Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Belajar Kesalehan kepada Sopir Pasir

27 Juni 2012   06:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13407788801937197110

[caption id="attachment_197296" align="aligncenter" width="577" caption="Sopir pasir telah menjadi guruku siang ini."][/caption]

Umur kita tak lagi dapat dikira. Mau dapat datang kapan saja tanpa diduga. Oleh karena itu, hendaknya kita selalu ingat mati. Kesibukan bekerja mestinya tidak boleh menjadi penyebab keengganan untuk bersegera memenuhi panggilan-Nya. Begitu masuk waktunya, alangkah baiknya jika kita segera meluangkan waktu untuk beribadah, berampun, dan berharap kepada-Nya. Sungguh kita sering lengah dan melengahkan diri. Maka, marilah kita belajar kepada para sopir pasir di daerahku.

Di sebelah selatan ruko yang saya bangun, sebuah mushola berdiri. Tidak terlalu luas tetapi begitu ramai dikunjungi para musafir atau orang yang berada dalam perjalanan. Nyaris mushola itu tak pernah sepi dari aktivitas beribadah. Selain tempatnya sangat strategis, mushola yang berukuran sekitar 12m x 12m itu memiliki sarana kesehatan yang bersih: toilet, air bersih, kipas angin besar, parkir lumayan luas, dan rindang karena rindangnya pepohonan.

Seperti siang ini, dua buah truk pasir dan lima motor sales terparkir di mushola. Ketika masuk waktu sholat dhuhur, saya menghentikan aktivitas pembangunan. Usai menemani para pekerja untuk makan siang, saya pun berjalan kaki menyeberang jalan menuju masjid. Saya hanya berusaha menunaikan kewajibanku tepat waktu. Saya membiarkan para pekerja yang kekenyangan makan siang. Dua di antara pekerja mengikuti langkahku menuju mushola.

Karena sholat dhuhur berjamaah sudah selesai ditunaikan, saya segera berwudlu untuk ambil bagian jamaah bagian kedua. Dua sopir, 5 salesman, dan dua pekerjaku menjadi makmum karena saya ditunjuk sebagai imam. Sholat dhuhur berjamaah pun terlaksana dengan khusuk. Alhamdulillah....

Terlihat sopir dan salesman sedang berdzikir. Mereka terlihat khusuk memohon kepada Sang Pencipta. Tentunya permohonan itu beragam. Namun, secara umum, tentu permohonan itu berisi tentang keinginan untuk memiliki kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia dapat dibaca dengan tercukupinya segala kebutuhan dunia sedangkan kebahagiaan akhirat terbaca dari kedisiplinannya beribadah. Atas kondisi itulah, saya dibuat malu. Mengapa?

Sehari-hari, saya sering menunda tertunaikannya kewajiban. Karena kesibukan keduniaan, saya sering menyepelekan seraya tidak bergegas untuk beribadah. Saya sering menganggap bahwa urusan tugas itu lebih penting daripada beribadah. Tak terlintas di benakku untuk segera meninggalkan aktivitas. Bahkan, saya sering tidak kebagian sholat berjamaah meskipun memiliki waktu yang cukup. Dan ketika diketahui terlambat itulah, saya tidak menyesalinya. Sungguh saya malu dengan para musafir itu.

Nyaris saya telah memiliki semua kenikmatan keduniaan. Tuhan begitu bermurah hati seraya mudah mengabulkankan permohonanku. Usai minta ini dan dituruti-Nya, saya langsung minta itu. Tak lama kemudian, permintaan itu pun dikabulkan-Nya. Maka, kadang saya berpikir, apalagi keinginanku yang belum dikabulkan-Nya?

Berkaca kepada para musfir itu, mereka begitu tekun beribadah. Ketika akan beribadah, mereka mengganti pakaian lusuhnya. Ternyata mereka menyiapkan pakaian bersih untuk ibadahnya. Justru saya sering tidak berganti pakaian ketika akan beribadah. Lalu, mereka merelakan waktu perjalanan demi menunaikan kewajibannya. Mereka mengikhlaskan waktu nan berharga itu agar menjadi hamba-Nya nan takwa. Teramat berbeda denganku yang sering men-jamak sholat ketika berada dalam perjalanan. Meskipun itu dibolehkan, akan terasa lebih afdhol jika sholat ditunaikan berdasarkan waktunya.

Satu hal yang membuatku malu adalah penghasilan. Rerata pendapatan atau upah para sopir truk pasir itu hanya berkisar Rp 50.000 – 100.000. Mereka berangkat ke Yogyakarta atau Klaten sekitar jam 03.00. Mereka baru tiba kembali dengan mengangkut pasir Gunung Merapi sekitar 13.00, bahkan lebih petang lagi. Semua dipengaruhi situasi lokasi penambangan pasir, perjalanan, dan kondisi mobil. Maka, mereka hanya dapat mengangkut pasir sekali setiap harinya. Menurutku, penghasilan mereka teramat minim jika dibandingkan dengan pengorbanan waktu, fisik, pikiran, dan keluarga.

Ya Allah Tuhan kami, terima kasih atas kebaikan-Mu. Siang ini, Engkau telah memberi pelajaran berharga kepada kami. Pelajaran kehidupan agar kami menjadi hamba-Mu yang pandai bersyukur. Para sopir itu telah menjadi guru-guru kami. Engkau begitu bijak mengirimkan guru-guru itu kepada kami kala kami merasa lapang atas rezeki dan waktu. Kami bermohon kepada Engkau Ya Allah, muliakanlah guru-guru kami itu dengan kelapangan rezeki, kebahagiaan keluarga, dan kesehatan dirinya. Bumi-Mu adalah tempat kami bersujud.

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Sumber gambar: Sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun