Masih teringat dengan jelas kampanye Calon Legislatif (caleg) waktu lalu. Mereka - para caleg - rajin sekali mengirim SMS, kalender bergambar foto dan visi-misinya, serta undangan pertemuan yang konon sekadar bersilaturahmi. Namun, ujung-ujungnya mereka minta dukungan konkret: meminta saya untuk mendukungnya.
Karena setiap pemilih hanya berhak memilih satu orang, saya memilih Caleg yang saya anggap pribadinya layak untuk dijadikan wakil saya. Lalu, saya menetapkan seorang pilihan dari sekian puluh (bahkan ratusan) caleg itu. Saya minta maaf kepada caleg yang tidak saya pilih.
Ternyata, pilihan saya itu dapat melenggang juga ke senayan. Lalu, saya pun mengikuti perkembangan agenda rutin sebagai anggota dewan baru. Sebagai wakil saya, tentu saya berharap caleg pilihanku itu benar-benar mewakili suara hatiku. Suara hati seorang guru dengan segala keadaannya.
Namun, kini harapan itu sirna. Setahun menjadi anggota dewan, pilihanku itu telah berubah menjadi pengkhianat. Amanat yang saya berikan tak lagi diperhatikan. Usulan-usulanku saat kampanye pun pasti dilupakan. Maka, saya pun tak lagi berharap kepada sang pengkhianat itu.
Sebenarnya saya ingin menghubungi dia lagi. Saya ingin menagih janjinya dulu. Namun, HP saya hilang. Jadi, nomornya tidak lagi tersimpan. Saya pun kehilangan kontak.
Kini, perasaan saya telah berubah 180 derajat. Satu demi satu agenda dewan benar-benar membuatku muak. Tuntutan demi tuntutan kesejahteraan selalu didengungkan mereka. Mereka selalu beralasan demi kepentingan rakyat. Lalu, rakyat mana yang Anda maksud?
Wahai anggota dewan, takyat itu BOS-mu. Rakyat itu menjadikan Anda sebagai wakilnya. Mana kedudukan yang lebih tinggi: mewakili atau diwakili? Anda itu mewakili rakyat. Jadi, Anda itu kacung alias pelayan!
Rakyat kini berada pada titik kemiskinan terendah. Tidakkah Anda melihat mereka kelaparan? Tidahkah Anda melihat mereka yang kesulitan mencari makan? Sampai-sampai, mereka menjadi TKI karena tak lagi dihargai di negeri sendiri.
Lihat tuh di televisi. Sekadar mendapatkan uang 10 ribu saja, rakyat yang kauwakili rela berdesakan hingga sekarat.
Lihat tuh rakyatmu yang berebutan sekadar mendapatkan paket sembako murah untuk lebaran. Di tengah himpitan harga yang mencekik leher, mereka teraniaya oleh teriknya matahari.
Lihat tuh korban banjir dan gunung meletus. Mereka kelaparan di tengah Bulan Ramadhan. Mereka tak lagi mempunyai sesuatu sekadar dimakan.
Lihat tuh orang berhimpitan sekadar mencari tumpangan untuk berkunjung ke kampung halaman. Berjam-jam mereka antre dan berdesakan dalam kolong kecil berukuran 3x10 meter.
Masihkah Anda itu manusia? Masihkah Anda mau disebut sebagai manusia? Mana sisi kemanusiaanmu? Mana janji-janjimu.? Mana nuranimu yang katanya selalu membisikkan kebenaran? Ataukah, Anda memang makhluk tak bernurani? Dasar pengkhianat rakyat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H