangan untuk kegiatan Sosialisasi Penilaian Kinerja Guru (PKG) di daerahku. Beberapa pejabat Dinas Pendidikan tampak hadir juga. Seorang pejabat dari kementerian menjadi pembicara untuk menyampaikan materi dimaksud. Dan saya berusaha mencermati setumpuk dokumen yang diberikan petugas di mejaku. Sambil sesekali mendengarkan dan mengikuti petunjuk pemateri, saya membuka-buka dokumen itu. Dan alhasil, saya heran dan terheran-heran sekaligus geregetan. Apa pasal? Berdasarkan dokumen tersebut, ada beberapa hal yang harus dicermati guru, orang tua, dan pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Apa saja itu?
Guru Dibelokkan Tupoksinya
Guru memiliki tugas dan fungsi sebagai pendidik atau pengajar berdasarkan disiplin ilmunya. Oleh karena itu, mestinya guru diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengajar anak didik. Berdasarkan dokumen yang diberikan kepada peserta, saya bergidik dengan beragam tugas yang harus dikerjakan guru. Untuk menyelesaikan satu tugas saja, guru masih kesulitan menyampaikan materi secara komprehensif. Kini, guru dihadapkan kepada tugas-tugas lain yang lebih menekankan kepada aspek portofolio daripada pembelajaran.
Mengapa pemerintah mengambil kebijakan portofolio daripada kompetensi output pembelajaran? Mestinya pemerintah mengukur keberhasilan guru berdasarkan lulusan dan prestasi murid dan guru pada akhir tahun pembelajaran? Mestinya prestasi murid yang pernah diajar itu dijadikan instrumen penilaian kinerja guru (PKG) daripada setumpuk ketertiban administrasi? Jika profesionalisme guru diukur berdasarkan ketertiban administrasi mengajar, guru pasti mengejar perangkat administrasi dan mengabaikan tupoksinya?
Saya tak habis pikir, mengapa pola pikir pengambil kebijakan itu cenderung mengutamakan kertas daripada hasil kerja? Mengapa sistem itu digunakan dengan mengabaikan tugas pokok guru sebagai pendidik? Jika guru ditekan masalah ketertiban administrasi, tentunya orang-orang penting itu berpikir bahwa kebijakan itu rawan penyimpangan. Guru tak lagi bergairah mengajar karena keasyikan menertibkan administrasi pembelajaran.
Saya teringat ketika saya masih menjadi guru tidak tetap alias guru honorer sekitar tahun 1997. Waktu itu, perangkat pembelajaran berbentuk tulisan tangan. Perangkat itu dapat digunakan untuk kelas pada jenjang yang sama selagi kurikulum belum diganti. Oleh karena itu, guru cukup membuat perangkat sekali sehingga guru dapat berinteraksi dengan murid secara efektif. Kebijakan itu menghasilkan lulusan yang luar biasa baiknya. Banyak mantan muridku diterima di perguruan tinggi ternama dalam dan luar negeri.
Kini, kurikulum diganti dan diubah-ubah sesuka hati. Hari ini begini, esok diganti lagi menurut selera pemangku kebijakan. Konon katanya demi menyesuaikan perkembangan zaman dan kebutuhan. Jika memang kurikulum itu bertujuan meningkatkan mutu pendidikan, cobalah Anda bandingkan mutu pendidikan masa lalu dan masa sekarang. Menurutku, justru perubahan kurikulum itu menenggelamkan mutu pendidikan karena guru tak lagi diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berinteraksi dengan siswa di kelas. Guru justru diberikan bertumpuk-tumpuk tugas administrasi yang mengakibatkan guru untuk meninggalkan kelasnya. Pantas saja prestasi anak tenggelam dan kalap!
Pak Mendikbud, apakah Bapak sudah memikirkan dampak buruk ini? Mengapa guru justru diminta untuk menjadi pemulung kertas administrasi daripada pemulung ilmu yang dapat disampaikan kepada murid-muridnya? Mengapa penilaian guru-guru itu ditekankan pada aspek administrasi daripada output atau lulusan? Mestinya sistem penilaian itu berdasarkan waktu akhir dan bukan berdasarkan waktu awal. Ingat Pak Mendikbud, kebijakan ini berpotensi buruk dan makin menenggelamkan esensi tujuan pendidikan!
Teriring salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H