Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Banggaku kepada Anggito Abimanyu

17 Februari 2014   18:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:45 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_323168" align="aligncenter" width="588" caption="Salut atas keputusanmu, Pak Anggito"][/caption]

Jiwa ksatria jarang dimiliki seseorang. Kadang anak kecil sudah memiliki jiwa itu karena mereka begitu mudah meminta maaf karena telah melakukan kesalahan atau menyakiti teman. Namun, justru seorang professor tidak memiliki jiwa itu Para pakar yang berasal dari kalangan kampus itu sering berusaha mengelak ketika terjadi masalah yang dilakukannya. Simpulannya sederhana: jiwa ksatria jarang dimiliki sehingga kita perlu mengapresiasi seseorang yang berjiwa ksatria itu.

Siang tadi, saya terhenyak membaca berita Anggito Abimanyu Mundur sebagai Dosen UGM. Perasaanku campur aduk antara bangga, salut, dan kecewa. Saya bangga kepada Pak Anggito karena beliau berjiwa besar. Dengan penuh jiwa ksatria, beliau menyatakan, “Pengunduran diri saya dari UGM terkait artikel saya yang dimuat di Kompas di mana terdapat kesalahan pengutipan referensi dalam sebuah folder di komputer pribadi."

Atas pengakuan itu, saya langsung membuat status di FB: Sepertinya saya perlu menulis sesuatu untuk Pak Anggito Abimanyu. Kemarin saya nge-tag nama beliau untuk mengirimkan tulisan kompasianer tentangnya. Angkat topi tinggi-tinggi atas jiwa besarnya. Sikap sejati seorang intelek sejati.

Belumlah lama saya berteman dengan beliau di FB. Meskipun demikian, saya berusaha membuka komunikasi dengan memberikan like atau berkomentar jika beliau membuat status. Hingga suatu hari, saya memberanikan nge-tags nama beliau untuk memberikan link tulisan tentangnya yang berjudul Anggito Abimanyu Menjiplak Artikel Orang (Opininya di Kompas, 10 Februari 2014. Dan tulisan itulah yang menggetarkan jagad media online.

Saya salut atas sepak terjangnya di dunia akademisi dan pemerintahan. Beliau dikenal sebagai pribadi sederhana, cerdas, elegan, dan religius. Sebagai staf pengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, beliau dikenal banyak kalangan sebagai dosen yang mudah komunikatif tetapi memegang teguh prinsip idealisme.

Di pemerintahan pun, beliau dikenal sebagai sosok yang sangat professional. Seiring perkembangan politik, beliau sempat disebut-sebut sebagai calon kuat Wakil Menteri Keuangan. Agaknya kesempatan itu belum berpihak padanya sehingga jabatan itu lepas dari tangannya. Namun, tak lama kemudian, beliau ditunjuk sebagai Dirjen Haji dan Umroh Kementerian Agama.

Kini, beliau tersandung masalah plagiasi. Artikel yang beliau tulis dan dimuat di Harian Kompas, 10 Februari 2014, mengundang banyak kritikan. Dengan jiwa besarnya, beliau langsung menyatakan mundur sebagai Dosen UGM. Sebuah langkah berani, bertanggung jawab, dan ksatria. Beliau tidak berusaha berkelit, menghindar, atau mencari pembenaran atas tindakannya. Namun, saya pun memendam kekecewaan. Mengapa?

Kasus plagiasi yang dilakukan kaum intelektual bukanlah barang baru. Cukup banyak kasus ini bermunculan. Tidak hanya mereka yang bergelar sarjana, magister, atau doctor. Bahkan seorang yang bergelar professor pun pernah ketahuan melakukan plagiasi. Jadi, menurutku, kasus Pak Anggito Abimanyu adalah sebuah kecelakaan. Ibarat setitik nila, maka rusaklah susu sebelanga. Karena satu cela, maka rusaklah semua kebaikannya. Bagiku, pepatah itu tak layak diberikan kepada Pak Anggito Abimanyu. Satu alasanku: beliau berani mengakuinya di depan public. Adakah kaum intelektual berani bersikap yang sama dengan beliau?

Sumber foto: Sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun